Menuju konten utama

Pesan Tersirat di Balik Pertemuan Prabowo dengan Konglomerat

Pertemuan Prabowo dengan para konglomerat dinilai menimbulkan polemik baru.

Pesan Tersirat di Balik Pertemuan Prabowo dengan Konglomerat
Presiden Prabowo Subianto saat mengundang pengusaha di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (7/3/2025). (FOTO/Istimewa)

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto mengundang sejumlah konglomerat Indonesia ke Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (6/3/2025) pekan lalu. Mereka yang turut diundang adalah Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata. Para tamu penting ini, memiliki latar belakang bisnis berbeda, mulai dari sektor pangan, properti, energi, keuangan, hingga manufaktur.

Bersama delapan pengusaha tersebut, Prabowo membahas sejumlah isu strategis. Mulai dari program makan bergizi gratis (MBG) yang menjadi salah satu kebijakan unggulan pemerintah, pembangunan infrastruktur, penguatan industri tekstil, hingga upaya swasembada pangan dan energi.

Pada pertemuan yang terlihat begitu cair itu, Prabowo juga membahas mengenai industrialisasi dan pengelolaan investasi melalui Badan Pengelola Investasi PT Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang baru saja diluncurkan pada Februari lalu.

Selang sehari, Prabowo kembali agendakan pertemuan dengan investor global, Ray Dalio, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/3/2025). Turut hadir sejumlah menteri dan para konglomerat yang sebelumnya lebih dulu dipanggil Prabowo. Namun ada beberapa wajah baru yang juga hadir, diantaranya adalah Chairul Tanjung, Hilmi Panigoro, dan Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam.

Pertemuan kali ini membahas strategi pengelolaan aset nasional, serta peningkatan investasi di Indonesia. Dalam pengantarnya, Prabowo menekankan pentingnya konsolidasi kekuatan ekonomi Indonesia melalui entitas baru yakni Danantara Indonesia. Danantara dikonsolidasikan untuk mengintegrasikan aset-aset negara guna meningkatkan efisiensi dan daya saing di tingkat global.

“Dengan demikian saya mengundang tokoh-tokoh ekonomi Indonesia yang di bidang swasta yang sudah punya pengalaman sendiri puluhan tahun dalam manajemen, dalam investasi, dalam pengelolaan untuk bersama-sama dengan pemerintah. Sehingga nanti pelaksanaan daripada Danantara ini akan dilakukan dengan cermat dan dengan teliti,” ujar Prabowo membuka pertemuan tersebut.

Langkah Kepala Negara mengumpulkan sejumlah pengusaha tersebut sekiranya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam hal pembahasan Danantara, bisa jadi Prabowo ingin meluruskan berbagai informasi simpang siur, termasuk terkait Danantara, dan sekaligus mendengar, masukan dari pengusaha untuk memastikan ekonomi tetap berjalan dengan baik.

“Pemerintah melihat situasi ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja, sehingga perlu merangkul semua pihak, termasuk pengusaha,” ujar Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, kepada Tirto, Senin (10/3/2025).

Pertemuan Prabowo dengan delapan pengusaha besar

Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan delapan pengusaha besar, Anthony Salim, Sugianto Kusuma, Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis 6 Maret 2025. di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/3/2025). Cahyo / Biro Pers Sekretariat Presiden

Dalam konteks ini, pemerintah bisa saja meminta dukungan para pengusaha, termasuk untuk memastikan stabilitas harga saham karena mereka (pengusaha) adalah emiten besar di IDX. Di luar itu, pemerintah juga berkeinginan agar mereka membantu mensupport nilai tukar Rupiah dengan menjalankan regulasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) terbaru, meminimalisir PHK karena mereka mempekerjakan banyak pekerja, dan menyegerakan realisasi investasi yang sudah direncanakan.

Pengamat Kebijakan Publik, Achmad Hanif, melihat bahwasanya pertemuan Prabowo dengan sejumlah pengusaha tersebut bagian dari konsolidasi kekuasaan dan dukungan elite ekonomi. Meskipun Prabowo telah memenangkan Pemilu, ia masih membutuhkan legitimasi dari berbagai pihak, terutama dari kalangan bisnis yang memiliki pengaruh besar dalam ekonomi dan politik Indonesia.

“Pertemuan ini mengindikasikan upaya Prabowo untuk mengamankan dukungan finansial dan struktural dari kelompok oligarki yang selama ini menjadi aktor utama dalam perekonomian Indonesia,” jelas Achmad kepada Tirto, Senin (10/3/2025).

Kondisi di atas, turut mencerminkan timbal balik dan patronase politik antara pemerintah dan elite bisnis. Para pengusaha mendapatkan akses awal terhadap dinamika kebijakan yang dapat menguntungkan bisnisnya, sementara pemerintah mendapat dukungan modal dan logistik.

Namun, Achmad justru khawatir semakin eratnya hubungan pemerintah dan oligarki berisiko meminggirkan proses demokratis karena kebijakan ekonomi lebih dikendalikan segelintir elite. Sebagai dampak lanjutan, fenomena ini akan melemahkan persaingan sehat dan berpotensi menciptakan konflik sosial akibat ketimpangan yang semakin dalam.

Pada dasarnya, lanjut Achmad, pertemuan ini menjadi indikasi awal arah kebijakan ekonomi Prabowo. Jika tidak dikontrol, hubungan patronase ini bisa memperkuat dominasi oligarki dan menghambat pertumbuhan yang inklusif.

“Jika Prabowo ingin meniru model Singapura, memadukan korporasi besar dengan pemerintahan, transparansi dan persaingan sehat adalah dua utama; bukan sekadar memperkuat konglomerasi yang sudah dominan,” jelas dia.

Polemik di Balik Pertemuan

Kendati tujuan besarnya adalah masalah ekonomi, Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, justru melihat pertemuan Prabowo dengan para konglomerat tersebut menimbulkan polemik baru. Pertemuan itu menandai Prabowo sebagai presiden tidak melihat Aguan dan Tomy Winata sebagai tokoh yang menyengsarakan rakyatnya.

Seperti diketahui, Aguan adalah salah satu pebisnis sukses di Indonesia yang merintis Agung Sedayu Group pada 1970. Terbaru, Aguan ikut berperan dalam sejumlah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah seperti Swissotel Nusantara dan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

Aguan diduga terlibat dalam skandal pagar laut di perairan Tangerang, Banten. PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) milik Aguan diduga memiliki saham mayoritas di PT Cahaya Inti Sentosa, salah satu perusahaan yang menggenggam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di laut Tangerang, Banten. PT PANI mengempit saham mayoritas dengan kepemilikan 88.500 lembar atau senilai Rp88 miliar.

Ada pula Tomy Winata yang tak lepas dari kontroversi proyek Rempang Eco City. Proyek ini dikerjakan oleh perusahaan milik pengusaha Tomy Winata. Proyek pengembangan pembangunan Pulau Rempang, Kota Batam itu menjadi sorotan publik karena warga belasan kampung menolak digusur. Bahkan sempat terjadi bentrokan dengan aparat pada September 2023 lalu.

Pengembangan proyek Rempang Eco City adalah hasil kerja sama antara pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak usaha Artha Graha, kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata.

“Tetapi sebagai mitra dan sahabat hanya dari sisi kapital, ini pertanda buruk, bahwa Prabowo berpihak pada kesewenangan elit daripada pada rakyatnya sendiri,” jelas dia kepada Tirto, Senin (10/3/2025).

Prabowo pimpin pertemuan antara pengusaha dengan Ray Dalio

Presiden Prabowo Subianto (tengah) bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kanan), Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi (kedua kiri) dan Investor asal Amerika Serikat (AS) Ray Dalio (kiri) serta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya (kedua kanan) menggelar pertemuan dengan pengusaha di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/3/2025). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

Bahkan mengkhawatirkan lagi, kata Dedi, ada Boy Thohir dalam pertemuan itu yang diduga kuat terlibat dalam skandal kriminal Pertamina. Meski namanya disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi minyak mentah di Pertamina, namun Kejaksaan Agung membantah bahwa Boy terlibat dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding periode 2018-2023.

“Aneh, jika presiden memberi karpet merah pada para kriminal,” kata Dedi.

Di sisi lain, kata Dedi, upaya Prabowo menjalin hubungan vulgar dengan pengusaha secara langsung menandai kualitas kedaulatan presiden yang lemah. Konglomerat seharusnya cukup berhadapan dengan menteri untuk urusan usaha, Presiden sebagai pengendali kebijakan teratas tidak semestinya bersahabat atau ramah dengan pihak-pihak tertentu.

“Terlebih, dalam waktu berdekatan, para konglomerat yang sama sebelumnya bertemu Jokowi, kemudian Hashim sebagai tangan Prabowo juga menemui Jokowi, jangan sampai muncul tafsir jika Prabowo sebenarnya hanya Presiden administratif, sementara penguasa yang sesungguhnya masih Jokowi dan para konglomerat,” pungkas Dedi.

Achmad Hanif, justru menduga bahwa keberadaan taipan kontroversial seperti Aguan dan Tomy Winata mengindikasikan bahwa proyek-proyek strategis yang menguntungkan elite bisnis kemungkinan akan terus berlanjut, bahkan dengan jaminan politik lebih kuat. Ini bisa memperkuat kapitalisme oligarkis.

“Artinya, kebijakan ekonomi berpotensi lebih berpihak pada korporasi besar, memperdalam ketimpangan, dan melemahkan UMKM serta kesejahteraan pekerja,” jelas dia.

Walaupun bisa saja, timpal Wijayanto, pada kesempatan itu Prabowo justru meminta mereka untuk menunda proyek serta lebih berhati-hati dan fair kepada rakyat. Mengingat dua proyek tersebut telah cukup mengganggu stabilitas sosial dan politik; dan berpotensi meledak jika kondisi ekonomi terus memburuk. “Kita tunggu saja outcome-nya,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait PRABOWO SUBIANTO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang