tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mengumumkan bahwa pendapatan negara sampai 28 Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun, atau hanya mencapai 10,5 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebesar Rp3.005,1 triliun. Jika dirinci, penerimaan perpajakan sampai akhir Februari 2025 tercatat Rp240,4 triliun, atau 9,7 persen terhadap target APBN 2025 yang sebesar Rp2.490 triliun, dengan penerimaan pajak hanya senilai Rp187,8 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai hanya sebesar Rp52,6 triliun.
Baik realisasi penerimaan pajak maupun kepabeanan dan cukai tersebut turun signifikan dibanding realisasi penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai Februari 2025, yang masing-masing sebesar Rp269,02 triliun dan Rp51,5 triliun.
Sementara untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya sebesar Rp76,4 triliun atau 14,9 persen terhadap target APBN senilai Rp513,6 triliun. Meski begitu, realisasi tersebut turun tipis dibanding periode Februari 2024 yang sebesar Rp79,7 triliun.
“Di dalam APBN yang tertuang di dalam undang-undang nomor 62 tahun 2024, disebutkan bahwa pendapatan negara akan ditargetkan Rp3.005 triliun, di mana penerimaan pajak di Rp2.189,3 triliun. Bea dan cukai menyumbangkan Rp301,6 triliun dan PNBP di Rp611,6 triliun sebagai target untuk tahun 2025 ini,” papar Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN Kita Februari 2025, di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2025).
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Anggito Abimanyu, mengatakan turunnya penerimaan pajak Januari-Februari 2025 disebabkan oleh dua faktor. Pertama, akibat harga komoditas utama seperti batu bara yang anjlok 11,8 persen, minyak Brent turun 5,2 persen dan nikel turun 5,9 persen. Kedua, penurunan realisasi penerimaan pajak disebabkan oleh penerapan kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) pada skema penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi karyawan dan pegawai. Kemudian, ada pula kebijakan relaksasi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) Januari yang bisa disetorkan hingga 10 maret 2025.
Sedangkan penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat turun karena ada koreksi pada bea masuk sebesar 4,6 persen menjadi Rp7,6 triliun serta penerimaan cukai yang sampai dengan Februari 2025 turun 2,7 persen menjadi Rp39,6 triliun.
Sementara dari total belanja negara yang dalam APBN 2025 ditarget sebesar Rp3.621,3 triliun, per 28 Februari 2025 baru terealisasi sebesar Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari pagu. Secara rinci, belanja pemerintah pusat tercatat sebesar Rp211,5 triliun atau 7,8 persen terhadap APBN dan transfer ke daerah (TKD) senilai Rp136,6 triliun atau 14,9 persen terhadap target APBN.
Dari total belanja pemerintah pusat, realisasi belanja kementerian/lembaga (K/L) mencapai Rp83,6 triliun atau 7,2 persen dari target APBN dan belanja non K/L sebesar Rp127,9 triliun atau 8,3 persen terhadap target APBN. Realisasi tersebut lebih rendah dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang masing-masing belanja K/L dan non K/L ialah sebesar Rp165,4 triliun dan Rp163,4 triliun.
“Tahun lalu memang sedikit lebih tinggi, 9,7 persen dari pagu. Karena tahun lalu itu ada penyelenggaraan Pemilu (Pemilihan Umum). Pemilu kita adalah tanggal 14 Februari 2024. Jadi, menjelang pemilu banyak sekali pengeluaran penyelenggaraan Pemilu yang tahun ini tidak ada,” jelas Wamenkeu, Suahasil Nazara, dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, pada tahun lalu pemerintah juga mengucurkan bantuan pangan kepada masyarakat hingga awal 2024 untuk memitigasi dampak El Nino yang terjadi di 2023. Kendati anjlok, realisasi belanja negara dinilai masih sejalan (in line) dengan apa yang telah dibayangkan Kemenkeu, seiring dengan adanya efisiensi anggaran untuk belanja K/L dan TKD sebesar Rp256,1 triliun.
“Efisiensi anggaran yang kita lakukan adalah tidak menyentuh belanja pegawai. Jadi harus diamankan. Tidak menyentuh layanan pegawai, artinya adalah layanan operasional kantor, layanan operasional dasar, tusi-tusi, tugas dan fungsi yang sifatnya prioritas. Ini tidak juga disentuh dan juga efisiensi tidak menyentuh layanan publik atau bantuan sosial dan perlindungan sosial,” tegas Suahasil.
Sementara keseimbangan primer yang tercatat sampai akhir Februari 2025 mencapai Rp48,1 triliun, atau 76 persen terhadap target APBN 2025 yang senilai Rp63,3 triliun. Dengan kondisi tersebut, defisit APBN 2025 per 28 Februari 2025 mencapai Rp31,2 triliun, atau 5,1 persen terhadap APBN 2025 yang senilai Rp616,2 triliun. Sementara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), defisit tercatat sebesar 0,13 persen.
“Sampai dengan akhir Februari pembiayaan anggaran tercapai Rp220,1 triliun. Ini artinya dua bulan pertama kita telah merealisir pembiayaan cukup besar, 35,7 persen. Implicit ini berarti ada perencanaan dari pembiayaan yang cukup front loading, artinya insurance-nya di awal cukup besar,” jelas Sri Mulyani.
Bendahara negara itu mengakui, baik realisasi penerimaan maupun belanja negara tak setinggi periode yang sama di tahun lalu. Namun demikian, menurutnya kondisi perekonomian negara tak seburuk itu.
Bahkan, deflasi yang terjadi dua bulan berturut-turut pada Januari-Februari merupakan hasil dari upaya pemerintah yang berupaya menurunkan komponen-komponen inflasi yang masuk dalam harga diatur pemerintah (administered prices), melalui diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan berdaya listrik 450-2.200 volt ampere (VA), hingga pemberian PPN tiket pesawat serta diskon tarif tol yang diberikan untuk menyambut Lebaran 2025.
Sedangkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif terjadi belakangan tak serta merta menunjukkan terjadinya perlambatan pada sektor industri manufaktur. Bahkan, untuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki yang merupakan industri dengan kebutuhan tenaga kerja tinggi, mulai menunjukkan pertumbuhan kinerja yang masing-masing sebesar 4,3 persen dan 6,8 persen.
“Makanya, tadi kalau saya sebutkan di dalam growth-nya, konsumsi rumah tangga masih tumbuh 4,96 (persen) sampai akhir tahun dan Januari-Februari deflasi karena berbagai langkah berbagai harga pangan turun, terus tadi diskon listrik. Itu menunjukkan krisis nggak? Nggak kan. Itu upaya supaya mendudukkan lagi (ekonomi Indonesia),” tegas Ani, sapaan Sri Mulyani.
Dus, meski per akhir Februari 2025 telah terjadi deflasi, ia menegaskan untuk tetap menjaga defisit tetap terjaga di kisaran yang telah ditargetkan dalam APBN, yakni 2,53 persen terhadap PDB. Sedangkan untuk menjaga agar ekonomi Indonesia tetap stabil, ia juga memastikan agar realokasi anggaran yang sebelumnya telah dilaksanakan sejak awal tahun 2025 sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tetap sesuai dengan target belanja negara dalam APBN 2025 yakni sebesar Rp3.621,3 triliun.
“Jadi merespons terhadap perlambatan, tentu tetap kita waspada tanpa menimbulkan suatu alarm,” sambung Ani.
Apa Penyebab Data Ekonomi Buruk?
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti kinerja penerimaan pajak Februari 2025 yang turun sebesar 41,8 persen secara tahunan (year on year/yoy). Selain karena adanya restitusi atau kelebihan bayar PPN 2024, pemerintah juga kehilangan potensi penerimaan pajak Januari 2025 senilai Rp64 triliun karena kendala yang terjadi pada sistem Coretax.
Penurunan penerimaan pajak ini praktis dapat membuat rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB 2025 bisa lebih rendah dibandingkan 2024. “Implikasinya defisit APBN rentan di atas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment,” kata Ekonom Celios, Nailul Huda, dalam keterangannya kepada Tirto, Kamis (13/3/2025).
Di sisi lain, belanja pemerintah yang seharusnya dapat menjadi salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia justru turun tajam, hingga 45,5 persen (yoy). Imbasnya, perputaran uang di masyarakat jadi lebih lambat, sehingga memperlambat konsumsi masyarakat yang pada akhirnya juga bakal memangkas pertumbuhan ekonomi nasional.
Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah, yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya. Lagi-lagi, pada akhirnya kondisi ini juga akan berdampak pada penerimaan pajak negara. Padahal, ketika krisis penerimaan pajak terjadi, berpotensi membuat utang semakin tak terkendali.
“Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp10 ribu triliun. Beban bunga utangnya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan,” jelas Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, pada kesempatan yang sama.
Berdasar catatan Kemenkeu, per 28 Februari 2025, realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp220,1 triliun atau 35,7 persen dari APBN, lebih tinggi dibanding 2024 yang sampai Februari baru mencapai Rp185,0 triliun atau 35,4 persen dari APBN.
Sementara itu, Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizki, menilai sulit untuk tidak mengatakan penyebab utama penurunan penerimaan pajak adalah karena penerapan Coretax yang tidak berjalan mulus. Lazimnya, penerimaan pajak mengalami peningkatan tiap tahun, sekurangnya setara.
“Nyaris tidak mungkin, penurunan drastis 41,86 persen dengan kondisi perekonomian yang meski tidak membaik namun bukan kondisi krisis,” ujar dia, saat dihubungi Tirto, Rabu (13/3/2025).
Dengan keputusan dipakainya dua sistem, Coretax dan sistem lama, kemungkinan penerimaan perpajakan akan kembali meningkat atau normal pada Maret. Kendati, di luar soal sistem penghitungan dan pembayaran, penerimaan perpajakan memang berisiko mengalami penurunan karena kondisi perekonomian.
Dengan kondisi ekonomi yang menunjukkan perlambatan, risiko penerimaan pajak untuk mengalami shortfall atau tidak mencapai target APBN tampak amat besar. Selain itu, defisit pun berpotensi melebar, tergantung pada apakah efisiensi anggaran sesuai Inpers 1/2025 akan mengurangi belanja negara atau sekadar realokasi.
“Jika hanya direalokasi, akan memperlebar defisit,” imbuh dia.
Karenanya, agar shortfall pajak tak terlalu dalam dan defisit tak semakin melebar, efisiensi tak bisa semata-mata hanya dialihkan untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) atau program baru lainnya yang dampaknya belum dapat diukur secara jelas.
“Pengurangan (efisiensi anggaran) tidak dilakukan sekaligus Rp750 triliun gitu, Rp300 triliun saja sudah memadai,” tegas Awalil.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang