tirto.id - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, sekira satu dekade lalu dia mengawal dana otonomi khusus atau otsus Papua. Ada kecurangan dalam penggunaan dana itu, contohnya seorang kepala daerah yang mentransfer Rp1 miliar hingga Rp2 miliar ke rekening pribadi istrinya dengan keterangan ‘Pembina Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.’
Padahal uang PKK itu telah dianggarkan dan dikirimkan ke rekening lembaga, tujuannya pun bukan ke kocek pribadi. Dugaan rasuah itulah yang menjadi salah satu penyebab dana otonomi khusus tak sampai ke masyarakat di Bumi Cenderawasih.
Berbekal pengalaman tersebut, Boyamin mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberdayakan masyarakat supaya dapat mengawasi alokasi dana otsus. “Seharusnya warga pun juga diberi pembelajaran pemberdayaan kesadaran untuk mengontrol untuk bersedia mengawasi dana-dana ini. KPK harus memastikan itu supaya masyarakat semakin berani untuk mengontrol dana-dana itu, bukan hanya memberantas,” kata dia, Senin, 19 September 2022.
Semangat dana otonomi khusus semestinya untuk mengejar ketertinggalan daerah setempat. “KPK juga mesti intens, semestinya dana otonomi khusus itu sampai kepada masyarakat. Tidak dikorupsi oleh pejabat,” sambung Boyamin.
Perkataan Boyamin ini buntut dari KPK yang menetapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, disusul Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak dan Bupati Mimika, Eltinus Omaleng dengan kasus serupa.
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth berpendapat, korupsi tak mengenal daerah dan siapapun bisa melakukannya. Ketika mencoba menyelesaikan perkara di Papua, maka pemerintah dan publik harus tahu konteks.
Jika persoalan konflik, kata dia, maka politisisasi dalam korupsi bisa terbawa-bawa; umpama, Barnabas Suebu bebas bersyarat, sekarang gilliran Lukas Enembe yang tersangkut hukum. Apalagi jika dikaitkan dengan ‘perasaan’ warga Papua yang acap mendapatkan diskriminasi.
“Semua bisa dikaitkan seolah-olah itu ‘spesial untuk Papua’, padahal kasusnya sendiri tidak berbeda, korupsi, ya, korupsi,” ucap Adriana kepada reporter Tirto, Senin, 19 September.
Apakah masyarakat Papua bisa diajak mengawasi tindakan korupsi? Adriana menilai semua kembali kepada otonomi khusus itu sendiri. Sedari awal peraturan khusus itu banyak kelemahan dalam implementasinya, misalnya supervisi dari pemerintah pusat kepada pemerintah Papua dan pendampingan mengelola otoritas baru di Papua yang tak pernah ada “Itu tidak terjadi selama 20 tahun terakhir.”
Selain lemah sosialisasi, otonomi khusus lebih identik dengan uang. Itu juga salah satu hal yang membuat penerapan otonomi khusus Papua tak maksimal, kata Adriana. Pemimpin di Papua silih berganti, itu pun tak menjadi jaminan si pemimpin paham pengejawantahan otonomi.
Kasus Enembe, Pagawak, dan Omaleng terkesan mencerminkan bahwa orang Papua korupsi. “Yang korupsi bukan hanya orang Papua, memang ada kesalahan yang harus dibenahi secara cepat dan tepat,” kata Adriana.
“Selama 20 tahun ini apa yang masih menjadi kendala paling besar? Itu yang harus diselesaikan. (Pemerintah bisa) mengatasi korupsi sekaligus membangun sumber daya manusia Papua, terutama yang duduk dalam birokrasi. Itu butuh betul supervisi dan pendampingan dari pusat,” tutur Adriana.
Lemahnya Mata Pusat
Eks Direktur Institut Pemerintahan Dalam Negeri Kampus Papua, Yan Pieter Rumbiak menyatakan, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus pertama guna mempercepat pembangunan di Papua, terutama bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
“Korupsi yang terjadi sekarang di seluruh Papua adalah risiko dari kelemahan pemerintah pusat dalam mengendalikan dan mengawasi pemanfaatan dana otonomi khusus,” ucap dia kepada reporter Tirto, Selasa, 20 September 2022.
Sejak awal otonomi khusus diterapkan, dana itu banyak disalahgunakan dan pola tersebut terus bergulir. Namun pemerintah tak pernah berupaya mengawasi dan mengontrol hal itu.
“Sehingga kepala daerah atau oknum-oknum yang menyimpangkan dana otonomi khusus tidak pernah dikenai sanksi hukum. Hal ini berlangsung terus-menerus,” imbuh Yan Pieter.
Selanjutnya, ada dua kebijakan di Papua yakni berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kedua aturan itu sama-sama diimplementasikan dalam satu wilayah.
UU Pemerintahan Daerah memiliki manajemen pemerintahan otonomi yang jelas bagi provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sementara manajemen pemerintahan UU Otonomi Khusus tak jelas. Faktanya, kata Yan Pieter, tidak ada institusi yang mengelola manajemen pemerintahan otonomi khusus. Hal itu jadi potensi penyalahgunaan dana uang istimewa wilayah Papua.
Maka diperlukan pembentukan badan penyelenggaraan otonomi khusus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, agar penerapan otonomi khusus, termasuk keuangannya, bisa tepat sasaran, kata dia.
“Ekonomi kerakyatan apa yang ada di Papua? Apa yang bisa dilakukan oleh manusia Papua yang dapat memanfaatkan dana otonomi khusus itu untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan?” ujar Yan Pieter.
Dia menambahkan, semestinya anggaran belanja daerah yang bersumber dari otonomi khusus dipisahkan sehingga bisa tepat sasaran, yaitu dapat dinikmati oleh seluruh orang asli Papua. “Jangan dana otonomi khusus digunakan untuk yang lain.”
Nurani Tameng Korupsi?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD membantah bahwa ada motif politik atas tindakannya yang mengumumkan kasus korupsi Lukas Enembe. Dia menegaskan kasus korupsi kader Partai Demokrat itu murni masalah hukum dan tidak bersifat politis.
“Maka kami tunjukkan bahwa ini murni soal hukum dan angka-angka dugaan korupsi nilainya ratusan miliar," kata dia.
Alasan mengapa dirinya harus mengumumkan kasus korupsi tersebut, kata Mahfud, karena adanya adu klaim dari pihak Enembe yang menyebut KPK mempolitisasi kasus itu. Sebagai bukti ketiadaan unsur politik dalam penanganan perkara Enembe, Mahfud menyebut bahwa ada Bupati Mimika yang terlibat dan diusut secara hukum walaupun berasal dari partai politik koalisi pemerintah.
Sementara itu, Penjabat Wali Kota Jayapura, Frans Pekey menyatakan, pemakaian anggaran dana negara seperti otonomi khusus cum sumber lain ada mekanisme penggunaan dan pertanggungjawaban. Maka dibutuhkan pengawasan dari pemerintah seperti Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan DPRD Kabupaten/Kota di Papua, aparat penegak hukum, dan masyarakat.
“Bisa dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat atau kelompok masyarakat, mahasiswa atau perorangan untuk memantau dan mengawasi. Itu namanya pengawasan sosial, itu dijamin undang-undang,” ucap Frans kepada reporter Tirto, Selasa, 20 September.
Ia menambahkan, “Namun di Papua, pengawasan masyarakat lemah, DPRD juga lemah. Karena itu ada hubungannya juga dengan kapasitas sumber daya manusia.” Artinya pendidikan sangat penting untuk membangun kemampuan diri manusia Papua. Salah satu cara menaikkan tingkat pendidikan adalah penggunaan dana otonomi khusus yang tepat guna.
Kini dalam memantau dan mengawasi semua pengelolaan sumber dana hingga dampak terhadap bagi masyarakat Papua tergolong rendah. Maka ada pejabat yang sungguh-sungguh membangun Papua, tapi ada juga yang memanfaatkan kesempatan jabatannya untuk berlaku sebaliknya.
Frans pun pernah bertemu dengan perwakilan mahasiswa-mahasiswa Papua, dia mengingatkan agar mereka kini turut fokus mengawasi pelaksanaan otonomi khusus, termasuk mengawasi penggunaan keuangan khas itu apakah tepat sasaran.
“Mahasiswa sebagai salah satu kelompok yang didayagunakan dan bisa dioptimalkan untuk mengawasi. Masyarakat mempunyai mahasiswa sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah,” terang Frans.
Papua juga butuh kelompok independen yang mandiri dan bebas dari ikatan emosional dan psikologis untuk mengawasi dana otonomi khusus, lantaran tak hanya dari internal pemerintah, tapi pengawasan pihak eksternal juga diperlukan.
“Intinya harus kembali ke hati nurani dari para pejabat yang notabene anak-anak Papua sendiri. Apakah betul membangun daerahnya, membangun rakyatnya atau tidak. Kalau bisa membangun komitmen untuk sesuai dengan sistem, aturan, dan mekanisme yang ada, pengawasan tidak terlalu diperlukan secara berlebihan. Karena semua berjalan maksimal untuk kepentingan rakyat. Kembali ke hati nurani,” tutur Frans.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz