Menuju konten utama

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Ekonomi Buruk IHSG Ikut Ambruk

Banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi jelas juga menjadi sebab lain IHSG terperosok cukup dalam.

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Ekonomi Buruk IHSG Ikut Ambruk
Karyawan melintas di depan layar monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta,

tirto.id - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) membekukan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada pukul 11.19.31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS). Suspensi ini dilakukan sebagai akibat dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5 persen.

“Hal ini dilakukan sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat,” kata Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, dalam keterangan resminya, dikutip Selasa (18/3/2025).

Jelang penutupan sesi I perdagangan Selasa (18/3/2025), IHSG sempat berada di level 6.146,91. Posisi tersebut turun dari saat pembukaan perdagangan pagi tadi yang masih berada di level 6.460,60. Berdasar data RTI Business, sebanyak 354,15 juta saham diperdagangkan pada saat pembukaan, dengan frekuensi perpindahan tangan sebanyak 22 ribu kali dan nilai total transaksi mencapai Rp327,61 miliar. Kemudian, terdapat 77 saham mengalami koreksi, 213 saham tidak berubah dan 174 saham menguat.

Trading halt terjadi selama 30 menit, sampai dengan pukul 11.49.31 waktu JATS, tanpa ada perubahan jadwal perdagangan. Saat dibukanya kembali perdagangan, indeks harga saham masih terperosok di level 6.046 atau minus 6,58 persen. Kemudian, pada pukul 13.43.13 menit setelah perdagangan sesi II hari ini dibuka, IHSG berada pada posisi 6.167,69 atau minus 4,70 persen, dengan saham yang mengalami penguatan hanya 65, 616 saham anjlok dan 120 saham tidak berubah.

“Sejak awal tahun sampai kemarin, IHSG sudah tertekan cukup dalam. Data menunjukkan per kemarin, IHSG telah turun sebesar 8,59 persen ytd (year to date/secara tahun berjalan). Pada hari ini, IHSG turun cukup dalam, yaitu lebih dari 5 persen dan menyebabkan trading halt sepanjang 30 menit,” kata Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, saat dihubungi Tirto, Selasa (18/3/2025).

Sementara itu, menurut Jeffrey, penurunan indeks harga saham nasional yang terjadi saat bursa regional dalam tren hijau, ialah karena adanya faktor eksternal dan internal. Dari eksternal, sentimen penekan IHSG datang dari ketidakpastian dan dinamika global yang dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi, seperti perang dagang, eskalasi geopolitik, kebijakan suku bunga yang bersifat higher for longer -tren suku bunga acuan tinggi imbas kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS), dan lain sebagainya.

Sementara dari sisi internal, Jeffrey mengakui bahwa saat ini pasar sedang memantau defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Februari 2025 yang diumumkan pemerintah pekan lalu. “Selanjutnya, beberapa perkembangan indikator ekonomi juga masih menjadi perhatian pasar, seperti pelemahan rupiah, deflasi, penurunan penerimaan pajak, dan lain-lain. Pasar juga menunggu perkembangan implementasi beberapa rencana strategis pemerintah,” sambungnya.

Meski begitu, BEI melihat bahwa saat ini Price to Earnings Ratio (P/E) atau rasio antara harga saham dan laba per saham sudah cukup rendah, yaitu di angka 10. Ini menjadikan rasio P/E Indonesia sebagai yang terendah di antara negara ASEAN.

“Kami mengimbau kepada investor agar cermat melihat kondisi fundamental dan selalu rasional dalam mengambil keputusan,” saran Jeffrey kepada para pelaku pasar.

Pada paparan APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) Februari 2025 pada Kamis (13/3/2025), Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengumumkan bahwa pada dua bulan pertama 2025, Indonesia telah mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau sebesar 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit ini sekaligus menjadi titik balik, karena pada periode yang sama di tahun sebelumnya APBN tercatat surplus Rp22,8 triliun atau setara 0,10 persen dari PDB. Namun, ia berdalih kalau defisit APBN Februari 2025 masih dalam batas wajar, karena pemerintah mendesain defisit APBN di level 2,53 persen terhadap PDB atau senilai Rp616,2 triliun.

Defisit tersebut dipicu oleh penurunan realisasi pendapatan dan belanja negara. Pada akhir Februari, pendapatan negara tercatat hanya sebesar Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target Rp3.005,13 triliun yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2025. Angka ini lebih rendah dari realisasi pendapatan negara di Februari 2024, yang dapat mencapai Rp439,2 triliun.

Sementara dari sisi belanja negara, realisasi hingga 28 Februari 2025 tercatat sebesar Rp348,1 triliun atau turun dari periode yang sama di tahun sebelumnya senilai Rp470,3 triliun. Realisasi belanja negara ini pun hanya mencapai 9,6 persen dari target dalam APBN 2025. Kendati, keseimbangan primer akhir Februari mencatat surplus Rp31,2 triliun, turun signifikan dibanding Februari tahun lalu yang senilai Rp132,1 triliun.

“Jadi merespons terhadap perlambatan, tentu tetap kita waspada tanpa menimbulkan suatu alarm,” ujar papar Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN Kita Februari 2025, di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Anjloknya IHSG karena kondisi ekonomi makro nasional juga diamini Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Selain buruknya kinerja APBN Februari, outlook fiskal ke depan pun diliputi awan mendung. Kemudian, banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi jelas juga menjadi sebab lain IHSG terperosok cukup dalam.

“Akibat berbagai isu mega korupsi yang merusak trust, apa yang terjadi terkait Dwi Fungsi ABRI yang dikhawatirkan menimbulkan protes besar, kekhawatiran credit rating Indonesia akan turun. Maret-April Fitch dan Moodys akan umumkan, Juni-July S&P akan umumkan,” jelas Wijayanto, saat dihubungi Tirto, Selasa (18/3/2025).

Apa Faktor yang Bikin Investor Takut?

Dari berbagai faktor tersebut, sebenarnya masalah terkait buruknya kinerja APBN, kebijakan ngawur, hingga mega korupsi adalah lagu lama yang terus diputar ulang. Sedangkan untuk potensi dwi fungsi ABRI serta penurunan peringkat kredit menjadi faktor baru yang membuat investor takut.

“Kalau hemat saya, sebenarnya para pelaku pasar menantikan terkait dengan kebijakan pro-market, ya dari pemerintah. Karena memang sejauh ini sentimen negatifnya cukup kuat, ya, di market Indonesia khususnya,” jelas Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).

Dari dalam negeri, para pelaku pasar dibuat khawatir dengan terus tergerusnya kelas menengah yang merupakan penopang utama dari konsumsi rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk kelas menengah ada sebanyak 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total penduduk Indonesia pada 2024. Jumlah ini turun drastis, dari yang di tahun 2019 masih ada sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk yang termasuk dalam golongan kelas menengah.

Tak heran, jika di sepanjang 2024 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,94 persen atau 4,98 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal IV 2024. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari ekonomi nasional yang di sepanjang 2024 tumbuh sebesar 5,03 persen atau 5,02 persen pada kuartal IV 2024.

“Situasi ini memang membuat kondisi makroekonomi domestik Indonesia masih relatif kurang kondusif. Apalagi, kita sudah mengalami deflasi, minus 0,99 persen sejak 25 tahun terakhir. Di sisi lain rupiah pun juga mengalami depresiasi, sekarang berada di kisaran Rp16.400 (per dolar AS),” jelas Nafan.

Kondisi makroekonomi Indonesia yang menunjukkan underwhelming atau berkinerja mengecewakan diperparah dengan faktor ‘Trump Dynamics’. Kebijakan perang dagang yang diterapkan Presiden AS, Donald Trump, untuk memproteksi negaranya praktis menyebabkan terjadinya arus modal masuk ke negara adidaya tersebut. Sebaliknya, negara-negara emerging market termasuk Indonesia ditinggalkan investor asing.

Dengan anjloknya IHSG hari ini misalnya, investor asing telah membukukan net foreign sell sebesar Rp24 triliun (ytd). Sedangkan, selama enam bulan terakhir, dana asing keluar sudah mencapai Rp57,8 triliun. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga mencatat, pada pekan kedua Maret, tepatnya sejak 10-13 Maret 2025, aliran modal asing keluar (capital outflow) di pasar keuangan telah mencapai Rp10,15 triliun. Jika dirinci, aliran modal asing keluar itu terdiri dari aksi jual neto Rp1,92 triliun di pasar saham, Rp5,25 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp2,97 triliun di pada Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

“Di sisi lain, saya juga mencermati adanya dinamika perkembangan lainnya. Misalnya, seputar kita menantikan kebijakan pro-market dari pemerintah. Karena memang selama ini kan para investor masih lebih cenderung memilih market yang benar-benar kondusif,” sambung Nafan.

Selain itu, menurutnya pasar juga tengah menanti taji Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang digadang-gadang bakal menjadi lembaga pengelola investasi selevel Temasek dari Singapura maupun Khazanah dari Malaysia. Sedangkan dalam jangka pendek, pasar tengah menanti pengumuman kebijakan moneter dari BI yang bakal diumumkan esok hari, Rabu (19/3/2025), maupun Bank of Japan (BoJ) dan The Federal Reserve (The Fed) yang bakal diumumkan pada pekan ini juga.

“Memang semestinya BI ada peluang berani menurunkan suku bunga acuan. Karena memang rupiah ada di Rp16.300-16.400-an, tapi di sisi lain kita juga melihat spread antara suku bunga kita dengan inflasi apalagi deflasi, sudah sangat jauh. Memang cadangan devisa kita masih memadai untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, harusnya BI berani menurunkan suku bunga acuan,” jelas Nafan.

Di sisi lain, Pakar Ekonomi, Yanuar Rizky, melihat pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan para taipan, mulai dari Anthony Salim, Sugianto Kusuma alias Aguan, hingga Boy Thohir di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025) lalu tak cukup kuat untuk meningkatkan optimisme para pelaku pasar terhadap kondisi ekonomi domestik. Sebaliknya, pertemuan itu justru membuat pasar terutama yang menerapkan hedge fund atau menggunakan sistem pengelolaan dana investasi (dana lindung nilai), justru melihat pertemuan itu sebagai adanya potensi benturan kepentingan.

“Potensi transaksi benturan kepentingan akan terjadi lagi di Indonesia, seperti dulu BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) pasca Pakto 1988 (Paket Kebijaksanaan Oktober 1988) yang memicu krismon (krisis moneter) Asia 98 jadi krisis ekonomi di Indonesia. Menambah ketidakpercayaan soal proses good governance,” kata dia, kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).

Baca juga artikel terkait IHSG atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang