Menuju konten utama

Saat Korban jadi Tersangka & Kasus Viral Dulu Baru Polisi Bertindak

Penetapan tersangka bisa menjadi salah karena prosedur formal yang lebih berpihak pada yang dominan itu tak menyentuh rasa keadilan publik.

Ilustrasi soft censorship. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Polisi menetapkan LG, seorang perempuan pedagang yang diduga dianiaya oleh preman berinisial BS di Pajak Gambir Tembung, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, jadi tersangka. Kasusnya bermula ketika ia menolak memberikan uang Rp500 ribu kepada si pemalak, 5 September 2021.

Pagi, sekira pukul 7, BS mengaku kepada si pedagang sebagai anggota organisasi. Lantas LG bertanya siapa BS sehingga meminta-minta duit, sembari menolak dan ia pergi berbelanja. Dua jam kemudian LG rampung berbelanja, si pemalak masih di lokasi dan tetap meminta uang.

BS melarang LG, “Tak usah kau jualan di situ, bikin macet.” Kemudian ia turun dari motor dan dua kali menendang LG. Si pedagang mengadukan perbuatan itu ke Polsek Percut Sei Tuan, tapi si pemalak juga melaporkan perempuan itu dengan alasan dirinya juga dipukul.

Penyidik menelusuri perkara, lalu menetapkan LG jadi tersangka. Kejadian itu viral di media sosial, lantas Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol R.Z. Panca Putra Simanjuntak memerintahkan Kapolrestabes Medan dan Direktorat Kriminal Umum Polda Sumatera Utara untuk menarik kasus itu.

Perkara dengan terlapor BS ditangani oleh Sat Reskrim Polrestabes Medan, sementara kasus dengan terlapor LG dikerjakan oleh Direktorat Kriminal Umum Polda Sumatera Utara. Berdasarkan gelar perkara, si pemalak pun menjadi tersangka.

Mabes Polri turun tangan dalam kasus ini. Hasil audit menyebutkan penyidikan dinyatakan tidak profesional. “Ditemukan adanya penyidikan yang tidak profesional yang dilakukan oleh Polsek Percut Sei Tuan Medan. Sehingga per 12 Oktober 2021 Kanit Reskrim Polsek Percut Sei Tuan dicopot," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono, di Mabes, Rabu (13/10/2021).

Dalam surat panggilan terhadap LG, tertera jelas status tersangka terhadap perempuan itu dan ia dijerat Pasal 170 subsider Pasal 351 ayat (1) KUHP. Kini tim audit pun masih melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap Kapolsek Percut Sei Tuan.

******

Aurellia Renatha, anak dari Kombes Pol Rachmat Widodo, mengaku diduga dianiaya oleh ayahnya, Juni 2020. Dugaan tindak pidana itu lantaran diduga sang ayah memiliki hubungan asmara dengan perempuan lain. Kala itu, Aurellia menemukan isi pesan singkat ayahnya dengan seorang perempuan.

Rachmat berusaha merebut ponsel hingga berujung pada dugaan penganiayaan dan perusakan ponsel. Kemudian ibu Aurellia mengadukan perkara itu kepada Polsek Kelapa Gading atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus bergulir, Rachmat resmi menjadi tersangka. Namun ia tak terima, lantas melaporkan anaknya ke polisi dengan alasan dugaan kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan.

Akhirnya Polres Metro Jakarta Utara menetapkan Aurellia sebagai tersangka. Kasus penganiayaan oleh Rachmat disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sedangkan kasus Aurellia belum disidangkan.

Korban jadi Tersangka

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti merespons perihal korban menjadi tersangka. “Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan (polisi) harus profesional dan didukung investigasi berbasis ilmiah agar hasilnya valid,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (14/10). Tidak bisa kemudian digiring atau dipaksakan agar ada ‘keadilan’ karena dianggap sudah memproses kasus saling lapor dengan menjadikan kedua belah pihak sebagai tersangka.

Biro Pengawasan Penyidik dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri perlu turun tangan memeriksa ketidakprofesionalan penyidik. Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan kesalahan materi pemeriksaan.

“Artinya ada hak dasar yang diperiksa yang dilanggar. Hak atas keadilan (formal dan materiel), termasuk pembelaan dalam keterangannya sebagai saksi dan kemerdekaan status di mata hukum. Itu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pastinya (pelanggaran) hukum,” tutur dia ketika dihubungi Tirto, Kamis (14/10/2021).

Profesionalisme Polri harus ditunjang dengan sistem menyeluruh, mulai dari pendidikan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Teknisnya, lanjut dia, siapa yang mengawasi polisi ketika menjalankan tugas? Apakah si atasan? Jika masih ada dalam satu kepentingan dan instansi tentu sulit ada independensi dan objektif.

Di luar negeri, kata dia, ada kewenangan Kejaksaan dan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa setiap tupoksi polisi. Mereka bertindak sebagai pengawas selama proses pelaksanaan. Sementara di Indonesia, lembaga tersebut tidak ada dan malah dibebankan kepada si terperiksa. Jika tidak sepakat, maka dapat ambil langkah hukum, misalnya praperadilan, dengan konsekuensi butuh biaya besar, durasi panjang, risiko kalah karena bobroknya pengadilan.

“Padahal ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang dominus litis atau Kewenangan Pengendali Perkara, di tangan kejaksaan. Tapi nyaris tidak berjalan,” terang Julius. Sanksi yang tepat jika polisi tak profesional, maka bergantung pada level profesionalitas yang dilanggar. Jika hanya sebatas maladministrasi, maka sanksinya berupa teguran.

Namun jika pelanggaran di level substansi dan hukum acara, maka selain berdampak kepada batalnya seluruh proses pemeriksaan, anggota polisinya juga harus dicopot atau dinonaktifkan dan dikembalikan pada pendidikan awal karena kesalahan fatal.

Ketidakprofesionalan penyidik bisa berulang karena dua hal, yakni tidak ada sistem pengawasan yang tepat dan ketat termasuk sanksi yang tidak memberikan efek jera dan pembelajaran; serta adanya impunitas terhadap kasus-kasus pelanggaran lain sehingga dijadikan preseden untuk kasus lain.

Presiden Jokowi menunjuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri. Ketika ia menjalani tes kepatutan calon orang nomor wahid di Korps Bhayangkara, di depan Komisi III DPR, ia menawarkan program Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan (Presisi). “Pelanggaran-pelanggaran prosedur dan substansi tersebut jelas bertentangan dengan komitmen 'Presisi'," kata Julius.

Sementara, presiden mesti mengevaluasi sistem koordinasi, pengawasan dan penindakan oleh Kapolri terhadap kasus-kasus seperti ini, serta harus ditargetkan dengan durasi tertentu agar ada peta jalan yang jelas. Kapolri juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan 'Presisi', jangan sampai dianggap hanya jargon belaka atau bahkan tidak ditaati komandonya di level bawah, lantaran kerap terjadi pelanggaran.

Viralnya #PercumaLaporPolisi harus dijadikan momentum bagi Polri untuk berbenah diri dan evaluasi menyeluruh. Langkah awal paling penting, ujar Julius, yakni memperkuat kanal pengaduan komplain untuk masyarakat agar dapat mengetahui titik celah pelanggaran. “Jangan justru menutup diri apalagi menyerang publik dengan defamasi.”

Bukan Kasus Pertama Kali

Tahun 2018, Moh Irfan Bahri, santri Pondok Pesantren Darul Ulum, Madura, bersama sepupunya melintasi Flyover Summarecon Bekasi, sekitar tengah malam. Mereka hendak berswafoto di jembatan yang terkenal artistik itu. Sontak dua orang lain yang berkendara motor, datang sembari meminta ponselnya. Tak lupa mengancam mereka dengan celurit. Pelaku menyabetkan senjata tajam itu ke Irfan, tiga-empat kali.

Sadar menjadi sasaran, ia melawan balik. Ketika celurit lepas dari tangan pelaku, Irfan membacok balik si pelaku. Kemudian dua pelaku melarikan diri. Irfan dan sepupunya menyambangi klinik terdekat untuk berobat, lalu membuat laporan ke Polres Metro Bekasi Kota. Sementara dua pelaku menuju RS Anna Medika. Tapi nyawa Aric, salah satu pelaku, tidak tertolong karena mengalami pendarahan.

Irfan dan sepupunya sempat dijadikan tersangka oleh penyidik Polres Metro Bekasi Kota, namun berdasar keterangan ahli, yang dilakukan korban termasuk kategori bela paksa. Akhirnya polisi membebaskan pemuda tersebut.

Baca juga:

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat, dalam kasus korban jadi tersangka, kepolisian lebih mengedepankan prosedur formal yang memang menjadi landasan penegakan hukum positif.

Secara prosedur memang dibenarkan, hanya saja apakah itu berpihak pada rasa keadilan sebenarnya atau tidak. Dalam kasus ibu pedagang yang dianiaya pemalak, Kombes Rachmat yang melaporkan anaknya, santri Madura yang melawan begal, antara pelaku dan korban memiliki celah untuk ditersangkakan.

“Tinggal bagaimana subjektifitas penyidik kepolisian melakukan pemberkasan, lebih mendahulukan korban atau tersangka?" ujar Bambang kepada reporter Tirto, Kamis )14/10/2021).

Mengapa subjektifitas itu bisa terjadi? Karena tidak ada sistem kontrol yang ketat dalam proses penyidikan tersebut. Seberapa banyak masyarakat yang melek hukum atau mendapat pendampingan hukum? Selain tak adanya pengawasan dan kontrol ketat yang tersistem, juga mentalitas anggota yang korup, sehingga lebih mendahulukan pihak yang dominan (meski salah) dibanding pihak yang lemah meski benar.

Secara prosedur, penetapan tersangka sesuai prosedur, juga memenuhi aspek legal formal. Maka dalam prosedur dan formalitas, penyidik tak bisa disalahkan. Tapi penetapan tersangka bisa menjadi salah karena prosedur formal yang lebih berpihak pada yang dominan itu tak menyentuh rasa keadilan publik.

“Kemudian muncul 'delik viral', diviralkan dahulu baru bertindak adil,” kata Bambang.

Kejelian penyidik mengusut perkara memang subjektifitas personel kepolisian. Sebaliknya, subjektifitas tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat bisa memunculkan arogansi dan penyalahgunaan kekuasaan yang mencederai keadilan. Sehingga perlu dibuat sistem pengawasan dan kontrol yang ketat dalam proses penyidikan perkara. Karena, imbuh Bambang, jarak ruang dan waktu dalam proses penyidikan memungkinkan penyidik 'bermain-main' dengan celah dan cenderung berpihak pada yang dominan.

“Bila selama ini kasus-kasus seperti itu terulang dan terulang lagi, artinya Irwasum tidak bekerja membangun sistem yang lebih baik,” kata dia.

Perlindungan Korban

Bagaimana mungkin ketika satu perkara, penyidik telah menetapkan tersangka tindak pidana tertentu, kemudian ada tindak pidana serupa dengan orang yang sama, lantas korban jadi pelaku dan pelaku jadi korban? “Itu ada ketidakprofesionalan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan,” kata Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, kepada Tirto, Kamis (14/10/2021).

Jika polisi profesional harusnya satu berkas perkara itu cukup untuk menjelaskan peristiwa. Penyidik tak perlu mengutak-atik lagi kecuali ada bukti baru. Lantas ada kelemahan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, yaitu tidak ada jaksa yang mendampingi sejak awal, artinya nihil yang mengarahkan dalam proses pengusutan.

Dalam kasus perempuan pedagang, misalnya, seharusnya polisi melindungi si korban. “Kalau sudah jadi korban, harusnya (korban) benar-benar dilindungi dari kemungkinan pelaporan balik.” Tidak hanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bisa melindungi LG, tapi semua komponen sistem peradilan pidana bisa 'menyelamatkan' korban.

Baca juga artikel terkait PROFESIONALISME POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz