Menuju konten utama

Upaya Mencari Solusi Permanen Dampak Otsus & DOB di Konflik Papua

Komnas HAM meminta ada solusi permanen untuk menyelesaikan kekerasan di Papua atas dampak Otsus dan wacana DOB.

Upaya Mencari Solusi Permanen Dampak Otsus & DOB di Konflik Papua
Mahasiwa melakukan aksi di depan Perumas II Waena, Jalan Raya SPG Taruna Bakti, Kota Jayapura, Papua, Selasa (8/3/2022). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/tom.

tirto.id - Mahasiswa Papua di Gorontalo berunjuk rasa damai pada 23 Maret 2022. Dari titik kumpul di Asrama Cenderawasih, mereka berjalan ke depan kantor DPRD Kota Gorontalo, massa ingin beraspirasi soal kondisi tanah kelahiran mereka.

Massa meminta pemerintah segera menyelesaikan konflik politik di Papua yang memakan banyak korban, menolak pemekaran wilayah tanpa menyertakan pendapat rakyat, tarik militer organik maupun nonorganik dari seluruh tanah Papua, menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia, dan membuka akses bagi jurnalis untuk bisa meliput di sana.

“Kami juga meminta kepada para Kapolda dan Pangdam untuk menghentikan segala tindakan represif kepada rakyat yang menyampaikan aspirasi penolakan Otonomi Khusus dan pemekaran provinsi baru,” kata Korlap Aksi Timiles Yoman, via keterangan tertulis, Rabu (23/3/2022).

“Beberapa pemekaran kabupaten yang ada saja terjadi operasi militer,” tambah Dano Tabuni, penanggung jawab aksi wilayah La Pago, kepada Tirto.

Sejak 2014, pemerintah masih melaksanakan moratorium DOB hingga hari ini. Khusus untuk Papua, tiga tahun belakangan ini pemerintah pusat mewacanakan pemekaran dan memunculkan pihak yang menolak. Penolakan itu sejalan dengan penerapan moratorium.

Rencana pemekaran Papua diawali dengan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua –kini menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021- revisi tersebut tidak berkonsultasi dengan rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.

Revisi ini telah melanggar Pasal 77 UU Otsus lama. Kemudian, selain menyertakan suara rakyat Papua, Pasal 76 ayat (2) UU Otsus baru menegaskan “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua.”

Lalu “kewenangan” pemerintah pusat diperkuat lagi pada ayat (3), yang berbunyi “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.”

Berkaitan dengan revisi UU Otsus, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait menuturkan pemerintah turut mengabaikan Pasal 18A dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945. “Artinya aspirasi rakyat melalui MRP tidak diakomodasi, pemerintah secara sepihak menetapkan perubahan tersebut,” kata Yoel dalam diskusi daring, Kamis (24/3/2022).

“Untuk DOB, kami minta supaya [pemerintah] menunggu putusan Mahkamah Konstitusi karena kami ajukan judicial review terhadap perubahan UU Otsus yang [diputus] secara sepihak," tambahnya.

MRP tercatat sebagai Pemohon dalam perkara uji materi dengan Nomor 47/PUU-XIX/2021 di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun lalu. Para pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua.

Benny Sweny, anggota MRP, berpendapat rencana DOB dan UU Otsus Papua melahirkan polarisasi dan marjinalisasi kepada orang asli Papua. Sebab, tujuan dari Otonomi Khusus berdasar huruf j Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 terkait dengan penerapan hak asasi manusia, hak-hak dasar penduduk asli dan pluralisme.

“Tapi secara implementasi, terjadi pelanggaran HAM yang begitu hebat, kekerasan di mana-mana. Menimbulkan pro dan kontra terhadap otonomi khusus,” ucap Benny.

Dampak Otsus dan Pemekaran Papua

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan Papua yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusianya, bisa menetaskan konflik kepentingan. Akibatnya, siklus kekerasan terus terjadi cum pelanggaran hak asasi manusia belum ada solusi permanen.

“Komnas HAM mencatat, kurun waktu 2020-2021 lebih dari 1.100 kasus kekerasan, dengan korban jiwa TNI, Polri, kelompok bersenjata, maupun masyarakat sipil. Angka tersebut harus menjadi pertimbangan yang sungguh-sungguh bagaimana solusi atas siklus kekerasan bisa dihadirkan,” tutur Beka.

Tak hanya siklus kekerasan, ruang ekspresi dan pendapat rakyat Papua pun dibatasi pemerintah, itu pun harus diselesaikan lantaran orang Papua sama derajatnya dengan suku lain di Indonesia.

Bertautan dengan UU Otsus Papua terbaru, Komnas HAM tengah menyusun keterangan ahli ihwal posisi lembaga itu dan hasilnya akan diserahkan ke Mahkamah Konstitusi.

Ada beberapa poin dalam keterangan itu, seperti eksistensi masyarakat Papua, jaminan penyelesaian kasus-kasus kekerasan di Papua, dan kesejahteraan. Kemudian, perihal dialog damai, Beka melanjutkan, pihaknya ingin menjaga semangat penyelesaian segala bentuk krisis dan konflik Papua, bisa diakomodasi dengan dialog.

“Kami ingin menempatkan dialog damai, yang paling riil di tahun ini yang bisa dilakukan, adalah menurunkan angka kekerasan dan membuka ruang bagi operasi kemanusiaan. Kedua, kami mencoba mencari solusi permanen atas situasi Papua sekarang ini, kami akan bertemu dengan banyak pihak. Komnas mencoba mendudukkan persoalan Papua ini menjadi lebih komprehensif,” ujar Beka.

Pihaknya pun ingin mendapat jaminan dari pemerintah bahwa operasi dan pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan di Papua, dapat dihentikan. Lantas peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas berpendapat, meski ide pemekaran ada yang berasal dari masyarakat, tapi cenderung lebih menunjukkan kepentingan pemerintah pusat. “Ada kepentingan politik,” kata dia.

Pro dan kontra rencana DOB bisa mengakibatkan beberapa hal. Kesatu, nihil rasa aman bagi orang Papua dan memperkuat memoria passionis. Orang Papua merasa tak merdeka tinggal di tanahnya sendiri karena konflik yang pernah dan sedang terjadi. Kedua, kesulitan akses pelayanan publik bagi rakyat Papua. Ketiga, ketidakpercayaan antara orang Papua dengan orang Papua, maupun orang Papua dengan pendatang.

Cahyo meneruskan, berdasar penelitian beberapa pihak, termasuk LIPI, pemekaran dengan cara ‘top-down’ seperti mengulangi kuasa Belanda yakni menguasai sumber daya alam dan menguasai tanah Papua; dengan arti lain bakal menimbulkan konflik baru. Konsekuensi lain yang tidak diharapkan juga bisa muncul, antara lain ancaman depopulasi dan marjinalisasi orang asli Papua, penguasaan ekonomi, alam, dan birokrasi.

Bahkan reteritorialisasi aparat keamanan di sana juga akan jadi ancaman anyar; adanya daerah baru berarti bakal ada pengerahan aparat untuk mengisi area tersebut. “Beberapa penelitian konflik Papua, tak pernah ada yang merekomendasikan pemekaran.”

“Pemerintah harus melakukan konsultasi publik yang inklusif di tujuh wilayah adat,” ucap Cahyo, jika pemerintah ingin memaksakan pemekaran daerah.

“Mengundang semua pihak yang menolak, yang ingin merdeka. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi kelompok adat, kemudian mencari titik tengah. Lalu syarat apa yang harus dipenuhi untuk mencegah konsekuensi yang tidak diharapkan," tambahnya.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri