Menuju konten utama

Deretan Penyebab IHSG Anjlok hingga Mengalami Trading Halt

Analis pasar modal melihat anjloknya IHSG karena terjadi peralihan investasi atau shifting investment. Apa penyebab lainnya?

Deretan Penyebab IHSG Anjlok hingga Mengalami Trading Halt
Warga memantau pergerakan saham melalui gawainya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (18/3/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nz

tirto.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah signifikan pada Selasa (18/3/2025) mencapai batas 5 persen yang menyebabkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan penghentian sementara perdagangan saham atau trading halt. Penghentian ini dilakukan berdasarkan surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 pada 10 Maret 2020 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat.

Pada perdagangan sesi pertama kemarin, IHSG sempat mencapai level terendahnya di 6.011,8, atau melemah 7,1 persen dibandingkan dengan penutupan sebelumnya. Pada akhir sesi II, IHSG akhirnya ditutup melemah 3,8 persen menjadi 6.233,4.

Anjloknya pasar saham pada perdagangan kemarin tentu saja menjadi anomali jika dibandingkan dengan bursa regional Asia lainnya, seperti Nikkei (+1,4 persen), Shanghai (+0,09 persen), STI (+1 persen), dan FKLCI (+1 persen). Kondisi ini mengindikasikan adanya kekhawatiran investor terhadap ekonomi Indonesia dan pasar keuangan.

“Sejak awal tahun sampai kemarin, IHSG sudah tertekan cukup dalam. Data menunjukkan per kemarin, IHSG telah turun sebesar 8,59 persen ytd (year to date/secara tahun berjalan). Pada [Selasa kemarin], IHSG turun cukup dalam, yaitu lebih dari 5 persen dan menyebabkan trading halt sepanjang 30 menit,” kata Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, saat dihubungi Tirto, Selasa (18/3/2025).

Penurunan IHSG kemarin, bisa dibaca salah satunya karena kekhawatiran investor terhadap langkah pemerintah yang terus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menutup kekurangan fiskal. Penurunan ini mencerminkan ketidakpastian pasar terkait kebijakan fiskal yang agresif dan potensi dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang.

Pemerintah Indonesia diketahui beberapa kali meningkatkan penerbitan SBN. Berdasarkan data APBN KiTa, selama dua bulan pertama atau Januari-Februari 2025 pemerintah telah menarik utang baru dari SBN sebanyak Rp238,8 triliun. Angka ini setara 37,2 persen dari total target penerbitan 2025.

Pembiayaan anggaran melalui penerbitan surat utang tersebut meningkat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Januari-Februari 2024, pemerintah menerbitkan SBN Rp177,9 triliun. Penerbitan SBN digunakan untuk membiayai kekurangan APBN 2025.

Meskipun langkah ini diperlukan untuk mendanai belanja pemerintah, banyak pelaku pasar khawatir bahwa peningkatan utang negara akan berdampak buruk pada daya tarik pasar saham domestik. Menurut Praktisi Pasar Modal, Riska Afriani, jika terlalu banyaknya penerbitan SBN dapat menyebabkan peningkatan beban utang negara dan meningkatkan tekanan pada nilai tukar rupiah.

Selain itu, langkah tersebut juga berpotensi menaikkan suku bunga, yang akhirnya memengaruhi kinerja pasar saham. “[SBN] itu salah satu faktor juga. Karena adanya shifting ke aset safe haven seperti emas juga turut menjadi pemberat IHSG," ujarnya kepada Tirto, Rabu (19/3/2025).

BEI terapkan trading halt imbas IHSG anjlok lima persen

Warga memantau pergerakan saham melalui gawainya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (18/3/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nz

Selain faktor SBN, anjloknya IHSG sebagian besar disebabkan oleh tingginya aksi net sell oleh investor asing. Kondisi ini memicu panic selling di kalangan investor domestik, yang semakin memperburuk pergerakan pasar saham. Hal ini menyebabkan banyak investor domestik panik dan ikut melepas saham-saham mereka, meningkatkan intensitas penurunan indeks.

Selain itu, pergerakan IHSG dalam beberapa pekan terakhir yang terus menurun juga memperburuk sentimen pasar. Banyak pelaku pasar yang merasa khawatir akan prospek ekonomi jangka pendek, dengan tekanan dari faktor eksternal dan domestik yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

“Jadi saya melihat bukan hanya [faktor karena SBN] itu saja,” ujar dia.

Lebih jauh, Analis Pasar Modal Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, melihat anjloknya IHSG karena terjadi peralihan investasi atau shifting investment. Menurutnya kondisi ini sudah terjadi dari beberapa waktu terakhir, dimulai pascakonflik antara Rusia dan Ukraina, lalu kenaikan suku bunga (khususnya FFR dan juga BI rate) disusul ketidakpastian ekonomi global pasca Trump dengan kebijakan tarifnya.

“Ini mendorong investor masuk ke dalam instrumen yang lebih stabil dengan return yang tinggi,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (19/3/2025).

Jika melihat data, kata dia, investor asing pun sudah melakukan aksi jual mencapai Rp29 triliun secara year to date. Ia bahkan memperkirakan terjadi realokasi ke low risk hingga safe havens asset. Tercatat harga emas sempat menyentuh level 3.000 dolar AS per ton seiring dengan permintaan yang meningkat.

Selain faktor tersebut, Oktavianus berpandangan ada beberapa sentimen negatif lain di pasar. Pertama, pemangkasan rating saham-saham Indonesia, seperti oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs yang memang mengkhawatirkan terkait melebarnya defisit anggaran seiring mendorong fiscal risk. Kedua, tekanan jual asing yang masih sangat kuat, tercatat sampai Selasa (18/3/2025) kemarin asing mencatatkan outflow sebesar Rp29,4 triliun.

Risk premium Indonesia saat ini juga tergolong tinggi jika dibandingkan dengan AS, menunjukkan kekhawatiran akan risiko,” imbuh Oktavianus.

Dari dalam negeri, anjloknya IHSG juga ditengarai pasca Kementerian Keuangan merilis data APBN yang mencatatkan defisit APBN per Februari 2025 yang mencapai 0,13 persen dari PDB atau sebesar Rp31,2 triliun. Di mana pada periode yang sama 2024, APBN masih mencatatkan surplus Rp26,04 triliun atau 0,11 persen terhadap PDB.

Di saat yang sama penerimaan pajak juga tercatat rendah. Pada Februari 2025 tercatat sebesar Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target APBN 2025, di mana nilainya turun dari periode yang sama tahun 2024 yang mencatat penerimaan sebesar Rp400,36 triliun atau mencapai 14,29 persen dari target APBN 2024.

Respons Pemerintah

Sebaliknya pemerintah justru merespons santai dinamika terhadap pelemahan IHSG kemarin. Bagi Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kondisi pasar dan perkembangan perekonomian dalam negeri masih cukup baik. Ia bahkan mengklaim bahwa pasar SBN Indonesia saat ini terjaga stabil di tengah ketidakpastian global.

“Periode 1-17 Maret 2025, penerimaan bruto perpajakan tumbuh positif 6,6 persen, lebih baik dari pertumbuhan penerimaan bruto di periode 1-17 Maret 2024,” ujar Sri Mulyani dikutip dari laman instagram pribadinya, Rabu (19/3/2025).

Postur APBN, tetap dijaga pada defisit sebesar 2,53 persen PDB sesuai Undang-Undang Nomor 62/2024 tentang APBN Tahun Anggaran 2025. Pembiayaan APBN, kata Sri Mulyani, salah satunya juga dilakukan melalui Surat Utang Negara (SUN).

Di saat yang sama, pemerintah juga tengah melaksanakan lelang rutin SUN setiap Selasa. Di tengah dinamika pasar saham, kinerja lelang SUN menunjukkan hasil sangat baik.

Penawaran yang masuk (incoming bid) sangat kuat, yaitu sebesar Rp61,75 triliun (2,38 kali target indikatif: Rp26 triliun). Incoming bid dari investor asing mencapai Rp13,95 triliun (22,59 persen). Penawaran yang dimenangkan (awarded bid) adalah sebesar Rp28 triliun. Awarded bid dari investor asing mencapai Rp5,33 triliun (19,04 persen).

Imbal hasil (yield) berhasil dicapai pada tingkat yang sama dengan secondary market (tidak perlu diberi premium/tambahan imbal hasil untuk menarik investor). Spread SUN 10 Tahun terhadap US Treasury (UST) tenor setara cukup rendah, yaitu sebesar 267 bps—jauh lebih rendah dibandingkan negara peers seperti Mexico, Afrika Selatan, dan Brazil.

“Berbagai indikator ini menggambarkan kepercayaan investor (dalam negeri dan asing) kepada pemerintah maupun pengelolaan APBN masih kuat,” jelasnya.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut mengambil langkah-langkah kebijakan prioritas yang sejalan dengan pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhan dan juga memperkuat stabilitas pasar modal Indonesia. Salah satunya dengan menerbitkan Kebijakan Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi Secara Signifikan atau buyback saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Pembukaan perdagangan saham awal tahun 2025

Layar menunjukkan pergerakan harga saham saat pembukaan perdagangan saham awal tahun 2025 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Pada pembukaan perdagangan saham awal tahun 2025 IHSG dibuka menguat 29,36 poin atau 0,41 persen ke posisi 7.109,26. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

Kebijakan ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia sejak 19 September 2024 mengalami tekanan yang diindikasikan dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) per 18 Maret 2025 sebesar 1.682 poin atau minus 21,28 persen dari highest to date.

“Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami mengumumkan kebijakan bahwa perusahaan terbuka dapat melakukan pembelian kembali saham atau buyback tanpa memperoleh persetujuan RUPS sesuai dengan ketentuan 7 POJK nomor 13 tahun 2023,” ujar Inarno dalam konferensi pers, di BEI, Jakarta, Rabu (19/3/2025).

OJK berharap melalui kebijakan relaksasi buyback tanpa RUPS, dapat memberikan sinyal yang positif. Dengan demikian, perusahaan memiliki fundamental yang baik dan memberikan market confident kepada investor serta memberikan fleksibilitas bagi perusahaan terbuka dalam melakukan aksi korporasi untuk mengurangi mengurangi tekanan harga saham.

Opsi kebijakan ini, lanjut Inarno, merupakan salah satu kebijakan yang sering dikeluarkan oleh OJK di sektor pasar modal. Pada praktiknya dapat memberikan fleksibilitas bagi emiten untuk menstabilkan harga saham dalam kondisi volatilitas yang tinggi serta meningkatkan kepercayaan investor.

“Ini sebagaimana pernah dikeluarkan di tahun 2013, 2015, dan juga 2020 pada saat pandemi COVID-19 kemarin,” ujarnya.

Kebijakan buyback tanpa melalui RUPS ini pun dinilai oleh Oktavianus Audi sebagai langkah responsif oleh regulator (OJK) untuk menjaga stabilitas pasar yang sempat alami kenaikan volatilitas (18/3/2025) dan penghentian perdagangan. Hal ini juga cukup direspon positif oleh pasar dengan kenaikan pada sesi I mencapai 0,97 persen ke level 6.283.

Meski demikian, Oktavianus melihat ini efektif untuk jangka pendek sebagai langkah menstabilkan pasar dan meningkatkan kepercayaan investor, sedangkan untuk jangka yang lebih panjang belum tentu menjamin kenaikan secara berkelanjutan. Terlebih kondisi ekonomi saat ini yang masih tinggi akan ketidakpastian, khususnya faktor kebijakan internal dan eksternal.

“Selain itu, jika kinerja perusahaan tetap melemah, maka efek buyback bisa hanya bersifat sementara,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait IHSG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang