Menuju konten utama

Mereka yang Pro & Kontra Soal Rencana Bandar Antariksa Biak

LAPAN berencana memperluas lahan yang telah dimiliki dari 100 hektare menjadi 1.000 hektare. Masyarakat adat di Biak pun terbelah.

Mereka yang Pro & Kontra Soal Rencana Bandar Antariksa Biak
Lapangan rumput Kampung Warbon, masih asri lantaran banyak pepohonan. Salah satu jalan masuk menuju dusun. Selasa, 14 Desember 2021. tirto.id/Adi Briantika.

tirto.id - Permenas Sermumes menemui saya di teras rumahnya, di Kampung Andey, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor. Rumah Permenas begitu asri, dengan pepohonan rindang mengelilingi rumah serta pot bunga yang berjejer di terasnya.

Permenas adalah seorang mananwir sekaligus tetua adat. Usianya 50-an tahun. Selain menjadi sosok yang dituakan, Permenas juga bertugas menjaga hak-hak ulayat masyarakat adat.

“Di Biak ini setiap tanah itu punya tuan,” ucap dia.

Masalah tapal batas tanah adat pun mesti bisa diselesaikan dengan kepala dingin, tambahnya. Setiap mananwir yang ada di setiap tempat harus bisa menjalankan fungsinya, seperti mengawasi masyarakat. Tapi secara organisasi, mananwir ditunjuk untuk memantau situasi secara umum.

Bila lahir konflik, mananwir kudu segera turun tangan. Dia mencontohkan, biasanya terjadi baku klaim lahan antar marga. Satu marga mengaku itu tanahnya, begitu juga pihak lainnya. Maka Permenas harus meluruskan kasus itu, dibicarakan dan diusahakan mencapai kesepakatan batas lahan.

“Saya panggil marga-marga yang bersama di tempat itu. Mari diatur bersama, mana (tanah milik) moyangmu, sampai di mana? Mari kami atur supaya jangan menjadi konflik untuk masyarakat sendiri,” kata dia. “Sungai, batu besar, gunung, bukit, atau tanjung bisa jadi batas tanpa plang. Tidak bisa ubah, kekal seperti itu.”

Tapi apa jadinya ketika pemerintah datang menguasai secuil wilayah adat mereka?

Tugas Permenas adalah menjadi jembatan dalam konflik yang melibatkan hak atas tanah ulayat. Dialog jadi kunci para pihak, tapi pemerintah harus bekerja sama dengan lembaga adat.

“Namun jika masyarakat adat tidak mau relakan tempatnya, itu hak mereka. Kami tidak bisa paksa. Jika dia rela, ya, silakan,” tutur pria yang juga berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu.

“Karena tanah itu adalah milik dia turun-temurun. Tidak bisa dambil karena itu haknya, di situ mereka makan dan minum,” tambahnya.

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) yang kini terintegrasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berencana memiliki 1.000 hektare tanah di Kampung Warbon dan Saukobye, Biak Numfor, yang menjadi salah satu calon kuat pembangunan bandar antariksa.

Permenas menyatakan Kampung Andey, yang berada di seberang dua kampung kandidat, bisa terkena dampak pembangunan. Pada 7 April 2021, ada pertemuan lima kelompok masyarakat membahas soal bandar antariksa tersebut. Hasil pertemuan ialah para mananwir tetap bersepakat menolak ide LAPAN.

Masyarakat Terbelah

Kendati BRIN dan pemerintah belum memutuskan lokasi untuk bandar antariksa, gaung rencana pembangunan tersebut telah nyaring terdengar sejak beberapa dekade lalu. Dan ini memunculkan intrik baru di tengah masyarakat adat: tak sedikit yang mendukung rencana pemerintah.

Pada 25 Oktober 2021, perwakilan masyarakat adat Byak datang ke Jakarta bersama Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap untuk bertemu dengan Kepala BRIN Tri Laksana Handoko. Mereka mengatasnamakan diri sebagai bagian dari Kainkain Karkara Byak.

Kainkain Karkara Byak adalah lembaga suku Byak yang dibentuk berdasarkan struktur sosial masyarakat setempat. Suku Byak membagi wilayah adat menjadi sembilan area yang disebut ‘Bar’. Ada sepuluh bar yang meliputi Padaido, Wamurem, Swapor Inggundi, KBS Sorido, Mani, Napa, Swandiwe, Supiori, Numfor dan Raja Ampat. Kesepuluh wilayah adat ini berada dalam tiga kabupaten.

Ada empat orang dari suku Byak yang datang bersama sang bupati, mereka adalah Yosep Korwa, Yopis Mas, Moses Kafiar, serta Samuel Kapitarauw. Kepergian keempat orang itu ke Jakarta untuk ‘sowan’ dengan Kepala BRIN membuat lembaga adat gerah. Akhirnya setelah musyawarah dengan tetua adat rampung, dewan adat sepakat mencopot mereka sebagai anggota Kainkain Karkara Byak.

Selisih pendapat antar anggota marga pun tak terhindarkan, menurut sekretaris Bar Napa Semuel Wurnares. Semuel menyatakan dalam pertemuan adat, Mananwir Kafiar tidak setuju dengan ide bandar antariksa. Selisih pendapat sesama anggota keluarga Kafiar pun muncul.

“Ini adik-kakak. Kakaknya ikut rombongan bupati, sedangkan adiknya di depan pertemuan itu tidak terima (rencana pembangunan). Bahkan marga Kafiar tidak setuju. Dorang tidak punya pikiran, yang satu ini bawa (ke Jakarta) untuk sampaikan ke sana. Itu hanya oknum saja,” kata Semuel.

Semuel mengatakan hingga kini belum ada pertemuan langsung antara pemerintah dan masyarakat adat.

“Belum pernah. Upaya ini semua di luar. Belum ada pertemuan pemerintah dengan warga yang punya tempat.”

Berdasar data Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor Tahun 2021, penduduk Kecamatan Biak Utara mencapai 3.685 jiwa di tahun 2020, dengan laju perlambatan pertumbuhan penduduk 5,39 persen. Luas wilayah mencapai 143 km2 dengan kepadatan penduduk di mencapai 25,77 jiwa per km2. Artinya, setiap 1 km2 Kecamatan Biak Utara dihuni sekitar 25-26 jiwa.

Di sana terdapat beberapa fasilitas pendidikan yakni 10 SD negeri, 4 SD swasta, 4 SMP negeri dan 1 SMA negeri. Fasilitas kesehatan hanya puskesmas tanpa rawat inap yang terletak di Rosayendi; sedangkan rumah sakit, rumah sakit bersalin, puskesmas rawat inap, poliklinik, balai pengobatan dan apotek, belum dapat ditemui di seluruh wilayah Biak Utara.

Kepala Distrik Biak Utara Akwila Wabiser, adalah salah satu orang yang mendukung rencana bandar antariksa. Akwila menyatakan rencana pembangunan bandar antariksa bukan hal baru, bahkan sudah dibicarakan sejak dahulu.

“Orang tua yang punya tanah sudah melakukan (pembuatan) berita acara. Sudah tanda tangan untuk proses pembangunan bandar antariksa, kalau tidak salah dari tahun 1980, awalnya dari situ,” aku dia. Bahkan eksekusi pembangunan bakal ada dua tahap, namun ia tak tahu pasti kapan pemerintah pusat menetapkan daerah Saukobye jadi bandar antariksa.

Akwila berpendapat bandar antariksa ini adalah “pembangunan berskala kecil yang imbasnya tak seperti yang digembar-gemborkan.”

Pemerintah pun sudah mengkaji area dan mensosialisasikan dampak pembangunan kepada warga setempat. Meski masyarakat adat menentang rencana LAPAN, bagi Akwila itu adalah hal biasa.

“Saya pikir, penolakan atau tidak, kondisi itu hal biasa. Penolakan-penolakan, demonstrasi, itu hal lumrah, sudah biasa. Bukan hanya di Biak saja,” ujarnya.

Dia dan jajaran pemerintah telah melakukan pendekatan secara kedinasan dan kekeluargaan terhadap para pemilik tanah adat Warbon, tujuannya agar tak ada gesekan.

Kapan pemerintah memutuskan pembangunan tersebut? Akwila katakan “kembali ke pemerintah pusat kapan dia mau lakukan, tapi rencananya, ya, tidak dalam waktu terlalu lama.”

Pertarungan Hukum

Gerard Kafiar, sekretaris jenderal Kainkain Karkara Byak yang merangkap sebagai ketua Bar Napa, mengatakan pihaknya akan menggugat pemerintah dalam rencana bandar antariksa tersebut. Sebab, menurutnya, rencana tersebut melecehkan hak asasi manusia.

“Pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk ngotot membangun bandar antariksa, kami anggap ini sebuah pelecehan terhadap hak asasi manusia. Kami nyatakan itu dalam sebuah pleno ketetapan,” ujar Gerard.

Dalam pertemuan tetua adat, Gerard mengatakan akan mempersiapkan tim advokat yang terdiri dari 25 pengacara untuk membantu di tingkat lokal dan nasional.

Gerard mengatakan landasan hukum gugatan tersebut mengacu pada Pasal 1 huruf s Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Di situ dijelaskan soal hak ulayat yang merupakan hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Gerard pun heran mengapa Pemkab Biak Numfor tak memahami aturan tersebut

“Dia (bupati) belum tahu tentang aturan-aturan yang menjadi landasan hukum. Bupati pun sendiri bingung dengan aturan itu. (Penjelasan) Undang-Undang Nomor 21 (Tahun 2001), jelas,” ucap Gerard, sembari mengaku masih membuka ruang dialog antara pemerintah dan lembaga adat.

Kainkain Karkara Byak mengangkat dan mengesahkan Tim Hakim Adat Byak guna menyelesaikan perkara tanah sengketa, berdasar Surat Keputusan Nomor: 003/A/SEK-KKB/2021 bertanggal 7 Juni 2021.

Relasi Alam-Manusia

Hubungan manusia dan alamnya adalah relasi yang sederhana. Alam memberikan semua yang dibutuhkan, sedangkan manusia menjaga dan menghormati alam sebagaimana seorang anak yang menghormati ibu yang telah melahirkannya.

Relasi alam-manusia tersebut telah terjadi selama ribuan tahun, jauh sebelum keserakahan oligarki mencengkeram alam. Di Kampung Warbon, hubungan manusia-alam terus terjalin secara intim.

Perempuan adat Warbon biasanya berkebun, hasilnya dijual untuk memenuhi keperluan. Uang itu digunakan untuk memasak, menyekolahkan anak, membeli pakaian, dan pemenuhan kebutuhan keseharian lainnya. Elsa Sroyer, anggota Kainkain Karkara Byak, mengatakan tanah adalah sumber kehidupan adat.

Elsa hingga kini menuntut transparansi kajian LAPAN perihal alasan pembangunan, dampaknya, kompensasi yang didapat jika masyarakat melepas lahannya.

Perempuan yang berdomisili di Sorido itu mengerti bahwa pembangunan itu untuk membangkitkan kabupaten dan bisa saja berdampak positif kepada penduduk. Umpama, masyarakat sekitar bisa mendapatkan lapangan pekerjaan lantaran ikut andil di tempat. Tapi pemerintah daerah tidak pernah sosialisasi langsung kepada pemilik hak ulayat.

“Itu satu-satunya mereka punya kehidupan di situ, berkebun dan melaut, setiap hari. Kalau itu jadi dibangun, masyarakat pemilik mau ke mana? Mama-mama mengeluh karena itu tempatnya berkebun,” ujar dia.

Liputan ini merupakan kolaborasi Tirto.id dan suarapapua.com, bagian dari fellowship ‘Peliputan Sektor Keamanan dan HAM di Papua’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.

Baca juga artikel terkait KONFLIK TANAH ADAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Adi Renaldi