tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menjadi faktor nilai tukar rupiah terhadap dolar merosot mencapai Rp16.000.
Menurut perempuan yang karib disapa Srimul itu, sejak Trump menjadi presiden AS kerap mengambil kebijakan eksekutif, sehingga berdampak pada seluruh dunia. Secara rinci, dia mengatakan pada akhir periode 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah mencapai Rp16.162 dengan rata-rata level dalam setahun Rp15.847 per dolar AS.
Srimul menjelaskan nilai tukar rupiah terus melemah sejak Januari 2025 pada 10 Maret 2025 sebesar Rp16.340 per dolar AS dan rata-rata tahun berjalan (year-to-date/ytd) Rp16.309 per dolar AS.
“Kita melihat dari Januari terutama sejak Presiden Trump dilantik awal Januari hingga sekarang begitu banyak kebijakan executive order Presiden Trump yang terus menerus menimbulkan gejolak, sehingga dirasakan seluruh dunia dan ini direfleksikan kurs rupiah,” kata Sri Mulyani, dalam acara Konferensi Pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Kemudian, dia juga menyatakan inflasi secara tahunan mengalami deflasi sebesar 0,09 persen. Sementara secara bulanan juga mengalami deflasi sebesar 0,48 persen.
Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun juga mengalami fluktuasi akibat dinamika global dengan realisasi akhir per 10 Maret 2025 sebesar 6,88 persen dan rata-rata tahun berjalan (ytd) di 6,98 persen. Di sisi lain, pihaknya meyakini imbal hasil SBN masih dalam kondisi stabil pada level yang kompetitif.
“Surat berharga negara sama seperti disrupsi akibat kebijakan Presiden Trump 2.0 dan interaksi dari negara-negara blok besar entah itu Kanada, Meksiko, RRT telah menumbuhkan suatu dinamika gejolak volatilitas nilai tukar dan yield di seluruh negara. Indonesia alhamdulillah kalau kita lihat tahun 2024 kita bisa menjaga. Hingga akhir Februari sebesar 6,88 persen dan year to date 6,98 persen,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menilai kondisi selama dua bulan tersebut yakni Januari hingga Februari kemarin tidak mudah dan tidak biasa bagi Indonesia.
“Ini bulan Januari Februari yang tidak mudah dan tidak biasa. Shock yang terjadi secara berturut-turut dari executive order dan memunculkan respons,” tukas Srimul.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama