tirto.id - Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) DPR RI Willy Aditya mengindikasikan tertundanya kelanjutan penyusunan RUU tersebut, lantaran terkendala dukungan fraksi. Dari 9 fraksi di DPR hanya 4 fraksi yang mendukung RUU TPKS (sebelumnya RUU PKS).
Menurut Willy, hal tersebut tak ideal untuk dilanjutkan dalam rapat pleno di Badan Legislatif (Baleg). Semula dijadwalkan Kamis (25/11/2021), tapi ditunda. Sebab, apabila penyelenggaraan pleno pengambilan keputusan dipaksakan sesuai jadwal, lanjut Willy, pembahasan naskah RUU TPKS bisa kalah suara.
“[Fraksi yang mendukung] 3 pengusul plus Gerindra,” ujar Willy kepada reporter Tirto, Kamis (25/11/2021).
Tiga parpol pengusul RUU TPKS ialah Partai Nasdem, PKB, dan PDIP.
Sementara fraksi yang menolak, dua di antaranya ialah Golkar dan PPP; kedua partai tersebut mengirimkan surat untuk meminta agar rapat pleno ditunda. Mereka ingin melakukan pendalamaan, ujar Willy.
“Sejauh ini empat fraksi [yang mendukung]. Semoga ini bertambah dalam waktu dekat,” kata anggota DPR Fraksi Nadem ini.
Menurut Willy, naskah RUU TPKS sebenarnya telah memadai dan kompromistis. “Bahkan, Ketua Baleg Pak Supratman meminta teman-teman Panja untuk mencari materi muatan yang membuka ruang kebebasan seks dan perilaku seks menyimpang, itu juga tidak ada,” tambahnya.
Meski demikian, lanjut Willy, Panitia Kerja RUU TPKS masih mencari ruang-ruang lobi untuk mendapatkan dukungan minimal dari satu fraksi sehingga rancangan aturan tersebut bisa dilanjutkan ke tahapan sidang paripurna sebagai hak inisiatif DPR. Melalui hak inisiatif tersebut, DPR dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada presiden atau pemerintah.
Sebelumnya, di tahun 2020, DPR mencabut RUU PKS dari daftar prolegnas prioritas dengan alasan proses pembahasannya sulit. DPR memasukkan RUU PKS dalam prolegnas prioritas tahun 2021 dan akan mulai membahasnya pada minggu pertama April 2021. RUU PKS kemudian berubah menjadi RUU TPKS.
Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI Achmad Baidowi mengatakan pihaknya meminta penundaan RUU TPKS untuk menyediakan ruang aspirasi dari setiap pemangku kepentingan. Menurutnya setiap aspirasi publik mesti didengar dulu.
Banyak poin yang mesti dilakukan pengkajian secara mendalam, kata pria yang akrab disapa Awiek ini kepada reporter Tirto.
"Kalau PPP prinsipnya, tidak bertentangan dengan norma agama dan tidak menjadi ruang bagi LGBT," ujar Awiek, Kamis.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyayangkan kinerja lamban DPR tersebut. Ia tetap mendesak agar RUU TPKS tetap dibahas dalam rapat pleno.
Menurutnya Panja RUU TPKS masih memiliki waktu sampai masa sidang DPR berakhir pada 16 Desember 2021, untuk menjalin komunikasi dengan para fraksi yang tidak setuju dengan RUU TPKS.
“Di antarnya dengan menjelaskan misskonsepsi cakupan pengaturan dalam RUU TPKS,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (25/11/2021).
Menurut Siti, draf RUU TPKS versi 1 November 2021 sudah lebih baik ketimbang draf sebelumnya, yaitu versi 1 Agustus 2021. Meski masih perlu catatan penyempurnaan untuk bagian kekerasan seksual siber, isu sistem layanan terpadu, dan pemantauan.
“Sehingga kami berharap sebelum masa sidang berakhir, ada kemajuan berarti di tahap penyusunan ini agar bisa ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI,” ujarnya.
Ia khawatir jika RUU TPKS mengalami penundaan akan sangat berisiko bagi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Korban kekerasan seksual membutuhkan kepastian hukum. Apalagi pola-pola kasus kekerasan seksual terus berkembang.
“Ini berarti negara mengabaikan hak asasi perempuan untuk mendapatkan rasa aman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi,” tukasnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai ketidaksepakatan yang terjadi di tengah fraksi dalam pembentukan RUU TPKS, terjadi karena ketiadaan naskah akademik yang mumpuni.
Ia mendesak agar Baleg DPR harus memastikan ketersediaan naskah akademik yang kredibel sebagai prosedur penyusunan RUU TPKS.
“Mestinya perdebatan sengit dan saling jegal itu baru terjadi pada proses pembicaraan tingkat I karena pada tahap itulah substansi akan dibicarakan antar fraksi bersama dengan pemerintah,” ujar Lucius kepada reporter Tirto, Kamis (25/11/2021).
Dalam kesempatan ini, Lucius juga mewanti-wanti anggota parlemen untuk tidak menjadikan RUU TPKS untuk urusan kepentingan politik. Kasus kekerasan seksual itu urusan kemanusiaan, ujarnya.
“Kebutuhan terkait kekerasan seksual itu milik semua rakyat. Karenanya mestinya fraksi-fraksi tak terlampau sulit untuk bersepakat jika draf RUU-nya menjamin misi untuk mencegah dan menegakkan kasus-kasus kekerasan seksual.,” tukasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz