Menuju konten utama

Evaluasi Penyelesaian HAM Berat di Ujung Pemerintahan Jokowi

Alih-alih memperbaiki mandat pembentukan Tim PPHAM, pemerintah justru belum memperpanjang masa kerja tim tersebut.

Evaluasi Penyelesaian HAM Berat di Ujung Pemerintahan Jokowi
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan anak korban peristiwa Simpang KKA Aceh Utara 1999, Akbar Maulana (kiri) saat saat peluncuran penyelesaian pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023). ANTARA FOTO/Khalis Surry/nym.

tirto.id - Komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat disebut semakin buram. Pasalnya, menuju purnabakti periode pemerintahan Jokowi pada Oktober mendatang, belum ada gebrakan kencang menjerat terduga pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu ke pengadilan HAM.

Ditambah, pemerintah belum memperpanjang masa kerja Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang berakhir Desember 2023.

Tim PPHAM dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Pembentukan Tim PPHAM disebut sebagai komitmen pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial kepada pihak keluarga korban. Masa kerja Tim PPHAM berlaku sejak September 2022 sampai Desember 2023 dan hingga kini belum diperpanjang.

Salah satu rekomendasi tim tersebut, mempercepat realisasi pemulihan dan pemenuhan hak korban. Pemerintah juga wajib memberikan hak ekonomi, kesehatan, dan pendidikan bagi korban. Selain itu, pemerintah turut mengakui dan menyesali 12 peristiwa HAM berat yang dilaporkan oleh Tim PPHAM.

Kasus HAM berat yang diakui pemerintah meliputi Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Setelah mengungkapkan pengakuan dan penyesalan, pemerintah langsung mengeluarkan dua produk kebijakan sebagai upaya penyelesaian non-yudisial kepada para korban. Yakni, mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Selain itu, Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

PEMERINTAH AKUI ADANYA PELANGGARAN HAM BERAT

Presiden Joko Widodo (kiri) menerima laporan terkait pelanggaran HAM masa lalu dari Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai masa kerja Tim PPHAM harus segera diperpanjang karena proses pemulihan secara non-yudisial kepada korban sudah berjalan. Dia memandang kerja Tim PPHAM belum paripurna karena masih banyak korban yang mengharapkan keadilan konkret dari pemerintah.

“Pekerjaan ini belum selesai, banyak korban yang sudah terlanjur berharap memiliki harapan sudah lama jangan sampai pupus di tengah jalan,” kata Anis kepada reporter Tirto, Jumat (17/5/2024).

Komnas HAM berharap pemerintah bisa memperpanjang masa kerja Tim PPHAM sebelum masa pemerintahan berganti. Secara resmi, kata Anis, pihaknya sudah bertemu dengan Menkopolhukam Hadi Tjahjanto dalam persamuhan bilateral meminta pemerintah segera memperbarui Keppres soal pembentukan Tim PPHAM.

“Kami berharap aturannya bisa diperpanjang sampai pemerintahan ini selesai setidaknya. Untuk upaya memulihkan hak korban pelanggaran HAM berat sesuai mandat Keppres,” tegas Anis.

Meski demikian, Anis sendiri mengakui bahwa kinerja Tim PPHAM memang belum optimal. Karena banyaknya jumlah korban dan kasus HAM berat yang harus dituntaskan, menjadi tantangan tersendiri bagi Tim PPHAM dalam bekerja. Dia menilai, Tim PPHAM masih belum menjangkau seluruh korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Aksi Kamisan ke-815

Sejumlah aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan Aksi Kamisan ke-815 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/5/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Spt.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, sudah menduga komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat bakal ogah-ogahan. Sedari awal, kata dia, mandat Tim PPHAM tidak memenuhi standar minimal penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dia menilai, langkah konkret dari pemerintah – dalam hal ini Kejaksaan Agung – untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum terdengar.

“Ini termasuk 12 kasus seperti yang diakui dan disesali oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2023,” kata Usman kepada reporter Tirto.

Alih-alih memperbaiki mandat pembentukan Tim PPHAM, hingga saat ini justru pemerintah belum memperpanjang masa kerja tim tersebut. Padahal masih banyak pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang belum terpenuhi. Situasi ini menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tidak menunjukkan komitmen penuh dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

“Ketidakjelasan dalam keberlanjutan penyelesaian yudisial dan non-yudisial atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini berpotensi memperpanjang penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh para korban dan keluarga mereka,” ujar Usman.

Usman mendesak pemerintah segera memperpanjang masa kerja Tim PPHAM untuk memastikan bahwa upaya penyelesaian non-yudisial terus berlanjut dan hak-hak korban dapat dipulihkan. Di sisi lain, dia menilai wajib bagi pemerintah untuk terus mengupayakan penyelesaian kasus HAM berat secara yudisial hingga tuntas.

“Sebab itulah perintah undang-undang, khususnya UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Yang perlu dilakukan adalah Jaksa Agung melakukan penyidikan atas hasil penyelidikan Komnas HAM. DPR RI dan Presiden segera ambil keputusan untuk menerbitkan Keppres tentang Pengadilan HAM,” terang Usman.

Seruan serupa juga datang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berharap agar Tim PPHAM Berat Masa Lalu di era eks Menkopolhukam Mahfud MD bisa diperpanjang. LPSK memandang tim tersebut seharusnya bisa dilanjutkan karena ada dasar hukum lewat Inpres Nomor 2 tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

“LPSK mendorong supaya tim itu diperpanjang tugasnya atau dibentuk untuk melanjutkan pelaksanaan pemilihan korban dalam rangka penyelesaian rekomendasi non yudisial,” kata Anggota LPSK, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, dalam keterangan usai pengucapan sumpah di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

LPSK berjanji melakukan audiensi dengan pemerintah dan tetap optimistis diperpanjang. Antonius menjelaskan, LPSK sudah melakukan sejumlah terobosan dalam penanganan korban HAM berat.

Mereka, kata Antonius, memperbaiki regulasi dalam penyediaan dukungan psikososial pada korban. LPSK juga memberikan dukungan pembiayaan medis bagi korban pelanggaran HAM berat.

Presiden Jokowi pimpin Sidang Kabinet Paripurna

Presiden Joko Widodo menyampaikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/2/2024). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.

Dorong Penuntasan Yudisial

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menyayangkan rekomendasi yang diberikan Komnas HAM kepada Menkopolhukam hanya sebatas agar pemerintah memperpanjang Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim PPHAM. Sangat disayangkan, kata dia, Komnas HAM aktif mendorong penyelesaian non-yudisial namun bungkam dan pasif dalam penyelesaian secara yudisial yang sejak lama mengalami kemacetan. Padahal hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat Komnas HAM sudah diberikan kepada Kejaksaan Agung.

“Harusnya Komnas HAM adalah pihak yang paling memahami urgensi dari penyelesaian secara yudisial yang substantif dan mendorong akses keadilan sebagai salah satu muatan dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia,” kata Andi kepada reporter Tirto.

Tim PPHAM yang telah dibentuk serta implementasi pelaksanaan rekomendasi yang dilakukan pemerintah pun bukan tanpa masalah. Sampai masa kerja mereka berakhir, belum ada kanal ataupun mekanisme resmi dari pemerintah yang menyediakan akses terhadap Laporan Tim PPHAM secara utuh.

KontraS juga mencatat, proses pendistribusian pemulihan yang bersifat materialistik masih dilakukan dengan cara serampangan, seperti adanya data yang tidak sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, pendistribusian yang tidak merata, dan pemberian kesaksian korban yang tidak sesuai standar layak. Mulai dari pernyataan kerahasiaan (confidential informed consent) secara tertulis, hingga kesiapan tim terhadap reaksi traumatik atau psikologis korban.

Andi menambahkan, pemerintah justru memilih penyelesaian lewat jalan non-yudisial yang menegasikan pengungkapan kebenaran secara utuh dan menyeluruh. Di sisi lain, hal tersebut mengesampingkan tanggung jawab negara untuk menjerat para pelaku ke pengadilan.

“Pemerintah seakan mengambil jalan pintas dan mencuci tangan dengan menggunakan mekanisme penyelesaian secara non-yudisial yang dijalankan oleh tim PPHAM,” tegas Andi.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan upaya penyelesaian secara non-yudisial dan yudisial pada pelanggaran HAM berat sama-sama penting. Komnas HAM, kata dia, terus mengupayakan penyelesaian Yudisial dengan mendorong Kejaksaan Agung memulai penyidikan kasus pelanggaran HAM berat.

“Komnas HAM juga sudah melakukan koordinasi dengan KY dan MA terkait ini. Karena selama ini pengadilan HAM juga mengalami banyak tantangan dalam penegakan hukum kasus HAM berat, karena salah satunya hakim ad hoc HAM ini tidak selalu tersedia,” ujar Anis.

Anis menilai, komitmen negara merupakan faktor terpenting untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kewenangan Komnas HAM adalah melakukan penyelidikan dan mereka sudah menyerahkan berkas 17 kasus pelanggaran HAM berat kepada Kejagung.

“Tinggal bagaimana Kejagung menindaklanjuti itu. Kami sudah berkoordinasi dengan Kejagung dan di awal periode Komnas HAM baru kami juga sudah bertemu presiden untuk menegaskan upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat,” jelas Anis.

Sikap LNHAM terkait debat capres dan cawapres Pemilu 2024

Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi (kedua kanan), Saurlin P.Siagian (kiri), Anis Hidayah (kanan) bersama Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan mengenai sikap dan pandangan LNHAM terkait debat paslon capres dan cawapres Pemilu 2024 di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (6/2/2024). Lembaga nasional hak asasi manusia (HAM) yang terdiri dari Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Disabilitas (KND), serta Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK) berkomitmen untuk memantau kinerja pemerintah terpilih, terutama dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, khususnya hak-hak kelompok rentan serta meminta komitmen dari pemerintah hasil Pemilu 2024. ANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.

Respons Pemerintah

Plt Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Kantor Staf Presiden, Rumadi Ahmad, menegaskan Pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah dan terus mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Upaya tersebut dilakukan dengan dua jalur atau mekanisme, yaitu dengan mekanisme yudisial melalui Pengadilan HAM berdasar UU No. 26 Tahun 2000, dan non-yudisial, atau mekanisme di luar pengadilan.

“Kedua jalur tersebut dilaksanakan secara paralel, saling melengkapi, dan tidak saling meniadakan,” jelas Rumadi kepada reporter Tirto, Jumat (17/5/2024).

Rumadi mencontohkan, mekanisme yudisial antara lain dilakukan pemerintah dengan digelarnya Pengadilan HAM untuk Kasus Paniai, Papua yang terjadi pada Desember 2014. Pengadilan HAM dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar pada 2022, dengan satu orang terdakwa yaitu atas nama Mayor Isak Sattu.

Adapun dalam penyelesaian non-yudisial, sampai masa berakhirnya Tim PPHAM pada akhir 2023, sebanyak 582 korban pelanggaran HAM telah didata (berdasarkan data dari Komnas HAM) sebagai penerima hak pemulihan yang penyerahannya diberikan secara bertahap.

Menurut dia, meskipun Tim PPHAM sudah habis masa kerja, lewat Inpres Nomor 2 Tahun 2023 pemulihan korban dan pencegahan keberulangan telah dan terus dijalankan oleh 19 kementerian dan lembaga yang ditunjuk. Inpres ini masih terus berlaku sampai berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2024.

“Oleh karena itu, sampai Tim [PPHAM] dibentuk kembali oleh presiden, tugas pemantauan pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 diambil oleh Kemenko Polhukam, dan Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai pengendali program prioritas dan pengelola isu strategis Presiden,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait KASUS HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz