tirto.id - PT Bank SMBC Indonesia Tbk (SMBC Indonesia) dengan semangat “Bersama Lebih Bermakna” kembali menyelenggarakan SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta Pusat, pada Selasa (18/2/2025). Mengusung tajuk “Peluang dan Tantangan 2025: Sinergi Sektor Publik dan Swasta”, kegiatan dihadiri pejabat pemerintahan, ahli ekonomi, pemerhati politik, dan pelaku industri.
Direktur Utama SMBC, Henoch Munandar, menyebut sinergi sektor publik dan swasta sangat relevan di tengah dinamika global dan domestik yang berlangsung sekarang. Dengan adanya target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung Prabowo Subianto, Henoch berharap kemitraan antara pemerintah dan swasta dapat mengakselerasi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di berbagai bidang.
“Kita hidup di era yang penuh tantangan, namun tetap optimis dengan peluang-peluang besar,” kata Henoch.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2024 tumbuh 4,95% secara tahun-ke-tahun (yoy), dengan inflasi yang terkendali di level 1,57% yoy pada Desember 2024. Di sisi lain, sektor perbankan Indonesia juga menunjukkan resiliensi yang apik sepanjang 2024.
“Kami senang bisa terus hadir untuk menciptakan pertumbuhan lebih bermakna bagi masyarakat sekaligus membantu mendorong perekonomian negara,” kata Henoch.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% hingga 2029, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut perlu investasi sebesar Rp13.032,8 triliun, baik melalui skema Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA).
“Nilai tersebut naik 143% dari capaian realisasi investasi 10 tahun terakhir,” ungkap Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM, Dedi Latip, Selasa (18/2/2025).
Demi mencapai target investasi tersebut, sambung Dedi, peluang investasi yang ditawarkan Indonesia antara lain hilirisasi sumber daya alam, energi baru dan terbarukan, ketahanan pangan, sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi digital dan pusat data, semikonduktor, hingga industri manufaktur berorientasi ekspor.
Selain itu, pemerintah juga menawarkan sejumlah insentif untuk mendorong investasi, termasuk Supertech Deduction hingga 300% untuk riset dan pengembangan, serta 200% untuk pelatihan vokasi.
“Artinya, kita bisa lihat begitu cukup besar target dan harapan yang harus dicapai untuk mencapai target investasi tersebut. Pemerintah juga harus berusaha mendekatkan kemudahan berusaha dan memperbaiki kebijakan turunan untuk mempermudah proses birokrasi dan integrasi antar-lembaga,” kata Dedi.
Mengoptimalkan Peluang sebagai Basis Produksi
Ekonom sekaligus anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri berpendapat, selain mengoptimalkan sektor ekonomi hijau, peluang Indonesia memenuhi target investasi dan peningkatan ekonomi 8% dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sebagai basis produksi.
Di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, Chatib melihat Indonesia punya peluang besar basis produksi. Alasan Chatib, lantaran banyak produksi berlangsung di Cina, maka perusahaan harus memindahkan basis produksinya dari negara tersebut agar tetap mendapat akses pasar ke Amerika Serikat.
“Secara garis besar, saya kira Indonesia masih akan cukup menarik. Investor masih akan melihat bahwa salah satu tempat yang masih bisa menjadi basis produksi untuk dapat masuk pasar Amerika maupun Cina adalah Indonesia,” papar Chatib Basri, Selasa (18/2/2025).
Dalam analisis Chatib, perang dagang antara Amerika dan Cina memang akan membuat investor memindahkan basis produksinya ke negara tetangga, Vietnam. Hanya saja surplus perdagangan (trade surplus) Amerika dengan Vietnam sudah berada di angka 118 miliar dolar AS, sedangkan dengan Indonesia baru 19 miliar dolar AS.
“Jadi, kalau kemudian Trump menargetkan negara yang punya trade surplus, Vietnam akan kena lebih dahulu. Kalau dia menargetkan 10%, relokasinya akan bisa pindah ke Indonesia,” sambung Chatib.
Chatib menegaskan, Indonesia tentu saja bukan negara yang sempurna. Namun, tawaran menjadikan Indonesia sebagai basis produksi perlu dilakukan sebab investor harus mendiversifikasi risiko. Hal demikian pernah dilakukan Chatib pada 2012 saat ia menjabat Kepala BKPM.
Kala itu, Chatib bertolak ke Negeri Sakura untuk meyakinkan CEO Toyota agar menggeser basis produksinya dari Taiwan ke Indonesia. Alasan Chotib pun masuk akal: Taiwan kebanjiran.
“Saya katakan, bukan karena Indonesia bagus, tetapi Anda harus menghindari banjir. Jadi, persoalannya adalah bagaimana bisa mendiversifikasikan risiko. Kalau risiko di Cina terlalu besar, Anda harus mencari tempat lain untuk production based,” tegas Chatib.
Lepas dari tawaran Chatib Basri, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, menyebut lebih dari 88% masyarakat Indonesia meyakini pemerintah mampu menghadapi tantangan ekonomi global.
“Pemerintah perlu menjaga kepercayaan dan optimisme masyarakat dengan melahirkan kebijakan yang matang demi menjaga pertumbuhan ekonomi,” pesan Burhanudin.
SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 digelar sebagai ajang untuk mengukuhkan komitmen Perseroan dalam memberikan layanan yang mampu menjawab kebutuhan nasabah di berbagai segmen.
“SMBC Indonesia akan terus menghadirkan solusi keuangan yang inovatif dan komprehensif agar dapat menciptakan lebih banyak pertumbuhan bersama yang lebih bermakna bagi masyarakat dan meningkatkan kontribusi nyata kami bagi kemajuan perekonomian negara,” pungkas Henoch. Henoch pun yakin pada tahun 2025 ini pertumbuhan ekonomi setidaknya akan mencapai angka 5%.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis