Menuju konten utama
Hari HAM Sedunia 2021

Menilik Efektivitas Operasi Teritorial Bina Penduduk di Papua

Jika ingin rampungkan konflik Papua, TNI dinilai perlu tukar pikiran dengan seluruh elemen nonmiliter di Papua seperti tokoh agama dan tokoh adat.

Menilik Efektivitas Operasi Teritorial Bina Penduduk di Papua
Massa dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) menggelar aksi perayaan 60 tahun deklarasi kemerdekaan Papua Barat di Bundaran Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (1/12/2021). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Menkopolhukam Mahfud MD membahas pendekatan perihal Papua, Selasa, 7 Desember 2021. Mahfud mengatakan pembicaraan itu untuk menerjemahkan kebijakan negara; apa yang diarahkan oleh Presiden Joko Widodo telah dilakukan dengan benar, tapi tetap lahir kontroversi dalam pemberitaan.

“Untuk penanganan Papua, kami memang menggunakan pendekatan baru yang dituangkan di dalam Instruksi Presiden. Kemudian muncul UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Pendekatan baru yang digunakan adalah pendekatan kesejahteraan,” aku Mahfud.

Sumber daya yang dimiliki pemerintah seperti aparat, personal, dan keuangan akan difokuskan untuk membangun kesejahteraan dalam satu kerja kolaboratif dan komprehensif, kata Mahfud. “Kami akan memberikan perlakuan itu kepada Papua.”

Perihal dialog, Mahfud MD mengaku telah melakukan hal tersebut. Misal dia mengundang kepala adat, pemimpin agama, akademisi, maupun organisasi kepemudaan ke kantornya untuk membahas hal-hal soal Papua.

“Kami akan terus mengutamakan dialog dalam rangka membangun Papua. Sehingga tidak terkesan ‘Papua ribut terus’, sebenarnya ndak. Kami sudah memetakan yang agak ‘panas,’ daerah tertentu saja dan orangnya itu-itu saja,” kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Papua perlu dibina sebagai sesama ‘saudara,’ sama seperti daerah lainnya. Maka perlu diperlakukan setara. Pada kesempatan yang sama di kantor Kemenko Polhukam, Dudung berkata ia akan menyiapkan personel-personel bakal operasi karena KSAD menitikberatkan kepada pembinaan, sedangkan Panglima TNI bergerak di ranah operasional.

“Kami akan mendukung program pemerintah yang sudah dicanangkan oleh presiden dan ini ditindaklanjuti oleh Panglima TNI, bahwa pendekatan di Papua adalah pendekatan kemanusiaan yaitu melaksanakan operasi teritorial yang di dalamnya adalah pembinaan kepada masyarakat,” kata Dudung.

Efektifkah Pendekatan Operasi Teritorial Pembinaan Warga?

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas berkata berdasarkan kajian lembaganya, orang asli Papua meminta pendekatan perdamaian dan kesejahteraan, serta pendekatan dialog.

“Hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh militer. Orang Papua trauma melihat tentara dan polisi karena ada memoria passionis. Mereka tidak menghendaki kehadiran TNI,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (9/12/2021). Jika pemerintah mau konsisten dengan pendekatan pembangunan, maka tak perlu pendekatan militer.

Keberadaan tentara bisa diterjunkan ke daerah-daerah yang bukan pelosok, misalnya di ibu kota kabupaten/kota, karena trauma yang mereka dapatkan. Ia mencontohkan, pendirian Komando Distrik Militer tidak menyelesaikan konflik. Malah akan melanggengkan trauma orang Papua.

Ditambah lagi, kata Cahyo, penyematan ‘teroris’ kepada kelompok pro kemerdekaan Papua bukanlah pendekatan sipil. Artinya itu bisa menimbulkan masalah baru seperti memicu hilangnya hak atas rasa aman warga sipil.

Cahyo menilai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka harus dianggap sebagai orang Papua dan mesti diajak berdialog. Bila pemerintah mau betul-betul menerapkan pendekatan dialog, maka harus mau berbicara dengan pimpinan-pimpinan kelompok pro kemerdekaan itu guna bernegosiasi. Pembahasan itu bisa berkaitan dengan jeda kemanusiaan, penghentian permusuhan, dan mencari solusi permanen.

“Ini harus kebijakan presiden. Tidak bisa penyelesaian konflik separatis diberikan kepada TNI atau Polri. Ini adalah wilayah politik, negosiasi,” terang Cahyo.

Berkaitan dengan dialog kelompok separatis dan pemerintah, ia mencontohkan Moro Islamic Liberation Front, kelompok pemberontak terbesar dan paling berpengaruh di Filipina. Akhirnya pada 2012, setelah berkali-kali mengupayakan perjanjian, pemerintah Filipina berusaha membuka kembali dialog dengan MILF untuk membicarakan konflik.

Dalam dialog kesepakatan tersebut Bangsa Moro yang diwakilkan oleh MILF mengajukan berbagai tuntutan. Akhirnya disepakatilah bahwa pemerintah Filipina akan menjamin hak-hak dasar Bangsa Moro dalam berbagai hal. Atas perjanjian itu, maka MILF mau menandatangani nota kesepakatan ‘Framework Agreement of Bangsamoro’ bertanggal 15 Oktober 2012. Di Indonesia sendiri, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah bisa duduk bersama untuk menuntaskan konflik.

“Itu lebih efektif, pendekatan dialog pemerintah pusat dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka, baik kelompok sipil atau militer. Keduanya harus diajak dialog untuk solusi permanen. Operasi teritorial tidak akan efektif dan tidak akan berhasil, malah semakin meruncing permusuhan,” jelas Cahyo.

Pemetaan wilayah ‘zona merah’ pun bisa menyebabkan daerah lain tidak kondusif, kata Cahyo.

“Kondusif dan tidak kondusif itu relatif. Karena mereka selalu bergerak. Meski di kota situasinya kondusif, (pemerintah dan aparat) harus melihat situasi kebatinan, apakah mereka (penduduk Papua) bahagia? Apakah mereka mendukung kebijakan otonomi khusus? Harus dilakukan investigasi mendalam untuk mengetahui apa yang dirasakan masyarakat,” imbuh dia.

Bahkan pemerintah belum berhasil mengatasi persoalan para pengungsi akibat bentrokan aparat keamanan Indonesia dan kelompok pro kemerdekaan Papua, kata Cahyo.

“Mampukah operasi teritorial menyelesaikan ini (masalah pengungsi)? Solusinya adalah jeda kemanusiaan, bukan operasi teritorial. TNI dan OPM berhenti melakukan kontak senjata. Beri mereka akses bantuan kemanusiaan,” kata Cahyo.

Cahyo mengatakan, jalan dialog tak mudah, kepercayaan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia dengan kelompok pro kemerdekaan Papua mesti terbangun. Cahyo menilai dialog harus memiliki mediator yang dipercaya oleh kedua belah pihak, misalnya tokoh atau lembaga swadaya masyarakat.

Bahkan dialog di internal kelompok pro kemerdekaan pun wajib dilakukan, umpamanya untuk menentukan juru runding. Cahyo menilai saat ini tidak ada kepercayaan antara pemerintah Indonesia dan kelompok pro kemerdekaan Papua.

“Dialog tak membunuh siapa pun. Sampai kiamat pun operasi militer di Papua tak akan selesai. Papua itu sangat rumit, baik geografisnya, penduduk yang beragam, adanya memoria passionis. Sampai kapanpun konflik bersenjata akan terus-menerus (ada)” tutur Cahyo.

NKRI Harga Hidup

Cahyo berpendapat ‘NKRI harga hidup’ bukan ‘harga mati.’ Jika ingin menjadi Indonesia dan negosiasi menjadi penyelesaian konflik, maka itu harus ditempuh. “Menjadi orang Indonesia itu harus dengan sukarela, tidak dipaksa dengan popor senjata. Apa bedanya dengan Belanda yang ingin melihat orang-orang di Nusantara tunduk dengan kebijakan operasi militer?”

Seperti menyelesaikan konflik di Aceh, kata dia, pemerintah juga bisa merangkul kelompok pro kemerdekaan Papua tidak dengan senjata dan amunisi. Tapi dengan perundingan kepala dingin. November lalu, Panglima TNI Andika Perkasa berkata bakal melakukan pendekatan yang berbeda soal penyelesaian konflik Papua.

Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua Socrates Yoman merespons rencana perubahan pendekatan itu. “Itu hanya perubahan baju saja, orangnya (militer) tetap ada. Istilah Operasi Teritorial dan Operasi Tempur, itu bungkusnya saja yang diganti tapi kegiatannya tetap sama, tidak akan pernah berubah,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (26/11/2021).

Papua merupakan daerah konflik yang dikelola oleh pemerintah dan aparat keamanan, yang menurut Socrates semua itu guna menguasai sumber daya alam saja, namun tidak memikirkan nasib manusianya. Dia bilang, Panglima TNI hanya bermain terminologi. Socrates pesimistis dengan rencana perubahan itu karena pelanggaran HAM berat, misalnya, tidak dirampungkan oleh negara.

“Negara ini pelakunya. Bagaimana pelaku mau menyelesaikan kasus? Itu tidak mungkin. Karena kekerasan itu terjadi atas nama kedaulatan negara. Solusi terbaik dan bermartabat antara Jakarta dan Papua adalah menyelesaikan empat akar masalah,” jelas dia.

Empat akar masalah yang ia maksud yakni kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Empat perkara ini diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Jika pemerintah berbicara soal kesejahteraan Papua, Socrates berpendapat bukan itu masalah prioritasnya. “Persoalan Papua bukan masalah makan-minum, tapi masalah martabat manusia,” kata dia.

Direktur Eksekutif Bantuan Lembaga Penelitian, Penyelidikan dan Pengembangan Bantuan Hukum Manokwari, Yan Christian Warinussy, berkata operasi teritorial atau operasi militer yang dilakukan di Tanah Papua hingga saat ini. Jika ingin merampungkan konflik Papua, maka TNI harus tukar pikiran dengan seluruh elemen nonmiliter di Bumi Cenderawasih seperti tokoh agama dan tokoh adat.

“Tidak bisa pihak yang terlibat dengan konflik (aparat keamanan Indonesia) langsung tatap muka dengan TPNPB. Mereka butuh fasilitator, butuh penengah, untuk mendiskusikan keinginan menyelesaikan konflik,” ujar Yan kepada Tirto, Kamis (9/12/2021).

Dia pesimistis operasi teritorial yang baru bisa mengelarkan masalah Papua, apalagi pikiran orang Papua telah diselimuti ketakutan soal aparat.

Janji-janji pemerintah yang ingin menyelesaikan masalah tanpa pendekatan nonmiliteristis pun belum terwujud. Bagi Yan, itu adalah keinginan yang bertepuk sebelah tangan lantaran tak sejalan dengan kemauan warga Papua dan TPNPB. Ditambah perkara pelanggaran hak asasi manusia di Papua belum kelar hingga saat ini, padahal Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat dibentuk sesuai dengan aturan. Dia berharap keberadaan dua lembaga itu bisa menurunkan tingkat operasi militer dan kekerasan.

Berkaitan dengan Hari HAM Internasional, Yan menyatakan pemerintah harus segera membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. “Karena sudah ada muara untuk menyelesaikan itu secara hukum. Karena Indonesia punya UU Nomor 26 Tahun 2000 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 yang merupakan hukum materiil dan hukum formal untuk penyelesaian pelanggaran HAM kasus Papua,” ujar dia.

Pemerintah tak perlu menyiapkan infrastruktur Pengadilan HAM di Papua, tapi hanya membutuhkan tim-tim Ad Hoc yang siap ditempatkan, kata dia.

Menurut dia, pemerintah enggan mengusut tuntas pelanggaran HAM di Papua karena “persoalan timbang rasa kepada para jenderal dan para terduga pelaku yakni perwira-perwira TNI dan Polri.” Namun dalam konteks negara demokrasi, pemerintah Indonesia harus betul menegakkan hukum.

Hari HAM Internasional: Indonesia & Selimut Perkara

Hari HAM Sedunia, 10 Desember tahun ini, bertemakan ‘Kesetaraan’. Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak. Ada atau tidak ada momentum Hari HAM Internasional, proses kebijakan dan legislasi di negara ini perlu diperbaiki.

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan pihaknya menyoroti Program Legislasi Nasional Prioritas 2022. Misalnya ihwal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. “Beberapa fraksi di DPR, PKS dan Golkar, berusaha ‘menahan’ atau mencoba mempertimbangkan faktor elektoral daripada urgensi untuk menyegerakan legislasi ini diloloskan. Ini mengkhawatirkan karena kasus kekerasan seksual meningkat,” kata dia kepada Tirto, Selasa (7/12/2021).

Adinda berpendapat momentum Hari HAM Sedunia ini bisa untuk mewujudkan pengesahan regulasi penghapusan kekerasan seksual. Meski ada orang-orang yang menyuarakan soal hal ini, tapi masih ada kendala yaitu dinamika politik yang tidak sehat.

“Jika tidak punya perspektif gender, perspektif HAM dan penegakan hukum, maka kekerasan seksual akan terus terjadi. Perdebatan moral tidak menjadi alasan utama yang dipolitisasi untuk menghambat kebijakan yang bisa melindungi HAM,” imbuh dia.

Tak hanya soal regulasi yang mandek di tangan parlemen. Perlindungan terhadap pembela HAM di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan beberapa peraturan sektoral lainnya belum sepenuhnya memberikan perlindungan pada pembela HAM. Serangan kepada pembela HAM kian meningkat setiap tahunnya pada jumlah maupun ragam kekerasan.

Pada 2019, YPII mencatat pembela HAM yang mengalami kekerasan mencapai 290 orang. Pada 2020, Amnesty International mencatat 253 orang dan pada 2021 jumlah korban mencapai 297 orang. Jika dilihat dari isu sektoral, sepanjang 2020, ELSAM mencatat ada 178 pembela HAM isu lingkungan yang mengalami kekerasan dan 2 di antaranya meninggal akibat pembunuhan. Pun halnya laporan ELSAM periode Januari-Agustus 2021 menyebutkan, 95 korban individu dan kelompok mengalami ancaman dan kekerasan.

Ditetapkannya tanggal 7 September 2021 sebagai Hari Pembela HAM Nasional oleh Komnas HAM, sesungguhnya menjadi harapan untuk menghormati dan memenuhi hak-hak pembela HAM dan melahirkan usulan kebijakan perlindungan pada pembela HAM. Misalnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 66, yakni pejuang lingkungan tidak dapat dipidanakan meskipun kebijakan turunanya dalam bentuk Peraturan Menteri ihwal Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) belum terealisasi.

Koalisi Pembela HAM mendesak negara. “Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi pembela HAM dan menyetujui menjadikan 7 September sebagai hari Pembela HAM Nasional, serta DPR meneguhkan komitmen dan janji politik untuk merevisi UU Nomor 39 Tahun 1999 dalam Prolegnas 2022 dengan memasukkan ketentuan perlindungan pada pembela HAM,” kata Muhammad Isnur, salah satu perwakilan koalisi, Kamis (9/12/2021).

Selanjutnya, koalisi meminta pemerintah dan DPR agar mengamandemen UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mencabut pasal karet di berbagai undang-undang yang seringkali digunakan sebagai alat mengkriminalisasi pembela HAM; kemudian kepolisian dan kejaksaan agar menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam penanganan perkara pembela HAM.

Desakan terakhir, Komnas HAM segera melakukan diseminasi Standar Norma dan Pengaturan Nomor 6 tentang Pembela HAM ke seluruh jajaran kementerian dan kelembagaan, lantas menerbitkan revisi Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM, juga mempercepat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM, khususnya menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran berat HAM.

Baca juga artikel terkait HARI HAM SEDUNIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz