Menuju konten utama

Coretax Galat Terus, DJP & Pengembang Harus Tanggung Jawab

Implementasi Coretax seharusnya dilakukan secara bertahap dengan tidak langsung menutup sistem perpajakan lama.

Coretax Galat Terus, DJP & Pengembang Harus Tanggung Jawab
Kegiatan Edukasi Coretax bagi Wartawan di El Hotel Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/11/2024). Tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - Selasa, 11 Februari 2025, menjadi hari ke-41 usai peluncuran Sistem Inti Administrasi Perpajakan alias Coretax System. Namun, dalam 41 hari ini pula, sudah tak terhitung berapa wajib pajak (WP) yang mengeluhkan performa Coretax. Bisa dibilang, sistem yang pada mulanya dirancang untuk memudahkan masyarakat melaksanakan kewajiban perpajakan, justru jadi biang masalah.

Pada mulanya, Woro Indriasari (49) menduga memang dirinyalah yang gaptek dan tak paham cara menggunakan sistem perpajakan anyar itu. Sebab, setelah berkali-kali mendatangi Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Semarang Barat, dia masih tak bisa meng-input data bukti potong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ratusan karyawan kantornya.

Tapi, setelah konsultasi sama teman-teman staf pajak dari perusahaan lain, mereka juga mengalami kesulitan serupa. Jadi, ya terus saya mikir lagi kalau ini bukan saya. Bukan kami yang enggak bisa, tapi emang ada yang sama-sama sistemnya [bermasalah],” kata staf pajak dari salah satu perusahaan kayu di Semarang Barat itu kepada Tirto, Selasa (11/2/2025).

Terbukti, Coretax sampai kini pun masih bermasalah dan tetap dikeluhkan oleh banyak wajib pajak, tak cuma dirinya dan teman-teman staf pajak di Semarang saja.

Beruntung, perusahaannya hanya memiliki sekitar 500 karyawan sehingga Woro tak harus mengalami keterlambatan pengisian bukti potong PPh 21. Sebab, jika sampai terlambat, dia ragu pemerintah akan memberikan kelonggaran dan tak akan mengenakan denda kepada wajib pajak seperti yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dalam pernyataan resminya.

Karena, ada juga teman yang terlambat ngisi bulan lalu. Karena karyawan yang ditangani lebih banyak, jadi telat. Itu tetap aja dapet surat cinta,” tutur Woro.

Ketidakpercayaan terhadap pernyataan DJP juga diungkap Echa, seorang staf pajak sebuah perusahaan dengan lebih dari 4.000 karyawan. Dia bahkan menuliskan keluhannya terkait Coretax hampir setiap hari melalui akun X-nya, @luceinecha.

Tenggat pengisian SPT Masa untuk PPh Pasal 21 para karyawan adalah di tanggal 15 setiap bulan. Echa merasa kesal setiap mendekati tanggal itu karena sistem Coretax yang terus-menerus mengalami galat.

Bahkan, demi mengejar tenggat, dia harus rela bangun tengah malam atau menggunakan waktu liburnya untuk merampungkan kewajiban perpajakan perusahaannya.

Gue mau update skema impor BP 21 [bukti potong PPh Pasal 21–selain pegawai tetap] di Coretax. Tadi nyoba testing buat 26 bupot tuh berhasil. Terus gue impulsive lah, iseng mau tau kalau langsung impor sekitar 2.000 bupot tuh gimana,” tulis Echa dalam utas yang saat artikel ini ditulis telah mencapai 5.213 penayangan.

Echa gagal pada percobaan pertama karena memang ada kesalahan yang dia lakukan. Namun, setelah memperbaiki kesalahan tersebut, dia masih saja gagal.

Hmmm… ternyata ini karyawan ada yang NIK-nya ke-detect, ada yang nggak, padahal nggak punya NPWP sebelumnya dan nggak regis Coretax. Akibatnya? Impornya lagi-lagi failed. Jadi gue harus cek NITKU/NIK kepala keluarga dengan cara manual,” kisahnya.

Beruntung, Echa akhirnya berhasil memasukkan sekitar 2.000 bupot PPh Pasal 21 ke sistem Coretax. Namun, dia belum bisa bergembira lantaran belum semua bupot PPh Pasal 21 milik karyawannya ter-submit.

Aku tim enggak percaya kalau cuma surat keterangan tanpa ada ttd [tanda tangan] petinggi dinas terkait [DJP]. Karena di grup, ada yang bilang pas zaman e-bupot 21 DJP aja katanya enggak kena denda, ujung-ujungnya ada tuh dikirim STP [Surat Tagihan Pajak],” beber dia.

Perlu diketahui, STP merupakan surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda yang dikirimkan oleh kantor pajak kepada wajib pajak atas keterlambatan pelaksanaan kewajiban perpajakannya.

Keluhan terkait masalah Coretax tak hanya dilontarkan oleh wajib pajak saja. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, juga mengeluhkan bahwa masalah Coretax telah mengganggu aliran modal (cashflow) perusahaan.

“[Implementasi Coretax] kemarin terlalu cepat mungkin, ya. Sehingga, begitu langsung dilaksanakan, banyak faktur yang tidak bisa dikeluarkan, gitu. Itu yang mengganggu cashflow daripada perusahaan,” kata Shinta kepada awak media di Jakarta Selatan, Senin (10/2/2025).

Kendati demikian, seiring dengan berkurangnya laporan para pengusaha yang masuk ke hotline Apindo, Shinta melihat sudah adanya perbaikan pada sistem perpajakan anyar itu. Perbaikan ini juga diduganya karena Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, telah menerima masukan dari para wajib pajak, termasuk pengusaha.

Sekarang, pelan-pelan [Coretax] sudah mulai diperbaiki. Dan dari Direktorat Jenderal Pajak juga sudah menerima masukan-masukan,” imbuh dia.

DJP Yakin Penerimaan Negara Tak Terganggu

Untuk menyikapi masalah yang terjadi pada Coretax, DPR RI memanggil Dirjen Pajak, Suryo Utomo, untuk menjelaskan duduk perkaranya. Dalam rapat yang dilangsungkan tertutup di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Suryo didampingi oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak, Nufransa Wira Sakti; Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal; Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi; serta Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Sistem Informasi dan Teknologi, Bobby Achirul Awal Nazief.

Usai sekitar lima jam rapat, DPR dan DJP sepakat untuk mengimplementasikan Coretax dan beberapa fitur yang selama ini sudah dijalankan di sistem perpajakan lama secara bersamaan.

Skenario tersebut antara lain fitur layanan yang selama ini sudah dijalankan secara paralel, yaitu pelaporan SPT Tahunan sebelum Tahun Pajak 2025 dengan menggunakan e-Filing melalui laman pajak.go.iddan penggunaan aplikasi e-Faktur Desktop bagi wajib pajak PKP tertentu sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam keterangannya, dikutip Selasa (11/2/2025).

Kesepakatan pemberlakuan dua sistem perpajakan secara paralel itu diambil setelah DPR mengusulkan penundaan Coretax secara penuh dan pengaktifan kembali sistem perpajakan lama. Usulan itu disanggah Suryo karena dia tetap yakin Coretax dapat diimplementasikan secara penuh pada tahun ini.

Hampir semua fraksi awalnya meminta ditunda,” kata Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, saat ditemui usai rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

Pemberlakuan dua sistem perpajakan secara paralel merupakan upayaagar penerimaan perpajakan tak terganggu. Selain itu, DPR juga meminta DJP untuk menyiapkan peta jalan (roadmap) implementasi Coretax berbasis risiko paling rendah dan paling mudah untuk diterapkan. DJP juga diharuskan untuk memperkuat sistem keamanan data dari Coretax.

Ditjen Pajak dalam rangka penyempurnaan sistem Coretax, wajib memperkuat cyber security,” imbuh Misbakhun.

Sementara itu, Suryo Utomo mengaku baru bisa memastikan apakah masalah Coretax benar membuat penerimaan negara anjlok setelah pelaporan pajak periode Januari 2025 rampung dilakukan. Artinya, dia baru bisa melihat dampak masalah Coretax setelah 15 Februari 2025.

Akhir Februari ini, kami coba lihat deh, kira-kira pergerakannya [penerimaan perpajakan] seperti apa,” kata dia usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (11/2/2025).

Lebih penting dari itu, Suryo yakin penerimaan negara tak akan terganggu karena DJP telah menggunakan dua sistem perpajakan secara paralel. Dalam hal ini, DJP mengelola SPT untuk Tahun Pajak 2024 menggunakan sistem lama, sedangkan SPT Tahun Pajak 2025 yang akan disampaikan tahun depan menggunakan Coretax.

Terkait dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pemotongan PPh 21 karyawan, kami menggunakan sistem yang sudah baru. Jadi, kami menggunakan dua sistem, jalan terus,” jelas Suryo.

Tim Perancang Coretax Harus Tanggung Jawab

Masalah berlarut yang melanda Coretax jelas menunjukkan bahwa pemerintah memang tak siap dan terburu-buru dalam mengimplementasikan sistem perpajakan yang digadang-gadang canggih. Padahal, implementasi Coretax seharusnya dilakukan secara bertahap dengan tidak langsung menutup sistem lama.

Alih-alih menjalankan dua sistem perpajakan secara bersamaanagar transisi lebih mulus, pemerintah justru keukeuh menutup sistem perpajakan lama dan hanya membuka Coretax per 1 Januari 2025.

Dus, wajib pajak yang ingin melaporkan PPh maupun PPN hanya bisa menggunakan sistem Coretax yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp1,2 triliun itu. Padahal, pada awal implementasinya, sistem Coretax masih sangat kacau dan terjadi galat di mana-mana.

Persis dengan implementasi DJP Online yang masih memperbolehkan pengurusan pajak melalui sistem konvensional. Perpindahan sistem tidak bisa dilakukan sekaligus dan meninggalkan sistem lama. Implementasi Coretax menutup penggunaan sistem perpajakan lama,” kata Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, dalam pesan teksnya kepada Tirto, Selasa (11/2/2025).

Karena masalah yang ditimbulkan Coretax tersebut, Nailul menilai bahwa DJP seharusnya dapat bertanggung jawab. Apalagi, sudah banyak kerugian yang dirasakan masyarakat, baik secara moril maupun keuangan.

Denda keterlambatan pelaporan juga harusnya dihilangkan karena adanya kesalahan di sistem Coretax. Masa lapor bisa diperpanjang dan menggunakan sistem pelaporan pajak yang lama. Yang paling penting, [itu semua] untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya Kemenkeu dan DJP,” tegas Nailul.

Soal pertanggungjawaban, menurut Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Ruben Hutabarat, Dirjen Pajak seharusnya mundur dengan sukarela. Pasalnya, masalah ini sudah menjadi lebih besar dari polemik tarif PPN 12 persen yang pada akhirnya hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah saja.

Ada kerugian yang harus ditanggung wajib pajak, baik dari sisi waktu maupun cash flow.

Tak hanya Suryo, menurut Ruben, pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengembangan Coretax semestinya juga dimintai pertanggungjawaban. Mereka adalahjajaran Tim Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSIAP), seperti Iwan Djuniardi selaku Manajer Proyek, Wakil Manajer Proyek, para Ketua Tim, hingga pemenang tender pengadaan sistem Coretax, yakni LG CNS yang merupakan anak usaha perusahaan asal Korea Selatan, LG Corporation.

Perlu diketahui, penunjukan Tim PSIAP didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 483/KMK.03/2020. Sementara itu, landasan hukum bagi LG CNS sebagai pemenang tender pengadaan sistem Coretax didasarkan pada KMK Nomor 549/KMK.03/2020 tentang Penetapan Pemenang Tender Dua Tahap dengan Prakualifikasi Pengadaan System Integrator Sistem Inti Administrasi Perpajakan tertanggal 1 Desember 2020.

Jadi, supaya ada wujud pertanggungjawaban itu. Supaya ada juga rasa di wajib pajak muncul bahwa, ‘Oh ya, otoritas benar-benar bertanggungjawab’,” kata Ruben saat dihubungi Tirto, Selasa (11/2/2025).

Sementara itu, Ruben berharap para pengganti pejabat lama yang akan memperbaiki permasalahan Coretax sampai bisa dijalankan dengan baik.

Jika Suryo mencari pembenaran dan ogah mundur dari jabatannya, Ruben bilang bahwa sebelumnya sudah ada Dirjen Pajak yang mundur karena tak dapat mencapai target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah. Dirjen Pajak tersebut adalah Sigit Priadi Pramudito, yang mundur pada Desember 2015 silam.

Sebenernya kan kalau berkaca kepada yang lalu, sebenarnya sudah ada preseden di mana Dirjen pajak pernah mengundurkan diri. Ketika jamannya Dirjennya Pak Sigit, itu tahun 2015. Ketika penerimaan negara tidak achieve. [Masalah Coretax] ini udah lebih parah dari penerimaan negara yang tidak tercapai sebetulnya,” sambung Ruben.

Dalam acara Mandiri Investment Forum, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengakui bahwa proses pengintegrasian lebih dari 8 juta transaksi perpajakan ke dalam satu sistem tidaklah mudah. Meski begitu, dia juga menyebut bahwa hal tersebut tak bisa dijadikan alasan masih banyaknya masalah yang menghinggapi implementasi Coretax.

Sebab, peningkatan kualitas pada kinerja Coretax merupakan hal penting—agar Indonesia tak hanya terdigitalisasi, tapi juga bisa memberikan fasilitas bagi untuk mengikuti peraturan perundangan yang ada.

Saya hanya memberitahu Anda bahwa kami akan terus meningkatkan [Coretax] agar Indonesia tak hanya memiliki sistem pengumpulan uang yang terdigitalisasi, tetapi juga lebih mampu dalam pencatatannya dan juga memberikan fasilitas untuk wajib pajak untuk mengikuti peraturan,” kata Sri Mulayanidi Hotel Fairmont Jakarta, Selasa (11/2/2025).

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah rasio pajak yang rendah, Menkeu tak hanya akan memperbaiki kualitas Coretax, tapi juga mengimplementasikan customs-excise information system and automation (CEISA).

Kami terus melakukan reformasi penerimaan. Indonesia masih dianggap sebagai negara dengan rasio pajak terhadap PDB yang rendah. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” katanya.

Baca juga artikel terkait PERPAJAKAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi