tirto.id - Mahasiswi Hubungan Internasional FISIP Universitas Riau (Unri) angkatan 2018, L, hendak bimbingan proposal skripsi, 27 Oktober 2021, pukul 12.30. Ia mau bimbingan skripsi di ruangan Dekan FISIP Unri, Syafri Harto. Siang itu hanya mereka saja.
Syafri mengawali bimbingan dengan bertanya kehidupan personal L. Sepanjang pertemuan itu, L tidak nyaman karena pertanyaan yang dilontarkan si dosen.
“Ia (Syafri) mengatakan ‘I love you’ yang membuat saya merasa terkejut dan (saya) tidak menerima perlakuan bapak,” ujar L dalam tayangan video yang diunggah dalam akun Instagram komahi_ur, 4 November 2021. Korban telah menyetujui pernyataannya ditonton publik.
Rampung bimbingan, si mahasiswi ingin pamit. Ia hendak bersalaman, tapi Syafri membalasnya dengan meletakkan tangan di kedua bahunya, mendekatinya, kemudian memegang kepalanya sembari mencium pipi kiri dan kening L. Lantaran takut, L menunduk tapi lelaki itu mendongakkan kepala L dan berkata “Mana bibir? Mana bibir?”
“(Perlakuan Syafri) membuat saya merasa terhina, terkejut, badan saya lemas. Saya ketakutan. Setelah saya dorong badan Pak Syafri ia mengatakan ‘ya sudah kalau gak mau’,” jelas L. Lantas L ambil langkah seribu dari tempat kejadian. “Saya merasa sangat dilecehkan oleh Bapak Syafri Harto. Saya mengalami trauma berat atas perlakuan yang tidak pantas.”
L tak diam diri, ia mengadukan perbuatan Syafri ke salah satu dosen Hubungan Internasional. L meminta bantuan dosennya untuk melaporkan perkara itu kepada ketua jurusan dan agar dia bisa mengajukan dosen pembimbing pengganti. Kemudian L pergi ke rumah ketua jurusan, tapi SI dosen yang ia minta bantuan itu, menyuruhnya bertemu di kedai kopi.
Di kedai, si dosen memohon agar kelakuan Syafri tak dibocorkan kepada ketua jurusan karena bisa saja Syafri dan istrinya bercerai karena kasus tersebut. Si dosen juga menegaskan agar L sabar menerima dugaan pelecehan seksual.
“Beliau menghalang-halangi saya untuk mendapatkan keadilan atas perlakuan yang tidak pantas,” tutur L.
“Awalnya saya kira bapak (dosen) tersebut mendukung dan ingin melindungi saya, ternyata tidak. Di depan ketua jurusan ia menyalahkan saya atas kecerobohan saya yang tidak menggunakan SK dalam bimbingan proposal. Dia mementingkan SK ketimbang kasus pelecehan seksual yang saya terima.” Bahkan si ketua jurusan mengklaim perbuatan Syafri hanyalah kekhilafan, insidental, dan bukan kebiasaan; dan keduanya menyuruh L bungkam.
Sumpah Pocong
Syafri pun angkat bicara. Bahkan dia menuntut L karena dugaan pencemaran nama baik, ia meminta pihak penuding Rp10 miliar sebagai ganti rugi.
“Karena saya tidak berbuat, saya tidak pernah diklarifikasi, saya tidak pernah dikonfirmasi, saya merasa dirugikan, nama baik saya tercemar. Maka saya secara hukum akan menuntut balik. Ke mana pun saya akan tuntut balik," ucap dia, Jumat (5/11) seperti dikutip Antara.
Syafri juga akan memburu aktor intelektual di balik video pernyataan L. Menurutnya, video ini seakan dikaitkan dengan dirinya yang akan maju pada pemilihan Rektor Unri tahun depan. Persoalan yang menimpanya merupakan muruah pribadi, tapi istri dan anak-terdampak. Syafri berani bersumpah di atas Al-Quran hingga sumpah pocong, untuk membuktikan ia tak berbuat seperti yang dituduhkan.
Pada 6 November, Syafri mengadukan A dan akun Instagram komahi_ur atas dugaan pencemaran nama baik kepada Polda Riau.
Selanjutnya, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Unri Kaharuddin meminta Rektor Unri mencopot Syafri selama proses pemeriksaan oleh Satuan Tugas. “Kami mendesak agar (Syafri) dapat diberhentikan sementara tugas beliau sebagai pendidik dan Dekan FISIP Unri,” kata dia, Minggu (7/11).
Dasar tuntutannya ialah Pasal 42 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Bunyi pasal tersebut yakni “Selama Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pemimpin Perguruan Tinggi dapat memberhentikan sementara hak pendidikan Terlapor yang berstatus sebagai Mahasiswa atau hak pekerjaan Terlapor yang berstatus sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.” [PDF]
Laporan Balik: Cara Bungkam Korban
Rian Sibarani, Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru mengatakan pihaknya selaku kuasa hukum L telah mengadukan dugaan pelecehan seksual kepada Polresta Pekanbaru. Polisi akan mengusut perkara tersebut. Maka tim kuasa hukum akan mengawal kasus ini.
Tanda Bukti Lapor pengaduan tercantum dengan Nomor: SPTL: 906/XI/2021/SPKT II/RESTA PEKANBARU, berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/906/XI/2021/SPKT/POLRESTA PEKANBARU bertanggal 5 November 2021. Usai kejadian tersebut, L hingga kini masih trauma.
“Karena masih ada pihak-pihak yang menghubungi korban maupun keluarga korban, baik dengan nomor baru atau secara langsung,” ucap Rian, Minggu (7/11/2021). L masih ketakutan beraktivitas normal, meski telah mendapatkan pendampingan psikologis.
Dalam kasus ini, Syafri telah melanggar Pasal 5 huruf l Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Bunyi pasal itu yakni “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.”
Kemudian Rian berharap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat melindungi L, juga akan melaporkan peristiwa ini kepada Komnas Perempuan cum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ristek.
Tak hanya L, pada 2018, LBH Pekanbaru mendapatkan laporan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa. Sedangkan di tahun ini ada 13 pengaduan perihal kekerasan gender berbasis daring, terduga pelaku menyimpan lebih dari 100 foto editan yang siap disebarluaskan. Perihal laporan balik oleh Syafri, Rian mengatakan pihaknya sangat kecewa ditambah pihak Unri membiarkan peristiwa itu terjadi.
“Kami berharap kepolisian bijak mencermati substansi Surat Keputusan Bersama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” terang Rian. Pada Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) huruf c Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri itu menegaskan:
“Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.”
Polisi kudu jeli mengusut kasus ini. “Intinya bila dalam video atau sebuah unggahan yang disebar merupakan suatu fakta, maka proses itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Kami meminta kepolisian yang menerima atau memeriksa laporan terduga pelaku terkait UU ITE untuk tidak melanjutkan laporan tersebut,” ujar Rian.
Tak hanya kali ini korban menjadi terlapor. Misalnya, dalam kasus dugaan pemerkosaan ayah terhadap tiga anak kandungnya di Luwu Timur. Karena tak terima, terduga pemerkosa mengadukan RS, mantan istri sekaligus ibu korban, kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan, 16 Oktober 2021, atas dugaan pencemaran nama baik.
Lalu juga ada kasus korban menjadi terpidana. Baiq Nuril, perempuan itu dinilai melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE karena menyebarkan informasi bermuatan asusila. Konten yang dimaksud adalah rekaman percakapan telepon antara dia dengan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, tempat ia mengajar, bernama Muslim. Muslim melecehkan Nuril secara verbal dan itu bukan kali pertama.
Maka itu pula alasan kenapa Nuril merekam percakapan dengan si lelaki. Pegawai honorer itu divonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Kasus Baiq Nuril kemudian mendapat amnesti dari Presiden Jokowi.
Kasus Pelecehan Seksual Harus Diselesaikan Dulu
Kriminolog dari Australian National University Leopold Sudaryono berujar dalam perkara L, harus diselesaikan terlebih dahulu dugaan kasus pelecehan seksual. “Kalau dosen ternyata diputuskan bersalah, dugaan pencemaran nama baik tidak dilanjutkan,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (8/11).
Sama seperti kasus korupsi, whistleblower atau terduga korban harusnya dilindungi dari dakwaan pidana pencemaran nama baik sampai kasus kekerasan seksual selesai diproses di penyidikan atau peradilan.
Sementara itu, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyatakan pihaknya siap turun tangan. “LPSK siap berikan perlindungan kepada korban. Kami mengimbau agar pihak kampus mengedepankan perspektif korban dan fasilitatif terhadap proses pemeriksaan etik maupun hukum kepada terduga pelaku,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (8/11/2021).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek Nizam menilai, kasus seperti yang menimpa mahasiswi L ini membuat Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS menjadi sangat penting.
Misalnya, dalam Pasal 2, tujuan regulasi ini sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.
“Kemdikbudristek tidak memberi toleransi atas kekerasan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Institusi pendidikan yang baik adalah melindungi warganya dari kejahatan dan kekerasan seksual,” tutur Nizam kepada reporter Tirto, Senin (8/11/2021).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz