tirto.id - Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Said Abdullah, mengusulkan, asumsi dasar ekonomi makro nilai tukar rupiah dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2025 sebesar Rp15.900 per dolar Amerika Serikat (AS). Nilai ini lebih rendah dari usulan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang APBN 2025 yang senilai Rp16.100.
“Persoalan nilai tukar rupiah selama ini juga membuat kita pening. Grafik transaksi kurs kita juga cenderung terus melemah. Pada tahun 2025 pemerintah mengusulkan kurs Rp16.100 per US dollar. Pimpinan Banggar mendorong agar kurs bisa lebih rendah di level Rp15.900 per US dollar,” kata Said Abdullah dalam Rapat Kerja Banggar DPR RI dengan Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan HAM, dan Gubernur BI, di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).
Alih-alih mematok rupiah di nilai yang rendah, Said meyakini pemerintah dapat membuat mata uang Garuda lebih berdaya dengan melakukan transformasi untuk mendongkrak kinerja ekspor agar lebih tinggi dan memperkuat investasi.
Selain itu, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) juga bisa meramu bauran kebijakan agar sistem pembayaran lebih beragam sehingga rupiah dapat digunakan oleh negara-negara mitra dagang sebagai bentuk dedominasi dolar.
“Kita yakin, dengan transformasi ekspor yang lebih tinggi dan memperkuat investasi serta kebijakan bauran sistem pembayaran yang beragam dari sejumlah mata uang mitra dagang, akan membuat rupiah lebih berdaya,” imbuhnya.
Berbeda dengan pemerintah, BI justru mematok rerata nilai tukar rupiah pada tahun 2025 berada di kisaran Rp15.300-Rp15.700 per dolar AS. Ramalan ini didukung oleh optimisme pasar yang melihat peluang penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve alias The Fed menjadi di level 5,0 persen dari sebelumnya 5,5 persen di tahun ini.
Penurunan suku bunga ini kemudian berlanjut ke tahun depan, dengan penurunan sebesar 75 basis poin (bps) atau 75 persen. Dengan demikian, suku bunga The Fed tahun 2025 akan berada di level 4,25 persen di akhir tahun 2025.
“Dengan Fed Fund Rate (FFR) yang turun ini, makanya inflow ke emerging market, termasuk Indonesia itu juga akan meningkat dan demikian juga US Treasury yang 10 tahun itu kami perkirakan juga akan turun dan itu juga bisa mendorong inflow,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih cukup tinggi dengan tingkat inflasi rendah juga memberikan suatu persepsi positif kepada investor untuk menanamkan modalnya ke dalam portofolio pasar keuangan nasional.
Selanjutnya, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) masih menarik, seiring dengan penurunan yield (imbal hasil) US Treasury (obligasi pemerintah AS) dengan tenor 10 tahun dari 3,9 persen menjadi 3,6 persen.
“Tinggal SBN ya spread-nya berapa. Apakah pakai India atau apa. Sehingga itu bisa kita lihat berapa kurang lebih SBN yield yang 10 tahun seperti apa. Tapi sekarang pun, sejak kami koordinasi (dengan Menteri Keuangan), untuk SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) sekarang SBN masuknya lebih besar. Karena SRBI memang sengaja kami kurangi,” sambung Perry.
Selain itu, Bank Indonesia juga telah berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan membawa agar nilai tukar Garuda bisa lebih menguat dari posisi saat ini.
Akan tetapi, Perry mengakui, stabilitas nilai tukar rupiah akan sangat bergantung pada sentimen-sentimen yang harus diwaspadai, baik oleh pemerintah Indonesia maupun Bank Indonesia.
“Sentimen apa yang perlu dilakukan? Tentu saja geopolitik itu memang sulit untuk memprediksi. Bagaimana kemudian ketegangan politik, tidak hanya Amerika dengan Cina, kemudian di berbagai wilayah itu akan meningkatkan volatilitas. Kemudian juga defisit transaksi berjalan tahun depan akan sedikit naik,” kata Perry yang merupakan bos BI itu.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher