tirto.id - Kegiatan Korps Bhayangkara di tanah Papua selalu dievaluasi oleh Kapolri, termasuk Operasi Nemangkawi yang berakhir pada 10 Januari 2022. Kala operasi itu masih berjalan, kepolisian mendapatkan masukan dari pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat ihwal penanganan perselisihan di sana.
Pelaksanaan Operasi Nemangkawi tak lepas dari pro dan kontra, tapi sisi kontra lebih banyak. Salah satu hasil evaluasi adalah penanganan konflik di Papua dapat melalui pendekatan lunak yang mengedepankan rasa kemanusiaan. Maka lahirlah konsep Operasi Damai Cartenz, cum kegiatan itu resmi berlaku pada 17 Januari-31 Desember 2022.
“Kami mengedepankan pemerintah daerah dan melakukan pendekatan pemolisian humanis. Mudah-mudahan bisa membantu, bersama-sama dengan instansi lainnya, untuk bisa menjawab persoalan yang terjadi di tanah Papua khususnya gangguan kekerasan bersenjata,” kata Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri, Selasa (18/1/2022).
Sebanyak 1.876 personel gabungan dari tim Bawah Kendali Operasi Mabes Polri, Polda Papua, dan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih dikerahkan dalam operasi kali ini.
Mathius menyatakan seluruh personel itu akan mengurangi kegiatan ofensif. Umpama, tim Bawah Kendali Operasi akan diterjunkan ke wilayah yang masih terjadi konflik kegiatan bersenjata, mereka bakal membantu polres setempat untuk mengejawantahkan konsep pendekatan kemanusiaan, misalnya dengan memaksimalkan program Binmas Noken.
Operasi Damai Cartenz menyasar lima wilayah operasi, yaitu Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten Puncak. Lima daerah ini dipilih karena dianggap masih menyimpan kekerasan dari kelompok pro kemerdekaan Papua.
Selain menyosialisasikan konsep terbaru, peran pemerintah daerah juga dimaksimalkan dalam Operasi Damai Cartenz. “Kami akan minta bupati sebagai garda terdepan untuk membantu pemerintah, kepolisian dan TNI, untuk mendorong percepatan pembangunan menuju kesejahteraan di masing-masing wilayah yang masih terjadi konflik kekerasan bersenjata,” terang Mathius.
Tak hanya Damai Cartenz yang digagas aparat keamanan, Polri juga menginisiasi Operasi Rastra Samara Kasih atau Rasaka. Operasi Rasaka ini menguatkan konsep yang pernah dilakukan pada Operasi Nemangkawi. Contohnya, polisi membantu warga menggarap lahan pertanian.
“Sektor unggulannya adalah menguatkan, dengan kekuatan masif kami berharap keikutsertaan masyarakat, Polri di belakang mendorong saja, tidak lagi berperan. Kalau beberapa waktu (lalu) kami buka kebun. Kami berharap (upaya) ini melahirkan kelompok-kelompok baru yang mau membangkitkan nilai sosial dan ekonomis,” sambung dia.
Apakah operasi-operasi baru ini akan efektif menanggulangi konflik Papua? Mathius berpendapat aparat harus bisa menahan diri. Misalnya, tentara dan polisi baku tembak dengan kelompok pro kemerdekaan Papua. Dampak yang ditimbulkan pun negatif, seperti kehilangan nyawa. Jadi, untuk selanjutnya tim harus defensif dan tidak reaksioner atau merespons berlebihan. Kesiapsiagaan tetap dipertahankan, tapi mesti disertai dengan pengawasan jeli.
Polda Papua punya pengalaman mengelola situasi kamtibmas periode 2012-2017. Contohnya, penembakan di Kabupaten Lanny Jaya dan Puncak Jaya yang semakin berkurang karena aparat keamanan berhasil menangkap dan memproses hukum 16 orang tersangka, tanpa memuntahkan peluru hingga menyebabkan kematian. “Kami mengurangi risiko korban dari masyarakat, itu cukup efektif dan berhasil.”
Mathius bilang, penurunan intensitas penembakan tidak boleh berhenti di dua kabupaten itu. Polisi selalu berkomunikasi dengan pemerintah daerah dan tokoh-tokoh setempat untuk membantu menyelesaikan konflik. Kerja sama para pihak ini menyebabkan percepatan proses pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang berimbas kepada kenaikan kesejahteraan masyarakat.
“Itulah dampak, dua kabupaten ini majunya luar biasa. Mereka jadi sentra pembangunan kabupaten baru di daerah pegunungan. Kami akan mengurangi risiko korban dari masyarakat,” kata si jenderal.
Operasi Rastra Samara Kasih bakal berlangsung pada 3 Februari-31 Desember 2022 merupakan operasi kewilayahan dan berisikan 425 personel Polda Papua dan polres. Wilayah penerapan operasi ini meliputi 24 kabupaten atau dinaungi oleh 23 Polres di luar wilayah kerja Operasi Damai Cartenz. Dua kegiatan ini bakal beriringan.
Operasi Damai Cartenz meski mengedepankan fungsi pembinaan masyarakat, intelijen dan kehumasan, juga didukung oleh Satgas Penegakan Hukum bila sewaktu-waktu terjadi konflik dengan kelompok bersenjata. Sementara, Operasi Rastra Samara Kasih murni menonjolkan preemtif dan preventif, tanpa dukungan Satgas Penegakan Hukum.
Sinkronisasi Keyakinan
Filep Karma, tokoh Papua, tak percaya dengan konsep terbaru yang ditawarkan dalam Operasi Damai Cartenz. Ketika saya hubungi, Rabu, 19 Januari 2022, ia mengatakan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia sudah 60 tahun berjanji kepada orang asli Papua perihal damai. Sebut saja spanduk-spanduk bertuliskan ‘damai itu indah’ yang dipasang di markas-markas polisi dan tentara. Nyatanya itu hanya slogan semata, tapi kenyataannya banyak orang Papua yang meregang nyawa karena operasi aparat keamanan.
“Kami dijanjikan berbagai hal bagaikan angin surga, tapi yang kami rasakan itu panasnya neraka. Saya tidak percaya mau janji apa pun, saya tidak percaya akan ada perubahan perlakuan. Damai itu indah, tapi apa yang dong lakukan di lapangan?” ucap Filep.
Konsep-konsep terbaru ini ia nilai hanya jualan Indonesia kepada pihak asing supaya ada donatur untuk melanjutkan program otonomi khusus.
Sebab, kata Filep, dana otonomi khusus Papua tak sepenuhnya berasal dari kantong negara ini, tapi ada kucuran dana negara lain. Benang merahnya adalah ketika orang Papua menolak otonomi khusus, para donatur kecewa lantaran praktiknya tidak sejalan dengan niat. “Dalam rangka kampanye menarik simpati orang luar (asing), agar digelontorkan dana lagi, dipakailah slogan-slogan munafik tersebut.”
Orang Papua tak percaya Operasi Damai Cartenz bisa optimal, musababnya karena kasus pelanggaran hak asasi manusia sejak tahun 1960-an pun tak berhasil dirampungkan pemerintah. Perlakuan Indonesia terhadap orang Bumi Cenderawasih ia sebut sangat rasis dan diskriminatif, itulah yang juga menjadi penyebab ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah dan aparat keamanan di negara ini. Tak ayal impunitas terjadi.
“Mau pakai pola apa pun kami tidak percaya,” tegas Filep.
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas berpendapat meski berganti nama operasi, objek kegiatan itu adalah orang asli Papua. Sehingga masih ada diskriminasi dan stigmatisasi ‘pihak yang ingin merdeka atau pihak yang tidak setara dengan manusia Indonesia lainnya’. Aparat keamanan pun mesti bisa membeberkan indikator pendekatan humanis.
“Apakah membagi-bagi bantuan, apakah melatih mereka bekerja, apakah nanti polisi akan ikut mengajar dan menjadi tenaga medis? Menurut saya, ini berganti nama tapi substansinya sama,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (19/1/2022).
Operasi Damai Cartenz ia sebut semestinya bisa menawarkan pelayanan publik. Ketidakpercayaan dari orang asli Papua menjadi masalah utama dalam operasi kali ini. Pun jika konsep baru ini ingin berhasil, maka aparat keamanan tidak turun tangan langsung, tapi bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, misalnya.
Dia mencontohkan Gerakan Separatis Masyarakat Muslim di Thailand Selatan yang juga ingin memerdekakan diri. Tapi militer Thailand menyerahkan operasinya kepada organisasi masyarakat sipil. Lantas organisasi masyarakat bersama pemerintah setempat menyusun program pemberdayaan ekonomi, pelayanan publik, maupun pemberdayaan penduduk lokal, yang dibiayai oleh pemerintah pusat.
Pemerintah Indonesia bisa meniru cara tersebut. “Bisakah operasi ini diganti menjadi operasi sipil? Misalnya polisi hanya kasih dana ke pihak gereja atau dewan adat (untuk) bikin pemberdayaan. Kalau (masyarakat) tidak percaya, ya, organisasi masyarakat sipil yang bekerja sama mengelola program pemberdayaan. Jadi polisi dan tentara tidak ikut campur dalam program yang disusun,” tutur Cahyo.
Cara tersebut merupakan bentuk baru dari pendekatan transformasi konflik yakni negara menanggalkan metode kekerasan untuk merangkul rakyat Papua, kata Cahyo.
“Di Papua, masih menggunakan aparat keamanan. Itu sebetulnya masih operasi penegakan hukum tapi dengan nama lain,” sambung dia.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berujar problemnya bukan efektif atau tidak Operasi Damai Cartenz ini, tapi bagaimana mencari langkah terobosan menyelesaikan masalah Papua.
“Pendekatan sosiokultural ini adalah langkah maju yang lebih humanis. Aparat keamanan tidak bisa stagnan hanya dengan melakukan pendekatan yang lebih represif dan militeristik seperti selama ini terjadi, dan (itu) terbukti tidak efektif,” ujar Bambang kepada reporter Tirto.
Melalui pendekatan sosiokultural, gangguan keamanan bisa cukup dipandang tak lebih sebagai aksi-aksi kejahatan pada umumnya, atau sebagai kejahatan luar biasa seperti terorisme. Secara politik, ini akan memudahkan upaya diplomasi ke luar, bahwa perkara di Papua adalah masalah keamanan dalam negeri biasa.
Menurut Bambang, tanpa pendekatan sosiokultural, pemerintah Indonesia selama ini kedodoran menghadapi sorotan isu-isu represifitas dan militeristik dari luar negeri. Apakah pendekatan sebelumnya adalah kesalahan? Bambang menyatakan sebagai sebuah proses sejarah, tentunya tak bisa dikatakan blunder.
“Tapi harus ada evaluasi menyeluruh bahwa pendekatan operasi bersenjata saja ternyata tidak bisa menuntaskan problem keamanan di Papua,” kata Bambang.
Perubahan melalui Operasi Damai Cartenz ini bisa berdampak pula bagi personel yang bertugas di lapangan, dari ‘warfare’ menuju ‘welfare’ tentunya tidak mudah bagi mereka yang ada di zona darurat selama ini. Maka perlu kecermatan agar mereka cepat beradaptasi dengan kebijakan operasi terbaru ini, kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz