tirto.id - Biak adalah pulau matahari terbit, secara harfiah. Terletak di Teluk Cenderawasih, Biak berarti ‘timbul’, selayaknya pulau yang muncul dari cakrawala.
Penduduk Biak adalah pelaut andal yang telah membina hubungan dagang dengan pulau tetangga, jauh sebelum penjajah Portugis datang di abad ke-16. Di daerah sekitar seperti Teluk Wandamen, Yapen, Waropenkai dan di sepanjang pantai barat dan selatan yang berawa-rawa, para penduduknya berprofesi sebagai pelaut sekaligus pekebun pohon sagu. Para penduduk di pesisir, terutama Biak dan Yappen, terkenal sebagai pembuat perahu, dari ukuran mungil hingga kapal laut besar yang menampung 40 awak kapal.
Ada banyak klan - atau keret - di kawasan Biak-Numfor yang menganut sistem patrilineal. Sejak dulu, orang Biak dan Numfor sudah angkat sauh hingga Maluku, Gorontalo, Timor, Seram, Nusalaut, Buru dan Selayar. Orang Numfor berasal dari pulau yang sama namanya dan masih berkerabat dengan orang Biak. Mereka berabad-abad menempati pulau Biak dan Supiori.
Namun pulau indah seluas 2.455 km2 itu tak luput juga dari konflik. Pada awal Juli 1998, lebih dari satu bulan sejak Soeharto mundur dari jabatannya, puluhan warga sipil dibantai militer dalam apa yang disebut sebagai Peristiwa Pembantaian Biak. Saat itu, warga sipil mengibarkan bendera Bintang Kejora untuk memperingati deklarasi kemerdekaan yang gagal pada 1971. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia tak pernah mengakui atau membantah kejadian tersebut.
Faktanya, konflik tak selalu harus menumpahkan darah. Dalam rentang sejarah Papua, konflik bisa juga berupa perampasan hak-hak hidup mereka, terutama atas tanah.
Jauh sebelum tragedi Biak Berdarah 1998, masyarakat adat Biak sudah lebih dulu dihadapkan pada konflik tanah adat, ketika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) - yang kini terintegrasi dengan BRIN - ‘membeli’ tanah seluas 100 hektare di Kampung Warbon dan Saukobye, Biak Utara pada 1980. Tanah itu sejatinya diperuntukkan sebagai calon proyek bandar antariksa. Konflik muncul ketika masyarakat adat merasa tak pernah menyetujui pelepasan tanah tersebut.
Akar Konflik
Pada 2009, Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia merumuskan konflik di Tanah Cenderawasih dilatarbelakangi oleh empat isu strategis yakni sejarah integrasi Papua ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia; gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otonomi khusus; serta marjinalisasi orang Papua.
Berangkat dari empat sumber perkara itu, Tim Kajian menawarkan empat cara penyelesaian konflik seperti rekognisi berorientasi pemberdayaan orang asli Papua sebagai kompensasi atas marjinalisasi dan diskriminasi; pembangunan berparadigma baru dengan orientasi pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik; dialog berlandaskan kepercayaan sebagai upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi masa depan; serta rekonsiliasi berorientasi pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami masyarakat Papua dan kesediaan otoritas negara untuk mengakuinya sebagai kekeliruan masa lalu.
Dikaitkan dengan kasus tanah adat di Kampung Warbon dan Saukobye, Biak Utara, sebagai kandidat lokasi pembangunan bandar antariksa, Koordinator Jaringan Damai Papua Jakarta Adriana Elisabeth, menuturkan cara yang paling ampuh untuk meredam konflik ialah berkomunikasi.
Di Papua, di setiap wilayah adat ada cara tradisional untuk menyelesaikan konflik dan seharusnya pemerintah menempuh upaya serupa.
“Seperti itu caranya, selama masyarakat Papua belum semuanya terjangkau dengan modernisasi. Ya, harus ditempuh cara-cara tradisional. Coba digali kearifan lokal mereka seperti apa, itu coba dikomunikasikan. Kalau masyarakat itu paham, mereka pasti akan dukung. Yang menolak, bisa (karena) dua (alasan), mereka tidak paham atau mereka punya pengalaman dibohongi. Kebanyakan itu,” ujar Adriana kepada saya, (21/12/21).
Dia mencontohkan masyarakat di Manokwari Selatan, tanah warga mau dipergunakan untuk pembangunan, mereka sudah sepakat, semua suku marga menyetujuinya. Tiba-tiba lahan tersebut dialihkan untuk pelatihan Angkatan Darat. Jadi, kalau mau mengalihfungsikan peminjaman tanah juga harus dikomunikasikan. “Intinya kekuatan komunikasi, itu salah satu proses perdamaian yang harus dilakukan supaya mengurangi konflik dan kekerasan.”
Pemerintah pun harus bertanya seperti apa upaya yang tepat secara adat. Misalnya menjelaskan ihwal relokasi. Semua harus dibicarakan karena masyarakat Papua hidupnya sangat dekat dengan alam, mereka tidak punya bayangan akan dipisahkan dari tanah leluhurnya; berpindah ke tempat lain. Lantas perihal masyarakat adat lain yang tak mau menerima kedatangan masyarakat adat penjual tanah, ini bisa menjadi konflik baru.
Adriana berpendapat, kasus-kasus tersebut kerap ada, dus proses-proses komunikasi secara tradisional perlu dibuka dan dijelaskan betul hingga masyarakat bisa menerima. Kalau di Papua, karena mereka sistemnya kolektif dan sangat percaya dengan kepala suku, maka kepala sukunya harus diyakinkan supaya nanti ia bicara dengan masyarakat. Bila ada yang tidak setuju, maka ditanyakan penyebabnya.
Bagaimana kalau mereka pindah ke tempat suku lain? Secara internal, masyarakat adat mengalami persoalan itu dan harus diselesaikan, terang Adriana. Yang tak pernah dilihat oleh masyarakat di luar Papua, masyarakat adat memiliki mekanisme penyelesaian konflik secara kekeluargaan atau berupa kompensasi.
”Atau marga-marga itu anaknya banyak yang tidak bersekolah, kompensasi dapat (berupa) penyekolahan,” terang Adriana. “Macam-macam, sebetulnya ditanyakan kepada mereka kompensasi apa yang diperlukan. Tapi sekali lagi, jangan menipu. Karena banyak perusahaan menipu, banyak banget. Masyarakat kadang komplainnya sederhana: mereka dijanjikan sesuatu tapi tidak dikasih. Perusahaan banyak yang nakal.”
Permasalahan adat pun bisa diselesaikan melalui pengadilan adat. Secara internal diselesaikan, kemudian orang luar juga harus mengerti pengadilan adat. Di Biak, apalagi kaitannya dengan aspek ketahanan dan keamanan, kata Adriana, biasanya isunya dikaitkan dengan soal hak asasi manusia. Sehingga harus dipilah yang betul-betul menjadi kebutuhan masyarakat secara adat, supaya tidak berbaur dengan isu politik.
Ketika LAPAN membeli 100 hektare tanah Kampung Warbon, masyarakat adat diundang untuk menandatangani daftar hadir dan daftar terima uang ganti rugi beli tanaman Rp15 juta. Warga adat tak pernah merasa menyepakati penjualan tanah, dan muncul dugaan LAPAN merekayasa berkas penandatangan itu sebagai persetujuan pelepasan lahan adat.
Apolos Sroyer, Manfun Kawasa Byak alias Kepala Dewan Adat Biak menyatakan dalam sebuah musyawarah adat di Biak Timur para mananwir atau kepala keret berkumpul di Kampung Anggopi untuk membahas rencana pembangunan bandara antariksa di Kampung Warbon-Saukobye. Hasil pembahasan ialah menolak rencana LAPAN. “Kami memutuskan tidak akan memberikan sebidang tanah itu kepada siapa pun. Bahkan kami tindak lanjuti pertemuan ini dengan mengadakan pleno khusus di (Kampung) Sorido KPS untuk lebih memperkuat keputusan sidang kami dan di situ kami umumkan melalui media tentang tanah yang diklaim oleh LAPAN. Karena waktu itu LAPAN hanya mengganti rugi Rp15 juta kepada marga Rumander,” kata dia. Hasil pleno itu juga bakal mengembalikan uang ganti rugi.
Lembaga adat harus memperjuangkan hak dan harga diri si pemilik resmi tanah adat. Lahan tersebut tidak bisa dilepas sembarangan karena itu adalah kepunyaan turun temurun dari moyang. Di situ mereka bertahan hidup. “Saya selalu sampaikan kepada mananwir bahwa kami ini adalah benteng terakhir penjaga dan pelestari hak-hak masyarakat adat. Kalau bukan kami maka siapa yang mau melindungi hak-hak masyarakat?”
Asimetri Informasi
Di Papua terjadi asimetri informasi dari penentuan tata ruang. Kawasan hutan, sumber air dan pangan, dianggap tanah tak bertuan. Maka banyak pengakuan tanah yang dikuasai oleh negara, yang tidak terlegitimasi di masyarakat adat. Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Mufti Barri menyatakan pihaknya pun tak menolak pembangunan, namun apa pun pembangunan yang dilakukan di Tanah Papua seharusnya mendapat legitimasi dari masyarakat adat.
Biasanya yang didengar oleh pihak Jakarta --orang Papua kerap menyebut pemerintah di tingkat pusat dengan sebutan ini-- selalu mendapatkan kabar bahwa masyarakat adat menerima rencana pembangunan. “Ada penyesatan informasi yang terjadi terkait penggunaan atau pemanfaatan lahan di Papua. Ini yang kami selalu suarakan, bagaimana seharusnya pengelolaan ruang, tanah, hutan di Papua, informasinya disampaikan secara utuh. Yang terjadi saat ini, informasi masih setengah-setengah, dibelokkan. Baik itu informasi dari pusat ke Papua atau sebaliknya,” ujar Mufti kepada saya, Rabu, 5 Januari 2022.
Contohnya, pembangunan bandar antariksa, di tingkat pusat publik merasa ide itu baik-baik saja. Tapi apakah rencana itu betul diterima secara utuh oleh masyarakat pemilik tanah adat?
“Jangan-jangan, yang tahu detail rencana pembangunan itu malah pihak yang di Jakarta, sementara yang di Papua tak tahu apa-apa. Tiba-tiba sudah ada rencana, sudah dapat persetujuan menteri, sudah ada investor, itu yang kerap terjadi di Papua,” beber Mufti.
Asimetri informasi menyebabkan kurangnya ruang negosiasi pemerintah dan masyarakat, yang Mufti nyatakan jangan ada pembangunan semena-mena seperti yang terjadi di Tanah Mama seperti saat ini. Pemerintah harus transparan informasi apa pun, perkara warga menolak atau menerima, itu lain soal. Mufti yakin, jika pembangunan murni dilakukan guna kepentingan masyarakat Papua, maka masyarakat tak menolak. Apalagi pembangunan memang menguntungkan bagi masyarakat di sana. Pada praktiknya selama ini pembangunan di Papua tidak pernah memperhatikan hal tersebut.
Masyarakat adat di Papua selalu belajar dari kasus-kasus yang telah terjadi di daerah lain di Papua. Seperti hak tanah dan hutan dirampas, hak budaya hilang. Maka ketika ada rencana pembangunan yang tidak disampaikan secara utuh, tanggapan pertama warga adat pasti menolak. Karena secara historis selalu merugikan masyarakat adat.
Papua adalah daerah otonomi khusus yang pembangunannya berbasis budaya dan wilayah adat. Yang terjadi di Biak adalah salah satu potret bahwa penerapan Otonomi Khusus Papua tidak optimal alias setengah hati. Kenapa? Karena otonomi khusus, yang basisnya adalah masyarakat adat, pemerintah mestinya memberikan perlindungan dan jaminan pemenuhan masyarakat termasuk perihal wilayahnya.
“Sayangnya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua jadi kurang bermakna bagi masyarakat di Papua karena intervensi dari undang-undang sektoral lainnya yang mestinya dikecualikan di sana. Karena Undang-Undang Otonomi Khusus Papua itu lex specialis, artinya undang-undang lain tidak sejauh itu cara kerjanya. Ada asas hukum bahwa ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Ketentuan khusus itu adalah Undang-Undang Otsus Papua,” terang Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Muhammad Arman, 7 Januari.
Situasi terkini ialah Indonesia punya penyakit akut ihwal sektoralisme pengaturan hak masyarakat adat yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Cara pandang pemerintah pusat adalah meskipun di sana ada otonomi khusus, tapi penerapan undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Kehutanan cum Undang-Undang Pokok Agraria, masih sangat dominan di Papua.
Arman berpendapat ada faktor mendasar ihwal cara pandang. Bukan sekadar melihat wilayah adat dalam konteks masyarakat dan pemerintah. “Pemerintah selalu berpandangan bahwa semua wilayah adat semata-mata perspektif ekonomi, sementara bagi masyarakat itu ruang hidup. Karena ruang hidup, maka di dalamnya ada ekososial sebagai satu perspektif, sebagai kosmologi kehidupan orang Papua. Kemudian, model-model pengakuan masyarakat masih bersyarat,” imbuh dia. Syarat yang ia maksud seperti syarat politik, syarat sosial, dan syarat hukum.
Syarat politik, misalnya, harus tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan hak masyarakat adat itu memang harus dalam bingkai negara Indonesia; kedua, syarat sosial. Undang-undang sektoral yang pemerintah pusat terapkan di Papua, dianalogikan seperti menyiapkan baju tapi seluruh ukuran baju itu sama. Padahal tidak semua orang ukuran bajunya serupa.
“Cara pandang begini yang keliru. Di Papua, pemegang tanah hak ulayat itu adalah marga. Saya tidak yakin jika proses pembangunan itu masyarakat baru tahu ketika ada penggusuran dan sebagainya. Celakanya, pemerintah hanya masuk dalam konteks sosialisasi. Sosialisasi dalam kerangka demokrasi itu sebenarnya berada pada tingkatan paling bawah. Artinya, masyarakat setiap ada proyek mesti diinformasikan terlebih dahulu, apa manfaatnya, kemudian masyarakat diberikan kesempatan untuk menyatakan iya atau tidak terhadap proses pembangunan itu,” tutur Arman.
“Tapi ada satu pandangan yang selalu jadi problem mendasar, yaitu hegemoni penguasaan negara. Padahal dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dan Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa hak menguasai negara dibatasi oleh hak ulayat. Ruang bertemu itu belum berjumpa dalam konteks yang lebih setara dan harmonis, tapi selalu berjumpa dalam situasi konflik, karena perbedaan paradigma.”
Masyarakat tidak anti investasi, tapi mereka menginginkan ada proses-proses yang lebih manusiawi, lebih demokratis, dan tentu saja partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan merupakan demokrasi yang fundamental. Pembangunan dari dan bagi masyarakat, sama seperti prinsip demokrasi, namun itu yang tidak terealisasikan. Secara umum kehidupan masyarakat di bioregion Papua masih banyak bergantung dari alam. Rusaknya ekosistem akan membawa dampak ikutan berupa kerusakan di dasar sendi-sendi kehidupan dan peradaban mereka. Ciri khusus kehidupan tradisional masyarakat di Papua-Papua Barat adalah berlapisnya hubungan manusia dengan alam (sosial, ekonomi, ekologi, budaya, religi magis).
Manifestasi hariannya dapat diketahui dari jenis pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya yang umumnya masih berorientasi pada tujuan yang bersifat subsisten. Tujuan pemenuhan substansial harian, bukan komersial dan melayani pasar besar. Alat dan teknologi yang dipakai juga memperhatikan batas-batas toleransi yang dapat mengancam ekosistem. Tentu saja selaras dengan kebutuhan bertahan hidup mereka di lanskap ekosistem mereka, di dataran tinggi, tengah, rendah-pesisir kelautan, serta pulau-pulau kecil.
Ini berkaitan dengan tanah adat Warbon. Jika lahan mereka dijadikan bandar antariksa, maka ini memanjangkan daftar kehilangan hutan di Papua. Berdasar data Forest Watch Indonesia dalam ‘Bioregion Papua, Hutan, dan Manusianya’, per 2018, kondisi hutan dan deforestasi di Kabupaten Biak Numfor periode 2000-2018 pun terpampang jelas, Rinciannya, terdapat 91.269 hektare bukan hutan; 1.219 hektare deforestasi 2013-2018; 132.737 hektare hutan alam 2018; dan 225.225 hektare grand total.
Sementara, hingga tahun 2013, luas hutan alam di wilayah bioregion Papua (Papua, Papua Barat, dan Kepulauan Aru) mencapai 30 juta hektare atau 85 persen dari luas daratan wilayah tersebut. Keberadaan hutan terus mengalami tekanan. Pada tahun 2013, 31 persen atau 11,2 juta hektare hutan alam berada di dalam konsesi perizinan (IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK-HT/HTI, perkebunan, dan pertambangan). Medio 2009-2013, 612.997 hektare hutan alam di Papua hilang atau 153.249 hektare/tahun, atau setara dengan lebih dari dua kali luas Jakarta.
Hak Masyarakat Adat
Arman melanjutkan, hukum saat ini gentayangan. Undang-undang dibuat untuk mengatur sesuatu, tapi realitas masyarakatnya tidak terjawab dengan keberadan regulasi tersebut. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 56, misalnya, disebutkan “Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.”
Sialnya, sampai sekarang Indonesia belum memiliki Undang-Undang Hak Milik. “kepemilikan secara adat itu sah dan berlaku secara hukum. Di mana ruang bertemunya? Ruang bertemunya kembali ke proses-proses awal, seperti bangun dialog. Pun pembangunan itu harus menggusur, misalnya, pastikan mereka (warga adat) tidak kehilangan entitas. Mungkin ada lokasi tertentu bagi masyarakat adat, yang tidak boleh dilakukan pembangunan di sana. Tapi ada juga yang boleh (dibangun). Ini perlu rembuk bersama dengan pemerintah,” kata Arman.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay berujar, dalam perkara ini, pemerintah tidak boleh melakukan hal-hal di luar undang-undang. “Masyarakat adat menolak? Itu hak masyarakat adat. Kalau dia menolak, maka kembali ke pemerintah sebagai mediator, melihat penolakan sebagai apa. Kalau pemerintah melihat itu sebagai alasan yang tidak masuk akal, saya pikir itu termasuk konteks pemaksaan. Pemerintah sedang mengabaikan Undang-Undang Otonomi Khusus,” tutur dia, Senin, 3 Januari 2022. Pemaksaan tersebut termasuk tindakan pelanggaran hukum yakni menyalahi hak masyarakat adat.
Dalam konteks ini salah satu aturan yang dilanggar pemerintah yakni Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Tak hanya itu, seandainya tanpa sepengetahuan masyarakat adat, LAPAN menyepakati kontrak yang tidak disetujui oleh pemilik tanah, maka upaya bisa dianggap sebagai tindak pidana penggelapan tanah seperti yang tertuang dalam Pasal 385 KUHP.
“LAPAN atau BRIN adalah badan hukum, di hadapan hukum semua sama. Dia juga harus menghargai eksistensi masyarakat adat dan hak-haknya. Ketika masyarakat memilih tidak, itu hak masyarakat menyampaikan pernyataan atas rencana. Badan hukum sebagai subjek hukum, dia juga harus tunduk kepada aturan perundang-undangan yang berlaku, tidak bisa dapat melakukan semau dia,” kata Emanuel.
Masyarakat adat bisa melakukan dua upaya hukum jika sengketa tanah ini makin runyam. Kesatu, menggugat lewat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara lantaran negara melalui pemerintah pusat/kabupaten/provinsi memberikan izin kepada perusahaan atau pihak pembangun. Kedua, menggunakan sistem tindak pidana penggelapan tanah adat. Pemilik lahan bisa melaporkan ke kepolisian. Kemudian, karena itu bagian dari hak masyarakat adat, mereka bisa melaporkan ke Komnas HAM.
Bukan hanya merusak alam dan membuat masyarakat adat kehilangan kehidupan, dalam hal area kandidat pembangunan, juga melahirkan masalah sesama orang Papua. “Dampaknya bukan hal kecil, bahkan sampai campur tangan memecah belah lembaga adat di Biak juga. Keterlibatan pemerintah, dalam hal ini Bupati, ada di dalam untuk memecah belah mananwir-mananwir Biak. Jadi, mana yang mendukung dia (Bupati), itu dia dorong. Kalau kita mau lihat, adat itu kan setingkat dengan dia. Tapi toh dia bisa ikut campur sampai ke dalam,” kata Simon Morin, Koordinator Program Yayasan Rumsram Biak, 28 Desember lalu.
Rumsram adalah pusat pengembangan sumber daya masyarakat kampung yang handal dan mandiri. Rumsram berasal dari bahasa Byak ‘Rum Sram’ yang berarti ‘Rumah Pemuda’. Dalam adat istiadat masyarakat Biak, anak lelaki yang tumbuh menjadi remaja dilatih untuk mandiri dengan ditempatkan dalam suatu rumah. Simon menegaskan pihaknya harus hati-hati dalam perkara ini karena intervensi pemerintah, terutama pemerintah daerah, terlalu besar untuk memaksakan rakyat melepas tanahnya. Ia tak ingin yayasan tersebut dianggap provokator.
Namun yang pasti, Rumsram setuju dengan penolakan warga adat. Mereka bekerja sama dengan mananwir Kainkain Karkara Byak untuk memberitahukan dampak dari pembangunan. “Karena kekuatannya di situ, keputusan ada di mereka (warga adat). Kalau mereka mengerti bahwa dampak tidak terlalu bermanfaat buat mereka sendiri, lalu menolak, lebih bagus.”
Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib buka suara soal Kampung Warbon. Ia menyatakan September 2021, pihaknya sebagai lembaga kultural orang asli Papua, telah menjaring pendapat masyarakat adat di sana. Hasilnya sama saja dengan pleno Kainkain Karkara Byak: warga adat menolak pembangunan bandar antariksa.
Berdasar penilaian Majelis Rakyat Papua, tanpa ada penjelasan lebih konkret dan lebih detail perihal pertanggungjawaban LAPAN, seakan-akan masyarakat adat meminta ganti rugi pelepasan tanah sebagai syarat menyetujui pembangunan, padahal tidak. Timotius merencanakan pertemuan dengan LAPAN tahun ini guna menyampaikan konsekuensi pembangunan bandar antariksa. Setelah ada presentasi dari LAPAN, Majelis Rakyat akan berembuk. “Tapi sebelum itu, MRP pada prinsipnya tetap menolak pembangunan Antariksa di Biak, kami menolak.”
Liputan ini merupakan kolaborasi Tirto.id dan suarapapua.com, bagian dari fellowship ‘Peliputan Sektor Keamanan dan HAM di Papua’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Adi Renaldi