tirto.id - Iwansyah Lubis harus berkemah seadanya selama berhari-hari di pinggir kanal lantaran lahan gambut di Rantau Bais, Riau masih sulit dipadamkan. Ia bersama sepuluh orang lain dari Tim Cegah Api (TCA) Greenpeace Indonesia harus melakukan pemadaman hingga tuntas agar kebakaran lahan yang terjadi pada 2016 lalu tersebut, tak meluas.
“Sekitar sepekan tidur di sana,” cerita Wan Abu, sapaan akrabnya kepada Tirto, Kamis (15/9/2022).
Akses untuk menjangkau ke sana, lanjut dia, tidak bisa memakai motor. Ia dan timnya harus berjalan kaki sambil mengangkat mesin untuk membantu pemadaman, hingga menyebrang kanal.
“Untuk menuju ke lokasi saja kita bisa jalan kaki hampir satu jam, karena memang lahan gambut itu kan konturnya sangat lembek, bawa mesin berat, dan orangnya kita enggak banyak,” ucap pria 33 tahun tersebut.
Sementara Rina Noviana, Mahasiswi jurusan fisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Riau (UNRI), terpaksa menyamar sebagai calon pembeli tanah untuk memantau (scouting) lokasi bekas kebakaran tahun 2019 lalu di Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).
Pada 5 September 2020, saat itu timnya dibagi menjadi dua tim. Ada tim yang menggunakan motor dan satu tim lain termasuk dia menggunakan mobil. Teman laki-lakinya yang berada di motor memakai kaos dan celana pendek untuk menyamar sebagai warga sana.
Kemudian, Rina dan dua teman laki-lakinya di mobil, menyamar sebagai calon pembeli tanah. “Jadi kita menyamar jadi orang yang lagi cari tanah. Terus kita sempat mampir di warung, jadi kan ditanya. Pas ditanya sama ibu itu (penjaga warung), sampai ibunya menawarkan kita tanahnya dia. Cari tanah ya? Aku tuh ada dua hektare, kalau mau biar ditelepon sekarang,” kenang Rina.
Rina dan timnya tentu saja menolak tawaran penjaga warung itu dan mengatakan bahwa mereka tengah mencari tanah yang luasnya 10 hektare ke atas, serta beralasan untuk dibuat kebun lahannya nanti.
“Tapi ibunya masih keukeuh nawarin,” ujar Rina terkekeh.
Jadi Korban Kebakaran Lahan
Evelyn sudah terbiasa dengan asap dan kabut karhutla. Di Kalimantan Tengah, tempat tinggalnya, tiap tahun selalu menjadi langganan kebakaran hutan. Namun pada 2017 dan 2019 lalu, merupakan tahun yang paling dirasakan dampaknya oleh Evelyn.
Kabut asapnya begitu tebal. Jalanan teramat gelap dengan visibilitas terbatas. Pada 19 September 2019, Indeks Kualitas Udara (AQI) Palangkaraya pada saat itu adalah yang paling buruk di Indonesia. Angkanya sampai 1057. Sekolah-sekolah diliburkan dan pasar-pasar ditutup. Banyak ibu hamil dan balita serta lansia terdampak buruk kesehatannya akibat kabut asap tersebut.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karhutla pada 2019 terjadi hingga seluas 2,635,223,54 ha dengan kerugian mencapai sekitar Rp215 miliar.
Tak hanya kesehatan, bencana tersebut juga memukul telak perekonomian warga Kalteng yang mayoritas petani.
“Jadi waktu itu ada kebijakan dari pemerintah bahwa petani-petani yang bertani dengan membakar hutan itu sudah dilarang. Jadi itu mematikan mata pencaharian para petani,” jelas Evelyn.
Keinginan untuk mengambil peran dan bermanfaat bagi masyarakat membuat Evelyn akhirnya bergabung dengan TCA. Momen ia berangkat dari basecamp, untuk ke lokasi pemadaman api menjadi hal yang selalu berkesan baginya.
“Ini soal nyawa taruhannya,” ucap Evelyn.
Diburu Warga
TCA Greenpeace Indonesia dibentuk sejak 2016. Tahun itu merupakan salah satu puncak kebakaran hutan yang sangat masif dan luas di Tanah Air. Terutama di daerah-daerah yang provinsinya memiliki hutan dan lahan gambut. Total kebakaran hutan dan lahan pada waktu itu seluas 438.363,19 ha.
Pada 2016, jelas Wan Abu, Greenpeace Indonesia ingin memfasilitas bagi relawan-relawannya agar dapat mengambil peran dan aksi langsung guna membantu upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla), utamanya lahan gambut.
Awal berdirinya TCA hanya sekitar 10 orang saja, tetapi kini sudah mencapai kurang lebih 30 orang.
“Nah, kebetulan memang pada saat dibentuk, [anggota] kita lebih dominannya itu kepada anak-anak muda yang memang berada di wilayah-wilayah sering terjadi kebakaran. Karena secara motivasi dan latar belakang, mereka lebih kuat kan,” ujar Wan Abu.
Beragam tantangan mereka hadapi mulai dari cuaca yang panas, kondisi lahan gambut yang tak stabil, api yang bisa membesar hingga mendekati rumah warga, serta sumber air yang jauh, hingga soal perizinan dan hubungan dengan masyarakat.
“Kemarin kita tuh ada scouting, jadi ditanyain sama masyarakatnya sedang apa. Jadi kita perlu beberapa safety security (keselamatan dan keamanan) juga untuk diri kita sendiri. Padahal sebenarnya niat kita kan cuma ingin membantu [agar] apinya enggak ke mana-mana, enggak makin bikin masyarakat di sini tuh tersiksa gara-gara api,” timpal Rani.
Evelyn bercerita saat mereka berpatroli ke salah satu titik api pada Kamis, 15 September 2022, ada warga yang tidak ramah, tidak menerima kedatangan TCA, hingga sempat dikejar oleh warga.
“Jadi kami ke sana, karena itu bekas kebakaran 2018 kan. Nah, kami ingin melihat apakah bekas kebakaran itu sudah digunakan atau belum. Ternyata memang belum digunakan, tetapi di sekelilingnya tuh sudah ada kelapa sawit dan tadi ada kebakaran, ada titik api kan. Dan kami tidak bisa memadamkan karena ternyata itu punya warga,” kata Evelyn.
Di luar dari tantangan-tantangan tersebut, menurut Rani, banyak kesempatan yang dapat ia lakukan sebagai anggota TCA.
“Seperti menyuarakan terkait karhutla yang ada di Riau, kesempatan untuk belajar mencegah api. Banyak hal yang akan didapatkan dan bisa diedukasikan, serta dibagikan kepada masyarakat-masyarakat yang berada di desa, khususnya di areal gambut,” jelas Rani.
Tahun 2022 Karhutla Lebih Sulit Dipadamkan
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menjelaskan, per Agustus 2022, terdapat hampir 60 ribu hektare (ha) lahan yang terbakar di Indonesia.
“Jumlahnya tidak besar, tapi masih terjadi terutama di wilayah-wilayah gambut dan banyak konsesi,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (15/9/2022) sore.
Menurut Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), totalnya ada 135.909 ha yang terbakar akibat karhutla pada tahun 2022 di Indonesia. Terluas adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu 48.457 ha, diikuti oleh Kalbar 19.633 ha, Nusa Tenggara Barat (NTB) 12.057 ha, Sumatera Barat (Sumbar) 9.442 ha, dan Lampung 4.914 ha.
BMKG memprediksi tahun 2022 akan lebih kering dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu mereka memperingatkan soal kebakaran lahan dan gambut berpotensi terjadi dan akan lebih sulit padam.
Untuk itu, selama bulan Agustus-September, Greenpeace Indonesia kembali menerjunkan Tim Cegah Api, setelah vakum selama dua tahun akibat pandemi.
Lokasi pencegahan api kali ini berfokus di Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat. Kubu Raya merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Total ada lebih dari 100 ribu hektar yang terbakar sepanjang 2015-2020, dengan paling banyak terjadi di 2015 dan 2019. Kubu Raya memiliki area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang luas, dengan titik kritis di Sungai Pungurbesar-Sungai Kapuas.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri