tirto.id - “Masih ada sebagian korban 65 yang menghendaki penyelesaian HAM berat 65 melalui cara yudisial dan itu sah-sah saja. Setiap harapan untuk mencapai keadilan layak untuk ditempuh.”
Hal itu disampaikan salah satu anak dan cucu korban kasus 65, Woro Wahyuningtyas saat berbincang dengan reporter Tirto, di Jakarta, Selasa (27/9/2022). Ia mengatakan, ada beberapa korban kasus 65 yang ingin ada penyelesaian secara yudisial, tidak hanya non-yudisial seperti yang dilakukan pemerintahan Jokowi.
Secara pribadi, Woro tidak memungkiri kasus 65 masih bisa diselesaikan secara yudisial. Akan tetapi, ia berhitung bagaimana proses hukum berjalan, seperti pencarian alat bukti serta energi yang diperlukan dalam upaya pelaksanaan peradilan, mulai dari logistik hingga psikologis.
“Persoalannya, sanggupkah kita? Kita dalam hal ini korban yang telah banyak berpulang ke hadirat-Nya. Belum lagi kalau kita bicara sistem peradilan kita yang korup, yang bisa diintervensi. Terlalu banyak energi yang diperlukan untuk menghadapinya, sementara korban yang masih hidup juga dalam usia yang telah renta,” kata Woro.
Woro mengakui, pemerintah memberikan perhatian kepada para korban kasus 65 saat ini. Ia menceritakan para korban 65 menerima SPK HAM dari Komnas HAM. SPK HAM tersebut digunakan untuk mendaftarkan diri sebagai korban kasus 65 kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Namun, Woro mengaku, perhatian pemerintah belum optimal. Ia bercerita proses pengobatan para korban 65 berjalan berliku. Kemudian, penyintas 65 sulit memperoleh akses bila tidak mendampingi para penyintas. Para penyintas juga sulit memperoleh akses kesehatan karena jarak yang jauh.
Woro mengaku, ada beberapa korban 65 yang menyoal keberadaan tim penyelesaian HAM berat secara non-yudisial buatan Presiden Jokowi. Tim yang dibentuk berdasarkan Keppres 77 tahun 2022 itu ada yang pro dan kontra.
Ia bersama keluarga besar korban kasus 65 yang tergabung dalam Humanis menyambut positif keberadaan tim untuk penyelesaian HAM berat. Terutama kasus 65 selama memenuhi syarat tertentu.
“Kalau dari saya dan beberapa anak korban 65 (generasi ke-2) menyambut baik pembentukan tim tersebut, namun perlu pengawasan ekstra pada tim yang memiliki beban berat, yaitu pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat, utamanya untuk kasus 65. Bagaimana mekanisme mereka akan melaksanakan pengungkapan tersebut? Mulai dari mana (daerah mana, kelompok korban yang mana dan sebagainya)” kata Woro.
Woro sebut, mereka hanya berharap agar kasus 65 bisa segera diselesaikan. Ia berharap agar pemerintah mau melakukan upaya rekonsiliasi dengan memenuhi beberapa syarat, antara lain: Pertama, pengakuan atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Kedua, kata dia, adanya pengungkapan kebenaran, dalam hal ini mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di peristiwa pelanggaran HAM berat 65 tersebut. Ketiga, penyelasan di muka publik yang dilakukan oleh negara.
Keempat, rehabilitasi dan rekonsiliasi yang harusnya diikuti dengan restitusi, kompensasi dan amnesti.
Saat ini, kata Woro, mereka masih bertanya-tanya, apakah keempat syarat tersebut bisa dipenuhi seandainya penyelesaian HAM dilakukan secara non-yudisial, bila proses yudisial bukan menjadi pilihan.
“Dari beberapa ngobrol dengan para penyintas 65 yang telah renta, mereka ingin adanya pemulihan nama baik, sehingga stigma kepada mereka dan keluarganya bisa hilang, sesederhana itu. Dan jangan sampai setiap tahun, stigma mengenai keluarga korban 65 masih lekat serta menjadi komiditi politik setiap menjelang pemilu,” kata Woro.
Masih Adakah Ruang Penyelesaian HAM Berat 65 Lewat Yudisial?
Kasus pelanggaran HAM 65 dapat disebut sebagai 'babon kasus HAM berat' Indonesia. Kasus ini tidak kunjung selesai meski orde baru era Soeharto telah runtuh.
Dalam laporan Tirto berjudul “G30S: Militer bagaimana Soeharto Mendalangi Pembantaian 1965” dijelaskan bagaimana sisi lain sejarah dalam isu 65 ini, seperti upaya kudeta hingga pembantaian rakyat pada 1965 dan 1966. Namun upaya pengungkapan kasus HAM berat 65 tidak kunjung selesai.
Berdasarkan pemberitaan Tirto pada 2017, sejumlah korban 65 mulai bersuara. Sebut saja diskusi “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang digelar oleh LBH Jakarta pada September 2017.
Selain itu, ada juga upaya mendorong Komnas HAM untuk memproses temuan dan bukti pembantaian 1965 yang dirilis oleh International People Tribunal (IPT65), hingga upaya rekonsiliasi dan Simposium 65 yang digagas oleh Lemhanas di bawah kepemimpinan Letjen Agus Widjojo kala itu.
Namun, ujungnya sama. Upaya penyelesaian tidak kunjung berjalan. Penolakan masyarakat masih kuat. Di sisi lain, instrumen penyelesaian HAM berat tinggal lewat Pengadilan HAM setelah keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Lantas, apakah masih bisa diselesaikan secara yudisial? Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar menilai, kasus pelanggaran HAM 65 sudah masuk ranah yudisial karena Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dan mengirim berkas hasil penyelidikan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penuntutan.
“Cuma, kan, problemnya itu tidak pernah ada proses tindak lanjut untuk kemudian menentukan apakah itu layak untuk dibawa ke proses berikutnya, ya penyidikan dan kemudian penuntutan,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto, Rabu (28/9/2022).
Wahyudi mengakui, kondisi kasus 65 sudah sulit untuk diungkap secara yudisial karena korban, saksi dan mungkin potensi tersangka sudah meninggal dunia. Namun, hasil penyelidikan Komnas HAM tidak boleh didiamkan. Kejaksaan Agung harus menentukan sikap dalam kasus 65.
“Artinya kalau memang sulit untuk dibawa ke proses berikutnya, ke penyidikan, ya ini di-declare saja secara hukum gitu, kan. Tapi harus jelas dulu, karena di dalam laporan yang diberikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung itu, kan, di situ dikatakan bahwa proses yudisial itu tidak menutup peluang penggunaan mekanisme Pasal 47 ya untuk kasus 65," kata Wahyudi.
Sebagai catatan, Pasal 47 Undang-Undang Pengadilan HAM memang membuka ruang penyelesaian kasus HAM bisa lewat KKR. Karena itu, Wahyudi mendesak agar kasus 65 diberikan kejelasan secara hukum.
“Kalau memang secara akuntabilitas hukum, secara yudisial tidak mungkin, tapi kan ini karena sudah ada proses hukumnya, statusnya, kan, harus jelas. Misalnya kejaksaan harus mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan [SP3] gitu kan,” kata dia.
Wahyudi menambahkan, “Jadi diteruskan dulu perkara, bahwa nantinya itu tidak mungkin dibawa secara hukum ke pengadilan, ya tinggal kemudian dikeluarkan SP3 dan kemudian menggunakan mekanisme yang lain, pengungkapan kebenaran misalnya. Karena melihat lamanya kasus dan kemudian tadi, korban, saksi, pelakunya sudah banyak yang meninggal dunia dan seterusnya.”
Wahyudi juga mengakui upaya pemulihan, restitusi dan lain-lain bisa diperoleh korban kasus HAM berat lewat putusan pengadilan HAM. Namun pemerintah, lewat Komnas HAM, mengambil terobosan dengan membuat Komnas HAM mengeluarkan surat keterangan korban peristiwa 65.
Surat tersebut diberikan kepada LPSK demi mendapat bantuan psikologis dan psikososial. “Tapi, kan, pemulihan itu tidak cukup semata-mata hanya itu gitu, kan? Jadi kemudian perlu diberikan pemulihan, akses pemulihan yang lebih luas dan lebih komprehensif," kata Wahyudi.
Cara lain yang bisa dilakukan, kata Wahyudi, adalah dengan melalui sebuah mekanisme pengungkapan kebenaran, lalu diidentifikasi kembali korbannya dan kemudian dikeluarkan kebijakan pemulihan yang sifatnya massal bagi mereka.
Wahyudi menilai, keberadaan tim penyelesaian HAM berat secara non-yudisial lewat Keppres 77/2022 bisa menjadi instrumen penolong penyelesaian HAM berat 65. Akan tetapi, tim ini harus bisa mengungkapkan kebenaran dan memenuhi hak korban 65-66 dalam rekomendasi yang dikeluarkan oleh tim.
Hal itu bisa mencegah korban 65 bernasib seperti korban pelanggaran HAM Tanjung Priok yang tidak mendapatkan hak apa pun dari pemerintah setelah pengadilan menyatakan kasus dugaan pelanggaran HAM 1984 Tanjung Priok bukan pelanggaran HAM, kata Wahyudi.
“Keppres 77/2022 itu, kalau misalnya mampu untuk melakukan proses pengungkapan kebenaran, ada satu narasi baru terkait dengan pengungkapan kebenaran untuk memenuhi hak untuk tahu dari korban terkait peristiwa 65-66. Dari situ kemudian direkomendasikan tadi pemberian pemulihan mendesak kepada korbannya,” kata Wahyudi.
Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur justru melihat masalah bukan pada penyelesaian secara yudisial maupun non-yudisial. Ia justru menyoalkan keseriusan pemerintah dalam penyelesaian kasus HAM 65. Meski pemerintah berniat menyelesaikan, Isnur minta pengungkapan kebenaran menjadi prioritas sebelum pengambilan langkah penyelesaian.
“Yang perlu ditanyakan adalah seriuskan pemerintah punya niat menyelesaikan masalah ini? Itu dulu. Kalau memang serius, maka banyak sekali langkah-langkah yang bisa dilakukan, tapi yang terpenting adalah adanya pengungkapan kebenaran. Itu dulu,” kata Isnur kepada Tirto.
Isnur menilai, upaya rehabilitasi hingga rekonsiliasi belum bisa dilakukan bila pengungkapan kebenaran masih belum berjalan. Ia menilai, publik akan gelap dalam insiden 65 tanpa adanya realita kasus tersebut.
Ia mencontohkan, Indonesia bisa mencontoh upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat Australia kepada suku Aborigin. Australia melakukan rekonsiliasi dengan mengakui keberadaan warga Aborigin meski belum optimal.
“Jadi itu pertama yang harus dilakukan, pengungkapan kebenaran dulu. Diungkap apa yang terjadi, siapa yang bersalah, tindakannya apa, korbannya mana? Itu dulu. Dari situ kemudian bisa dipilah perbuatan apa, tindakannya apa. Kalau orang-orang yang sudah mati, pelakunya, nggak mungkin disidangkan, tapi kalau orang-orang masih hidup dan bisa dilakukan penyidikan, ya selidiki lebih lanjut. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan,” kata Isnur.
Dalam ranah yudisial, Komnas HAM sudah menyerahkan kembali berkas kasus HAM 65 kepada Kejaksaan Agung pada 2018 setelah beberapa kali ditolak. Sejak saat itu, berkas perkara HAM 65 belum ada kelanjutan, sementara para korban dan saksi sudah menua. Padahal, mereka berharap agar ada pemulihan hak korban.
“Apa pemulihannya? Kalau misalnya ada perampasan lahan, kalau misalnya ada perusakan rumah, pengambilan rumah, kembalikan semua asetnya yang sebagian sudah jadi markas tentara. Kembalikan semuanya. Yang sedang sakit, yang sedang dalam pengobatan, semua ditanggung negara. Itu namanya rehabilitasi, pemulihan semua,” kata Isnur.
Isnur berharap, pemerintah tidak hanya merehabilitasi, tapi juga mengubah kebijakan dengan memberikan hak afirmasi dan menindak hukum pelaku yang masih hidup. Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki sejarah. Hal itu bisa dilakukan dengan catatan harus ada upaya kebenaran dan rekonsiliasi.
“Tidak satu jalan pengadilan tok. Itu gak begitu pendekatannya. Harus holistik, pendekatan komprehensif. Korban dipulihkan seluruh haknya, aset-aset yang bisa dikembalikan, ada perubahan sejarah pengakuan kebenaran, pengungkapan tentang apa yang terjadi,” kata Isnur.
Isnur menilai, pemerintah sudah ada upaya rekonsiliasi lewat aksi Simposium 65. Namun gerakan tersebut malah mati karena ada forum tandingan para purnawirawan. Kini, masalah HAM 65 hanya bisa diselesaikan oleh keinginan dan niat presiden, yakni Presiden Jokowi selain sekadar membentuk tim penyelesaian HAM berat secara non-yudisial.
“Kalau Jokowi-nya serius, dia dengan segala kekuatan, dengan segala mandate, dia harus berani. Mesti berani dia. Bukannya dia panglima tertinggi tentara Indonesia, bukannya dia juga atasannya kapolri? Harusnya dia berani melakukan banyak hal,” kata Isnur.
Respons Pemerintah
Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menerangkan, pemerintah tetap akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dengan pendekatan yudisial sekaligus memenuhi kebutuhan korban pelanggaran HAM berat seperti korban 65.
Moeldoko mengingatkan bahwa Presiden Jokowi pernah menerima peserta demo kamisan yang dihadiri sejumlah penegak hukum seperti kapolri dan jaksa agung. Ia pun bertemu dengan para korban. Ia lantas menjawab salah satu solusi yang ditawarkan adalah upaya non-yudisial.
“Pendekatan non-yudisial itu adalah sebuah pendekatan yang bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan dari korban dan keluarga korban,” kata Moeldoko saat ditemui di Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Moeldoko menuturkan masih ada sejumlah masalah yang dialami korban pelanggaran HAM berat, seperti masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan hingga nama baik. Ia mengaku Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Kementerian Keuangan dan berbagai pihak terkait mulai membahas penyelesaian secara non-yudisial.
“Apakah persoalan yudisialnya akan hilang? Ndak. Ndak. Silakan jalan terus, tapi persoalan-persoalan non-yudisial yang bisa diselesaikan dengan pendekatan kemanusiaan, negara harus hadir untuk itu, dan di situlah kami hadir, pemerintah hadir,” kata Moeldoko.
Moeldoko bercerita bagaimana contoh upaya non-yudisial yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Ia mengaku ada sejumlah budayawan dan tokoh Papua yang menyarankan penyelesaian kasus HAM lewat pendekatan kebudayaan.
Oleh karena itu, Moeldoko memastikan bahwa pemerintah akan menyelesaikan kasus HAM berat yang tidak hanya pada kasus 65, tetapi juga 9 kasus HAM berat lainnya. Ia pun tidak memungkiri adanya potensi kasus diselesaikan dengan cara non-yudisial.
“Intinya bahwa ini persoalan harus ada solusinya dan negara hadir untuk mencari solusi yang terbaik dengan pendekatan kemanusiaan melalui perbaikan sosial, ekonominya, pendidikannya, perumahannya, dan seterusnya. Saat ini kami telah bekerja untuk mencari data, mengumpulkan data agar semakin cepat diberesin,” kata Moeldoko.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz