Menuju konten utama

Penolak Tambang Pasir Dipolisikan: Cara Bungkam Perlawanan Warga

Pelaporan 2 warga penolak tambang pasir ke polisi dinilai cara lama yang biasa digunakan terhadap para pejuang lingkungan.

ILUSTRASI. Warga sekitar Sungai Progo melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD DIY, Malioboro, DI Yogyakarta, Rabu (12/9/2018). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Warga penolak tambang pasir di Sungai Progo yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dilaporkan ke Polres Sleman. Pelaporan terhadap dua warga atas tuduhan mengganggu aktivitas pertambangan dinilai sebagai kriminalisasi dan cara lama membungkam perlawanan pejuang lingkungan.

Penolakan dilakukan warga Dusun Jomboran dan Nanggulan di Desa Sendangagung, Minggir, Sleman serta warga Dusun Wiyu dan Pudak Wetan, Desa Kembang, Kecamatan Nanggulan Kulon Progo. Mereka tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), melakukan penolakan aktivitas pertambangan yang sudah dimulai sejak 2019.

Aksi penolakan warga eskalasinya semakin tinggi ketika Desember 2020 sampai Januari 2021 warga menggelar aksi. Mereka meminta agar operasional alat berat untuk penamabangan dihentikan.

Usai aksi itu, pada Februari hingga Maret 2021, sebanyak 18 warga Dusun Jomboran mendapat surat panggilan dari Polres Sleman untuk dimintai keterangan mengenai penolakan warga atas aktivitas pertambangan di Sungai Progo.

Selanjutnya pada 7 Oktober 2021, pihak kepolisian telah menaikkan kasus tersebut menjadi proses penyidikan dengan mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Pemanggilan tersebut didasari oleh laporan dari pihak penambang usai aksi penolakan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan.

Anggota Staf Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Budi Hermawan yang menjadi pendamping hukum warga mengatakan dua warga penolak tambang ini dilaporkan atas dugaan pelanggaran pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dengan merujuk Pasal 162 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Lagi-lagi pejuang lingkungan dibungkam oleh polisi. Kita tahu Pasal 162 [UU Nomor 3 tahun 2020] ini tidak hanya sekali ini diterapkan terhadap pejuang-pejuang lingkungan. Dan hari ini terjadi pada teman-teman yang memperjuangan atas lingkungan yang baik dan sehat di Sungai Progo,” kata Budi saat konferensi pers di Kantor Walhi Yogyakarta, Senin (11/10/2021).

Padahal, kata Budi, dalam Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menjelaskan bahwa warga yang menjaga lingkungan dijamin keamanannya tidak dapat dituntut perdata maupun pidana.

Dengan telah meningkatnya kasus ini masuk dalam proses penyidikan, kata Budi, ini telah bertolak belakang dari apa yang dijelaskan pada Pasal 66 UU PPLH. “Ini merupakan ancaman yang dilakukan terhadap pejuang-pejuang lingkungan untuk mengendorkan semangatkan memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat,” kata dia.

Kepala Divisi Advokasi Kawasan Walhi Yogyakarta, Himawan Kurniadi mengatakan pelaporan dua warga penolak tambang pasir ke polisi ini sebagai cara lama yang biasa digunakan terhadap para pejuang lingkungan.

“Ini adalah cara-cara lama dan konteks hari ini adalah ancaman bagi pejuang HAM dan pejuang lingkungan,” kata Himawan saat dihubungi, Selasa (12/10/2021).

Mengenai penanganan terhadap kasus ini, Kasatreskrim Polres Sleman, AKP Ronny Prasadana saat dikonfirmasi mengatakan setelah SPDP dikeluarkan, kini kasus terus berlanjut dan sedang dilakukan penyidikan. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) pun kata dia telah diberikan kepada pelapor.

“Kami sudah SP2HP ke pihak pelapor jadi ini masih dalam penyidikan,” kata Ronny, Selasa (12/10/2021).

Tak Ada Sosialisasi & Bikin Sumur Asat

Iswanto perwakilan perwakilan PMKP dari Dusun Jomboran saat konferensi pers di Kantor Walhi Yogyakarta mengatakan penolakan warga terhadap dua perusahaan yang melakukan penambangan itu lantaran tak dilakukan sosialisasi sebelumnya.

“Banyak kejanggalan, kami mempertanyakan kenapa kok bisa menambang di wilayah kami,” kata Iswanto.

Salah satu perusahaan, kata dia, mengaku melakukan penambahan karena telah mengantongi izin. Dan izin tersebut di dalamnya termasuk telah dilakukan sosialisasi dan persetujuan warga. Padahal kata Iswanto sosialisasi dan persetujuan itu tidak sepenuhnya dilakukan.

“Ada beberapa warga kami yang dipalsukan tanda tangannya. Tidak datang musyawarah, tapi ada nama dan tangannya. Dan kasus itu pun sudah kita laporkan ke Polda DIY pada 11 Januari 2021, tapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjutnya,” katanya.

Kemudian perusahaan lainnya lagi, kata Iswanto, malah tidak melakukan sosialisasi sama sekali kepada warga.

Selain tak adanya sosialisasi, alasan penolakan warga terhadap penambangan itu lantaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Sarjono, anggota PMKP dari Dusun Wiyu mengatakan dampak kerusakan lingkungan kini telah dirasakan langsung oleh warga sekitar.

“Dulu sebelum ada tambang masyarakat damai tentram tidak ada masalah. Sekarang setelah ada penambangan pakai alat berat, sekarang ada dampaknya. Yang terasa sekali itu masalah sumur sekarang asat karena penggerusan terus menerus,” kata Sarjono.

Warga, kata dia, sampai harus menggali sumur lebih dalam lagi sampai tiga kali pendalaman akibat sumur yang asat. Warga pun kini jadi kesulitan untuk mendapatkan air bersih.

“Yang seharusnya warga itu tidak beli air bersih untuk minum. Sekarang beli air untuk minum. Itu yang sekarang dirasakan,” kata Sarjono.

Baca juga artikel terkait TAMBANG PASIR atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz