tirto.id - Adu jotos antara personel TNI dan Polri di Ambon menjadi sorotan publik. Bentrok ini melibatkan prajurit TNI berinisial BK yang menyerang dua anggota polisi berinisial ZL dan NS. Kedua pihak akhirnya berdamai.
Kasus tersebut berawal setelah ZL dan NS melakukan penegakan hukum terhadap pengendara yang menggunakan motor tanpa Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB). Motor tersebut lantas dibawa NS dan ZL ke pos karena pengendara tidak bisa menunjukkan Surat Izin Mengemudi (SIM) maupun Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Tidak terima motor disita polisi, si pengendara tersebut menghubungi BK yang merupakan prajurit satuan Provos Kodam XVI Pattimura. Lalu, BK mendatangi NS dan ZL serta memaki kedua polisi tersebut. Perdebatan panas berlanjut dengan aksi BK memukul NS.
Setelah aksi ketiga anggota ini viral, Kapolresta Ambon Kombes Leo Surya Nugraha Simatupang dan Kodam Pattimura lewat Kepala Penerangan Daerah Militer (Kapendam) Kodam Pattimura Kolonel Arh Adi Prayogo langsung turun tangan. Masalah antara ketiga anggota itu pun berakhir damai.
“Sudah didamaikan, di antara mereka juga sudah saling memaafkan. Proses mediasinya dilakukan di Polisi Militer (Pomdam) Kodam XVI/Pattimura,” kata Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol Muhammad Roem Ohoirat di Ambon, Rabu malam (24/11/2021).
Meskipun damai, Roem memastikan bahwa prajurit TNI maupun Polri akan diproses hukum. Kedua anggota polisi diproses hukum oleh Polresta Ambon, sementara anggota TNI langsung diproses Propam Kodam Pattimura.
“Ketiga oknum anggota polisi dan TNI selanjutnya akan diproses oleh masing-masing institusinya sesuai kode etik kedisiplinan,” ucap Roem.
Kapendam Kolonel Arh Adi Prayogo juga memastikan aksi pemukulan anggota TNI sebagai kesalahpahaman. Hal itu diklaim telah diselesaikan dengan jalan damai di Pomdam XVI/Pattimura. “Ini permasalahan kesalahpahaman. Dan ini sudah didamaikan oleh pimpinan kedua belah pihak. Tidak ada dendam dan masing-masing anggota akan diperiksa di satuan masing-masing,” kata Kapendam Kolonel Arh Adi Prayogo.
Ribut Personel TNI vs Polri Selalu Berulang
Kejadian ribut-ribut antara TNI dan Polri bukan kali pertama. Berdasarkan catatan KontraS [PDF], ada 19 kejadian konflik antara TNI-Polri di era Marsekal Hadi Tjahjanto. Selama 2 tahun kepemimpinan Hadi, ada 26 korban luka dengan rincian 6 anggota TNI dan 20 orang polisi. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penyerangan Polsek Ciracas pada 2020.
Kasus konflik TNI-Polri di Ambon mungkin bisa dikatakan sebagai kasus pertama di era Jenderal Andika Perkasa. Lantas mengapa masih ada arogansi di tubuh TNI dan Polri?
Peneliti Imparsial Hussein Ahmad menilai, kasus Ambon terjadi akibat dua hal. Pertama, kejadian ini adalah imbas pemerintah tidak segera melaksanakan TAP MPR Nomor 7 tahun 2000 tentang peran TNI dan Polri sebagai aparat pertahanan dan keamanan. Aturan tersebut memerintahkan TNI agar tunduk pada peradilan umum, tapi belum ada aturan konkret sehingga TNI tidak tunduk pada aturan peradilan umum.
“Pemerintah membiarkan tidak ada revisi terhadap UU Peradilan Militer. Padahal itu kesepakatan bangsa paska tumbangnya Orde Baru,” kata Hussein kepada reporter Tirto, Kamis (25/11/2021).
Hussein menambahkan, “Karena terpisah, masing-masing lumrah merasa punya otoritasnya sendiri. Polisi merasa wenang menegakkan aturan lalin [lalu lintas], TNI merasa mereka kalaupun ditindak harus oleh sesama TNI. Praktik lapangannya kacau,” kata Hussein.
Faktor kedua adalah kecemburuan antar-aparat. Hussein melihat prajurit TNI masih merasa cemburu dengan Polri dengan melihat soal kesejahteraan. TNI dinilai masih belum sejahtera dan masih kekurangan, tetapi pemerintah malah mengedepankan program lain seperti Komcad.
Perlakuan yang tidak adil itu memicu slogan 'sinergitas TNI-Polri' tidak mengakar hingga ke level bawah. “Itu yang menurut kami menjadi salah satu alasan adanya kecemburuan. Kasihan prajurit di bawah. Pati dan pamen sih hidupnya enak. Coba kita jujur itu prajurit di bawah hidupnya gimana,” kata Hussein.
Ia menilai, permasalahan kesejahteraan harus menjadi atensi Panglima TNI Andika Perkasa di masa depan. Ia menjelaskan, prajurit profesional terdiri atas 4 unsur, yakni well trained, well equipped, well educated, dan well paid.
“Kalau ini enggak selesai ke depan kita akan terus lihat kekerasan seperti ini. Belum lama, kan, kita juga lihat kasus Polsek Ciracas. Ya karena itu juga masalahnya,” kata Hussein.
Hussein menambahkan, “Tapi memang penyelesaian harus mendasar seperti saya bilang enggak bisa parsial. Hulunya dulu diselesaikan, baru hilirnya selesai.”
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis memandang kasus Ambon tidak bisa serta-merta menyalahkan TNI. Ia beralasan bentrokan di Ambon merupakan konflik yang lazim terjadi di level bawah antara TNI-Polri.
“Konflik TNI-Polri di tingkat bawah biasanya diawali masalah sepele seperti kesalahpahaman, pelanggaran hukum yang kemudian dicampuri dengan perasaan arogansi, punya kuasa atau kebal hukum,” kata Beni kepada reporter Tirto.
Walaupun kasus di Ambon ini berawal dari tindakan prajurit TNI yang menyerang duluan karena emosi tidak terima perlakuan polisi yang menangkap kerabatnya, kata Beni. “Sehingga harus dilihat kasus per kasus, tidak bisa kita generalisasi ini kesalahan TNI. Artinya tidak bisa disalahkan salah satu pihak, yaitu dalam hal ini TNI tersebut," kata Beni.
Beni pun menilai, aksi yang terjadi di Ambon tidak mencoreng semangat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang ingin menampilkan TNI humanis. Ia beralasan, masalah di Ambon adalah kasus insidental sehingga penekanan ada pada tanggung jawab masing-masing komandan dan personel TNI terkait.
“Yang penting ada di antara kedua belah pihak yaitu TNI dan Polri melakukan intropeksi dan evaluasi kenapa kejadian bentrok berulang kali terjadi," kata Beni.
Beni memandang, kasus konflik TNI-Polri di level bawah bisa diselesaikan jika ditangani dari hulu hingga hilir. Pertama, seleksi personel TNI-Polri perlu diperkuat. Perekrutan harus mencari orang yang berdedikasi dan berkomitmen tinggi untuk negara.
Kedua, kata Beni, perlu ada peningkatan kesejahteraan di institusi militer tersebut sehingga benar menghasilkan personel yang profesional tidak memikirkan sumber-sumber ekonomi lainnya.
Ketiga, para komandan harus menjadi contoh yang baik bagi anak buah, karena tanpa ada teladan dari komandan yang amanah, jujur dan berintegritas, mungkin saja anak buahnya mengambil contoh perilaku atasannya.
Keempat, sebaiknya TNI lebih memfokuskan diri pada tugas pokok yaitu pertahanan negara dan tidak terlibat dalam tugas-tugas diluar fungsinya, seperti penegakan hukum, terorisme, kegiatan sosial, penyuluhan Kesehatan atau vaksinasi.
Kelima, kata Beni, melakukan promosi dan rotasi kepada personel TNI berdasarkan merit system (yang berprestasi) di semua unit militer, sehingga ini menjadi pemicu bagi personel TNI untuk mengejar prestasi sesuai dengan tugas dan tanggungjawab sebagai tantara professional.
Keenam, institusi militer harus membuat kebijakan tidak tertulis tentang kesempatan pendidikan jenjang perwira pertama bagi personel bintara/di bawah yang memiliki prestasi luar biasa di luar tanggung jawabnya.
Ketujuh, pimpinan TNI meningkatkan frekuensi pelatihan baik secara internal unit ataupun dengan kesatuan lainnya sehingga mengasah kemampuan unit masing-masing, meningkatkan interoperabilitas dan menciptakan soliditas militer.
“Kedelapan, Panglima TNI harus meyakinkan pimpinan tiap angkatan untuk terus berkomunikasi, mengayomi dan menempatkan semua personel TNI sebagai prajurit yang berdisiplin tinggi dan loyal pada negara dan masyarakat serta patuh ketentuan hukum," kata Beni.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz