tirto.id - Di tanah yang terbentang luas berlatar belakang perbukitan, berdiri bangunan pabrik besar dengan nama PT IGP (Indonesia Green Packaging) International, anak perusahaan PT Yogyakarta Isti Parama (YIP). Sudah sejak 2015, PT YIP menyewa tanah desa di Desa Srimulyo, Kapanewon (Kecamatan) Piyungan, Kabupaten Bantul untuk pengembangan kawasan industri yang kemudian dikenal dengan sebutan Kawasan Industri Piyungan (KIP).
Baru satu pabrik yang dibangun di atas tanah kas desa itu, PT YIP sudah melanggar perjanjian sewa dengan Pemerintah Desa Srimulyo. Menurut Lurah Srimulyo, Wajiran, PT YIP sempat menunggak biaya sewa dan pajak bumi bangunan (PBB) selama tiga tahun sejak 2018-2020.
Total tunggakan PT YIP yang seharusnya dibayar mencapai Rp8 miliar. Selama tiga tahun itu, perangkat Desa Srimulyo telah mengirimkan Surat Peringatan (SP) sebanyak tiga kali, tetapi tidak ada iktikad baik dari PT YIP untuk segera melakukan pelunasan.
Masyarakat dan perangkat desa Srimulyo pun geram. Mereka melakukan pemblokiran jalan ke pabrik agar kontainer PT YIP tidak bisa lewat untuk mengantarkan hasil produksi. Selain soal tunggakan, masyarakat juga kecewa dengan PT YIP yang tak penuhi janji.
"Dulu dijanjikan ada dana kompensasi. Kerusakan yang ditimbulkan, seperti drainase akan diperbaiki, dikembalikan seperti semula. Kenyataannya, dana lingkungan tidak ada, drainase kami juga tidak dikembalikan," ujar Dukuh Cikal, Desa Srimulyo, Setyo Handoko yang ikut serta dalam pemblokiran jalan pada Rabu, 21 April 2021. Tim kolaborasi liputan investigasi agraria yang terdiri dari Tirto.id, Kompas.com, Jaring, Suara.com, dan Project Multatuli menemuinya di lokasi pemblokiran.
Masyarakat juga kena dampak banjir karena drainase atau saluran air tertutup akibat pembangunan pabrik. Mereka juga tak lagi bisa menggunakan tanah desa untuk pertanian dan peternakan karena lahan sudah disewa PT YIP. Lahan pertanian pun menjadi terbatas.
"Warga yang biasa menggarap tanah, sudah tidak bisa mburuh lagi. Karena, lahan-lahan kan dikuasai PT YIP. Ya, walaupun itu untuk pertanian dan memang sebagian diburuhkan. Cuma ya itu koordinasinya ke PT YIP. Kalau sebelumnya, kan, mereka sewa, terus untuk mau menanam apa, itu terserah petaninya," kata Setyo.
Tunggakan pembayaran PT YIP pun berimbas pada berkurangnya penghasilan perangkat desa, karena sudah tak lagi bisa memanfaatkan tanah itu sebebas dulu. Menurut Setyo, sudah tiga tahun, ia sebagai dukuh tidak mendapat hasil tambahan dari sewa tanah itu.
Tunggakan PT YIP dan Peran Gubernur DIY
Lurah Desa Srimulyo, Wajiran kemudian mendatangi Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk meminta bantuan menyelesaikan permasalahan tunggakan PT YIP. Menurut Wajiran, Sultan memang seharusnya terlibat dalam urusan tunggakan sewa tanah desa oleh PT YIP ini. Lantaran tanah desa yang digunakan PT YIP diklaim menjadi milik keraton.
Dalam Perda Keistimewaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten disebutkan, tanah desa yang asal usulnya berasal dari hak anggaduh merupakan tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat maupun tanah Kadipaten Puro Pakualaman.
Pemberian hak anggaduh berdasarkan ketentuan kolonial Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 yang sudah dihapus UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Tanah desa yang dimaksud Pasal 33 ayat 2 Perdais Pertanahan tersebut meliputi tanah kas desa (untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa), pelungguh (tanah desa untuk tambahan penghasilan perangkat desa), pengarem-arem (tanah desa untuk tambahan penghasilan pensiunan perangkat desa), dan tanah untuk kepentingan umum.
“Ya harus turun tangan, karena tanah ini milik Sultan. Dan kerja sama ini, kan, atas rekomendasi Sultan. Harapan saya, kalau sampai ke Sultan ya bisa selesai. Misalnya Sultan memerintahkan, ya sudah digratiskan saja. Ya saya enggak bisa apa-apa to, wong tanahnya Sultan,” ujar Wajiran, ditemui di Kantor Desa Srimulyo, 7 April 2021.
Sultan akhirnya turun tangan. Dia meminta Inspektorat DIY melakukan uji pemeriksaan khusus kepada Pemdes Srimulyo terhadap pelaksanaan pengembangan kawasan industri melalui Surat Perintah Gubernur DIY No. 700/9368 tertanggal 23 Juli 2020. Hasil temuan dugaan pelanggaran dilaporkan langsung kepada Sultan selaku Gubernur DIY yang sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Menurut Wajiran, tunggakan yang harus dibayar PT YIP semestinya sebesar Rp8 miliar. Namun setelah inspektorat melakukan pemeriksaan, tunggakan yang harus dibayar turun drastis menjadi hanya Rp2,9 miliar.
“Kalau berdasarkan perjanjian, ya Rp8 miliar. Sekarang Rp3 miliar saja kurang. Tapi saya juga sudah cukup mengalah. Biar selesai,” ujar Wajiran.
Bagaimana tunggakan itu bisa turun drastis?
Inspektorat DIY menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan Tujuan Tertentu Inspektorat DIY No. X.700/49/PM/2020 tentang Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Industri Piyungan pada Pemerintah Desa Srimulyo Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Tahun 2020 yang dirilis 26 Oktober 2020.
Berdasarkan dokumen LHP yang diterima Pemdes Srimulyo dari Inspektorat DIY disebutkan, PT YIP telah melakukan perjanjian sewa tahap I dengan Desa Srimulyo sejak 2015 untuk tanah seluas 55,9037 hektare (ha) dan perjanjian sewa tahap II tahun 2016 untuk tanah seluas 49,2262 ha, sehingga total tanah yang disewa PT YIP mencapai 105,1299 ha atau 105 ha. Sedangkan berdasarkan jenisnya, luasan 105 ha itu meliputi 70,775 ha tanah pelungguh dan 10,402 ha tanah pengarem-arem, dan 23,9529 ha tanah kas desa.
Pada 2015, biaya sewa yang disepakati adalah Rp24 juta per tahun/per ha. PT YIP sudah membayar Rp1,3 miliar. Namun, inspektorat menilai ada kelebihan bayar senilai Rp1,17 miliar karena Desa Srimulyo belum memenuhi kewajiban mengosongkan lahan seluas 48 ha. Di sisa lahan itu masih terdapat kebun tanaman jati, kandang kelompok, kolam rumah tinggal, warung, dan lapangan voli warga.
Tahun 2016, PT YIP membayar sewa Rp1,4 miliar dan dinyatakan lebih bayar Rp141 juta karena ada tanah seluas 5,6 ha yang belum dikosongkan desa. Pada tahun yang sama, untuk perjanjian tahap II, PT YIP mulai membayar sewa Rp1,18 miliar untuk tanah seluas 49 ha. Ada kelebihan bayar Rp409 juta karena tanah seluas 17 ha belum dikosongkan desa.
Tahun 2017, PT YIP kembali membayar sewa untuk dua perjanjian, yaitu Rp1,4 miliar untuk tahap I dan Rp1,2 miliar untuk tahap II. Inspektorat menyatakan ada lebih bayar senilai Rp 40 juta (1,5 ha tanah belum dikosongkan desa) dan Rp178 juta (7 ha tanah belum dikosongkan desa).
Sejak 2015 hingga 2017, PT YIP telah membayar sewa untuk perjanjian tahap I dan II senilai Rp6,6 miliar dan kelebihan bayar dengan total Rp1,9 miliar. Namun masih ada tunggakan bayar PBB senilai Rp16 juta.
Pada 2018, PT YIP menemukan ada kesalahan data obyek tanah (nomor persil, luas, dan lokasi). Mereka kemudian meminta revisi izin kepada Sultan. Kemudian selama Februari 2018, Sultan mengeluarkan tiga revisi izin berupa luasan tanah dan pemanfaatannya kepada PT YIP. Tiga izin yang direvisi tersebut meliputi:
1. Surat Izin Gubernur Nomor 143/3440 tanggal 8 Desember 2000 tentang Surat Izin Menggunakan Tanah Kas Desa untuk Kawasan Industri dengan cara Sewa/Kerjasama direvisi dengan Keputusan Gubernur Nomor 69/KEP/2018 tanggal 14 Februari 2018.
2. Keputusan Gubernur Nomor 84/IZ/2015 tanggal 29 Desember 2015 tentang Pemberian Izin kepada Pemerintah Desa Srimulyo Menyewakan Tanah Kas Desa kepada PT YIP untuk Pembangunan Kawasan Industri seluas 49 ha direvisi dengan keputusan Gubernur Nomor 25/IZ/2018 tanggal 27 Februari 2018.
3. Adanya lahan yang termasuk kawasan wisata seluas 10,5 ha di dalam KIP maka diterbitkan Keputusan Gubernur DIY Nomor 26/IZ/2018 tanggal 27 Februari 2018 tentang Pemerintah Desa Srimulyo untuk menyewakan tanah kas desa kepada PT YIP untuk kawasan wisata seluas 10,5 ha.
Revisi aturan tersebut juga mengubah ukuran luas lahan yang disewa PT YIP dari yang semula 55 ha menjadi 56 ha (perjanjian tahap I) serta yang semula 49 ha menjadi 37 ha (perjanjian tahap II). Karena ada perubahan, PT YIP meminta addendum (perubahan) perjanjian sewa dengan Srimulyo. Jika perjanjian sewa tidak diperbarui, maka PT YIP enggan membayar.
Menurut Wajiran, PT YIP meminta harga sewa turun jadi Rp10 juta per ha/per tahun untuk tanah yang belum dimanfaatkan dan Rp20 juta per ha/per tahun untuk tanah yang sudah dimanfaatkan. Sejak 2018, PT YIP baru memanfaatkan tanah sekitar 6 ha.
Meskipun menunggak pembayaran dari 2018-2020, operasional pabrik IGP tetap berjalan. PT YIP tetap memproduksi dan memakai lahan, tetapi ogah membayar. "Padahal pabriknya ini produksi terus. Sebulan itu rata-rata 70-100 kontainer yang keluar. Kok enggak mau bayar. Itu yang jadi masalah," ujar Wajiran.
Dalam LHP juga diterangkan, Direktur PT YIP Eddy Margo Ghozali menyebutkan beberapa alasan PT YIP belum memenuhi kewajiban membayar sewa lahan sejak 2018, baik dalam perjanjian pertama maupun kedua.
Pertama, dengan terbitnya tiga Surat Keputusan Gubernur, PT YIP berharap agar dapat segera dilakukan addendum perjanjian sewa menyewa sebagai dasar hukum sehingga dapat melakukan kewajiban pembayaran tahunan sesuai obyek lahan yang benar. Sekaligus dilakukan evaluasi semua aspek secara menyeluruh.
Kedua, sejak PT YIP tidak dapat melakukan pembayaran pada Februari 2018 karena alasan tersebut, perusahaan itu hanya melanjutkan dan memanfaatkan tanah seluas 6,1344 ha.
Hasil temuan Inspektorat DIY juga menyimpulkan PT YIP diminta untuk segera melakukan musyawarah dengan Desa Srimulyo soal pelunasan tunggakan pembayaran. Jika tidak ada kata mufakat, maka perkara akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Bantul.
Dari hasil pemeriksaan inspektorat, jumlah tunggakan PT YIP yang harus dibayarkan pun turun dari Rp8 miliar menjadi Rp2,9 miliar. Jika dihitung secara kasar, PT YIP seharusnya membayar sewa Rp2,5 miliar per tahun atas tanah seluas 105 ha (1 ha disewa Rp24 juta), belum termasuk PBB. Jika dari 2018-2020 PT YIP belum membayar sewa, maka total yang harus dibayarkan mencapai Rp7,56 miliar ditambah tunggakan PBB sekitar Rp400 juta.
Akan tetapi, karena ada revisi surat izin gubernur yang mengubah ukuran lahan sewa PT YIP, beserta hasil temuan Inspektorat DIY soal luasan tanah yang belum dikosongkan desa, maka nominal yang harus dibayar PT YIP berubah. Dari perhitungan tunggakan PT YIP Rp4 miliar dikurangi lebih bayar berdasarkan pembayaran sewa tanah 2015-2017, sehingga tunggakan PT YIP pun turun jadi Rp2,9 miliar termasuk PBB.
“Tahun 2015-2017, kan, PT YIP bayar utuh. Jadi ada kelebihan bayar. Selama tiga tahun itu, kami anggap PT YIP membayar tidak sesuai dengan apa yang digunakan. Karena ada beberapa lahan yang masih digunakan pihak desa. Dulu ada kelebihan bayar, ya kami kompensasi, supaya dibayar di belakang sehingga kekurangannya itu Rp2,9 M,” papar Kepala Inspektorat DIY, Wiyos Santosa, di kantor Inspektorat DIY, 26 April 2021.
Wiyos juga mengiyakan kabar soal ada arahan langsung dari Sultan untuk menyelesaikan masalah ini. Awalnya, kasus tunggakan sewa PT YIP ini diatasi oleh Inspektorat Kabupaten Bantul, tetapi kemudian dialihkan ke Inspektorat DIY.
“Kami memang mendapat perintah dari gubernur secara langsung untuk membantu penyelesaian masalah. Sebenarnya masalah sewa menyewa itu wilayah kedua belah pihak dari PT YIP dan Srimulyo. Tapi karena terus berlarut, kami diminta Pak Gubernur untuk membantu penyelesaiannya,” kata Wiyos.
Muncul dugaan PT YIP berani menunggak sewa tanah desa Srimulyo karena punya kedekatan dengan kerabat kasultanan. Sempat juga berembus kabar, PT YIP masuk ke kawasan industri melalui perantara Kanjeng Pangeran Harjo (KPH) Wironegoro, yakni suami Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, putri pertama Sultan.
Di keraton, Wironegoro punya jabatan strategis. Dia tercatat sebagai Penghageng Parentah Hageng di Keraton Yogyakarta. Tanggung jawab yang diembannya adalah mengelola sumber daya manusia (SDM) istana.
“Ada yang bilang Kanjeng Wironegoro terlibat untuk PT YIP. Ceritanya di luar kan demikian. Tapi saya sendiri belum pernah melihat atau bertemu (dengan Wironegoro) langsung selama ini,” ungkap Wajiran.
Saat diminta konfirmasi, Wironegoro membenarkan terlibat dalam pengembangan kawasan industri Piyungan, termasuk dalam pemilihan PT YIP sebagai pengelola KIP. Dia mengaku telah mengonsep pengembangan kawasan industri di wilayah Yogyakarta bagian selatan ini sejak 2006. Wiro ingin menjadikan KIP menjadi kawasan industri kreatif seni dan budaya.
“Lima belas tahun lalu saya punya gagasan ini, lalu saya berbicara dengan dua teman lama saya. Saya sudah mengenal mereka selama 30 tahun, karena kenalnya sejak SMA lalu. Ada satu orang ini yang saya percaya, saya minta tolong pilihkan satu pengusaha yang bisa memahami dan mewujudkan ide gagasan saya di DIY. Kemudian dia menunjuk satu partner yang saya setujui, akhirnya PT YIP yang mengelola KIP,” kata dia saat diwawancara lewat daring pada Jumat, 2 Juli 2021.
Meski terlibat dalam pengembangan KIP dan pemilihan PT YIP, Wiro membantah ambil untung materi dari sana. Dia menyatakan tak punya saham satu persen pun dalam PT YIP. Dia juga tidak masuk dalam jajaran manajemen PT YIP. Wiro menyebut dirinya hanya sebagai pemimpin kultural dalam konteks pengembangan kawasan industri di Piyungan.
“Saya tidak punya kepentingan sama sekali dalam soal bisnis atau di sisi pengusahanya di sana [KIP dan YIP],” klaim dia.
Meski hanya bersifat kultural, Wiro tidak menampik jika keraton masih memantau perkembangan KIP, termasuk persoalan tunggakan sewa tanah desa yang tidak dibayarkan PT YIP. Perwakilan keraton bahkan ikut dalam rapat-rapat yang diadakan.
Terkait tujuan kasultanan turun memantau perkembangan KIP, menurut Wiro agar segala sesuatunya berjalan sesuai kaidah, bisa menciptakan harmoni, kesuksesan, kesejahteraan masyarakat apa pun latar belakangnya.
“Kami-kami inilah pihak keraton yang memang bahu-membahu agar proyek besar ini tidak hanya sukses secara ekslusif, tapi bermanfaat seperti yang sudah saya sebutkan,” kata dia.
Kabar kedekatan PT YIP dengan kasultanan ternyata sampai juga ke telinga Sultan. Wajiran pernah diundang pertemuan dengan PT YIP di Kantor Gubernur DIY di Kepatihan, Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, tiba-tiba GKR Condrokirono (putri kedua Sultan) mengatakan keluarga Sultan tak terlibat dengan PT YIP.
Selain Condro, menurut Sekretaris Desa Srimulyo Nurjayanto, Sultan juga menyampaikan hal serupa, soal tak ada keterlibatan keraton di PT YIP. Nurjayanto termasuk orang yang ikut hadir dalam rapat tertutup di Ruang Gadri, Kompleks Kepatihan.
Baik Wajiran dan Nurjayanto menebak-nebak mengapa tiba-tiba Condro dan Sultan menyampaikan hal itu.
“Maksudnya apa, kami tak begitu tahu. Penegasan apa juga tidak tahu. Kami juga tidak pernah melontarkan pertanyaan terkait itu [dugaan keterlibatan keluarga keraton dalam proyek PT YIP]. Jadi langsung disampaikan saja oleh Gubernur dalam rapat,” jelas Nurjayanto.
Pengacara Pemdes Srimulyo, Muhammad Yusron Rusdiono yang ikut hadir dalam rapat juga mendengar Sultan menegaskan tidak ada keterlibatan dirinya atau keluarga keraton dalam PT YIP.
“Tegas, Sultan mengatakan sejak awal, di pembukaannya, saya tidak kenal siapa Eddy, ini tidak ada urusannya dengan keluarga saya. Kalimat itu muncul. Tapi kami tidak tahu apa maksudnya,” tutur Yusron ditemui di Ponpes Ibnu Qoyyim Bantul, 22 Mei 2021.
Ketika itu, para peserta rapat tidak ada yang berani bertanya atau menanggapi pernyataan Sultan tersebut. Mereka menduga Sultan mendengar selentingan bahwa ada informasi keluarga keraton ikut dalam proyek PT YIP.
Berdasarkan data Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM AHU-00062039.AH.01.02 Tahun 2019 yang diakses tim kolaborasi pada 16 Maret 2021, YIP terdaftar sebagai perusahaan yang dimiliki oleh pengusaha asal Medan, Sumatera Utara, keluarga Ghozali.
Jajaran direksi meliputi Direktur Utama PT YIP adalah Kasim Ghozali dengan kepemilikan 30 ribu lembar saham, Eddy Margo Ghozali dan Rudy Ghozali sebagai direktur yang masing-masing juga memiliki 30 ribu lembar saham, dan Sao Ling Ghozali sebagai komisaris dengan kepemilikan 10 ribu lembar saham.
Selain PT YIP, Eddy Ghozali dan Rudy Ghozali memiliki jabatan strategis di perusahaan internasional Sansico Group yang juga ada di Cina. Mereka menjabat sebagai Chief Operating Officer di sana.
Berdasarkan data offshore leak dalam situs International Concortium of Investigative Journalist (ICIJ) sebuah data yang mengungkap perusahaan cangkang di negara surga pajak Virgin Island, Eddy Margo Ghozali tercantum sebagai pemegang perusahaan Innova Graphics International Co.Ltd yang beralamat di Hong Kong melalui Concord Asia Secretaries Limited. Eddy juga memimpin PT IGP yang didirikan di kawasan KIP juga diduduki para pengusaha tersebut. Tak hanya di Piyungan, IGP juga berdiri di Kasihan, Bantul; Kalasan, Sleman; dan Prambanan, Klaten.
Akhirnya, PT YIP melakukan pelunasan pembayaran tunggakan dari 2018-2020 pada 21 April 2021 langsung ke rekening Pemdes Srimulyo. PT YIP dan Pemdes Srimulyo tahun ini masih akan melakukan pembahasan addendum untuk penyesuaian harga dan pembayaran sewa 2021.
Menurut Nurjayanto, PT YIP meminta ada peninjauan harga lagi pada 2021. Selain itu, ada jaminan fasilitas dari pemerintah untuk menyiapkan infrastruktur pendukung KIP.
Ketika ditemui di Kantor Bupati Bantul pada 21 Mei 2021, Eddy tak banyak berkomentar mengenai kasus PT YIP dan addendum perjanjian yang baru.
“Kami sih berharap semuanya bisa lancar. Artinya, kan, ya bisalah. Mohon doanya. Saya butuh bantuan, pokoknya saya minta doanya. Jadi memang masih butuh proses. Tapi tidak apa-apa kok,” ujar Eddy.
Permintaan wawancara lebih lanjut kepada Eddy belum mendapat respons hingga laporan ini dirtebitkan. Kami sudah mencoba menghubungi Eddy beberapa kali via WhatsApp, tetapi janji wawancara belum juga terwujud. Kemudian, tim kolaborasi sudah mengirimkan surat dua kali kepada PT YIP untuk meminta wawancara Eddy yaitu pada 16 Agustus 2021 dan 2 September 2021.
Surat pertama diterima oleh PT YIP, tetapi belum ada tanggapan hingga kini. Sementara itu, surat kedua yang sedianya diberikan pada 2 September 2021 ditolak pihak PT YIP, dengan alasan belum bisa memberi kepastian kapan wawancara bisa dilakukan. PT YIP berjanji akan menghubungi jika sudah ada waktu wawancara.
Tim kolaborasi sudah mendatangi rumah Eddy Gozali di Jakarta untuk menyampaikan permohonan wawancara dan surat pada 15 September 2021, tetapi, setelah ditelusuri menurut alamat rumah yang kami dapatkan, di lingkungan itu tidak ada yang mengenal Eddy.
Sementara itu, ketika diminta keterangan pada 4 Agustus 2021, Sultan menyatakan pihaknya hanya memfasilitasi penyelesaian tunggakan antara YIP dan Desa Srimulyo yang seharusnya diselesaikan oleh Pemkab Bantul.
“Itu, kan, masalahnya yang [seharusnya] menyelesaikan Bantul, bukan gubernur. Mereka yang dapat izin itu sama kelurahan belum bisa menyelesaikan masalah sewa tanah, sehingga saya fasilitasi. Sing disewa piro, nek ora disewa semua yo piro, yo uwes kui wae (yang disewa berapa, kalau tidak disewa semua berapa, ya sudah itu saja),” kata Sultan.
Ia pun membantah tudingan kedekatannya dengan Eddy dan sering dihubungi yang bersangkutan.
“Enggak pernah dihubungi, enggak ada share, enggak ada. Saya bukan pengusaha. Enggak pernah akan ada anak-anak saya atau saya punya share dengan orang lain,” kata Sultan menegaskan.
Sementara Condrokirono meminta tim kolaborasi untuk menghubungi GKR Mangkubumi yang saat ini memegang masalah pertanahan di keraton sebagai Penghageng Tepas Panitikismo, termasuk soal pemanfaatan tanah desa.
“Yang pegang pertanahan sekarang Mbak Mangkubumi selaku Penghageng Panitikismo. Lebih baik wawancara beliau aja, sekalian memberitahu kepada masyarakat,” ujar Condro ketika dihubungi via WhatsApp pada Kamis, 2 September 2021.
Tim kolaborasi mengkonfirmasi kepada GKR Mangkubumi melalui sekretarisnya sejak 2 September 2021. Namun, hingga laporan ini diterbitkan, belum ada respons lagi dari Mangkubumi.
Tanah Desa di Jogja City Mall
Selain tanah desa di Desa Srimulyo, Kapanewon Piyungan, keluarga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga terlibat dalam bisnis lain yang memakai tanah desa Sinduadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman di Jogja City Mall (JCM) yang dimiliki PT Garuda Mitra Sejati (GMS).
Berdasarkan dokumen AHU per 21 Maret 2021, nama adik Sultan, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto (sebelum wafat) tercatat sebagai komisaris utama dan mempunyai saham Rp32 miliar. Di perusahaan itu tercatat pula nama anak Hadiwinoto, yakni Raden Mas (RM) Bambang Prastari dan Raden Ajeng (RAj) Lupitasari sebagai pemegang saham, masing-masing sebesar Rp11 miliar.
Izin pembangunan JCM ditandatangani oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X pada 30 Agustus 2013 dalam Surat Izin Nomor 35/IZ/2013. Dalam surat itu dijelaskan, JCM akan menggunakan tanah desa di Sinduadi seluas 845 meter persegi untuk pembangunan pusat perbelanjaan beserta fasilitas pendukungnya.
Kemudian pada 2017, Sultan kembali memberikan izin JCM untuk memperluas lahan parkir dengan memanfaatkan tanah desa seluas 300 meter persegi dalam Keputusan Gubernur Nomor 40/IZ/2017. Dua izin yang diberikan JCM itu melalui proses yang berbeda. Izin pada 2013 langsung kepada Sultan. Namun izin pada 2017 harus melalui Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura di kasultanan yang dijabat GKR Condrokirono, baru kepada Sultan selaku gubernur.
“Dulu kan [sebelum 2017] tidak ada izin ke kasultanan, langsung ke gubernur. Jadi 2017-2018 dispertaru [Dinas Pertanahan dan Tata Ruang] masih diberi kewenangan kasultanan untuk mewakili, karena belum ditunjuk panitikismo (lembaga teknis dari Panitrapura). Kemudian pada 2019 harus seizin panitikismo,” ujar Kepala Sesi Administrasi Pemanfaatan Pertanahan Kundha Niti Mandala sarta Tata Sasana atau Dispertaru DIY, Murgiyanto, 23 Mei 2021.
Menurut Murgiyanto, baru pada 2019 diambil alih Tepas Panitikismo. Panitikismo bertugas untuk meninjau dan memberikan rekomendasi apakah izin pemanfaatan tanah desa itu bisa diberikan atau tidak. Jika tidak ada rekomendasi dari panitikismo, maka proses izin pemanfaatan tanah desa akan mandeg.
Izin melalui kasultanan diterapkan usai terbit Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun kesepakatan soal pemanfaatan tanah baru diterbitkan pada 2017 melalui Pergub DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
“Dari 2012 baru ada kesepakatan pada 2017. Selama lima tahun itu, kan, menyamakan persepsi antara pemda, pemerintah pusat, dan keraton. Itu juga tidak mudah. Sampai sekarang pun masalah ini belum bisa selesai, masih ada beberapa persoalan dengan tanah yang ada di DIY,” ujar Murgiyanto.
Tanah-tanah desa di DIY mendapat perlakuan yang berbeda. Tanah desa di luar DIY dimiliki oleh pemerintah desa di atas tanah negara berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun tanah desa di DIY hanya mempunyai hak pakai di atas tanah hak milik di tangan kasultanan. Sebelum wafat 31 Maret 2021, semua izin pemanfaatan tanah desa dikeluarkan atas wewenang Hadiwinoto selaku Penghageng Tepas Panitikismo.
Menurut Ketua RW 14 Sinduadi, Muryanto, proses perizinan dan sosialisasi pembangunan JCM ini berjalan lancar dan tak ada hambatan. Warga diklaim legawa dengan pembangunan mal di sana, karena warga tahu salah satu pemilik mal tersebut adalah kerabat keraton.
“Karena tahu Gusti Hadi. Kan Gusti Hadi yang di depan. Jadi sepertinya warga tuh, ya enggak apa-apa [enggak masalah],” ujar Muryanto, 27 Mei 2021.
Tim kolaborasi sempat mengunjungi lokasi JCM untuk melihat lokasi tanah desa 845 meter persegi yang digunakan untuk pembangunan JCM. Menurut Muryanto, lokasinya berada di tengah mal. Sedangkan lokasi lahan 300 meter persegi untuk pengembangan lahan parkir, tidak ada warga yang tahu persis letaknya.
Humas JCM Febrianita Candra Rini menyatakan terkait luasan area tanah desa hingga lokasi pemanfaatannya tidak bisa diinformasikan ke publik karena berkaitan dengan kebijakan perusahaan.
“Belum bisa kami jawab karena sudah menjadi kebijakan dari perusahaan untuk tidak dapat dibagikan kepada publik terkait hal tersebut,” ujar Candra ketika dimintai keterangan melalui pesan singkat pada 2 Agustus 2021.
Sedangkan tanah desa seluas 300 meter, menurut Candra bukan untuk lahan parkir, tetapi resapan air terbuka yang lokasinya pun enggan dibeberkan.
“Kalau untuk pemanfaatannya bukan untuk lahan parkir, tapi untuk area resapan air terbuka dan area resapan air. Kalau untuk lokasi lebih lanjutnya, mohon maaf belum bisa kami jelaskan karena sudah menjadi kebijakan dari perusahaan,” ujarnya.
Sementara Direktur Utama PT GMS Soekeno tidak merespons ketika dihubungi tim kolaborasi sejak 15 Juli 2021 hingga saat ini. Permintaan wawancara disampaikan melalui pesan WA dan telepon, juga pengiriman surat tertanggal 18 Agustus 2021 dan 4 September 2021.
Tim kolaborasi sudah mencoba menghubungi anak-anak (alm) Hadiwinoto yang namanya tercatat di dalam dokumen AHU, yaitu RAj Lupitasari dan RM Bambang. Tim mendatangi rumahnya untuk menyampaikan surat permohonan wawancara pada 16 Agustus dan 2 September 2021, tetapi rumahnya kosong.
Kami juga sudah mengirim pesan melalui akun Instagram mereka, yaitu @jeng_loop dan @benkz1881 pada 6 September 2021, tetapi hingga laporan ini diterbitkan, tidak ada tanggapan atau konfirmasi dari mereka berdua.
Keterlibatan Keraton di Jogja Bay
Tanah desa lain yang digunakan untuk bisnis keluarga keraton adalah Jogja Bay, milik PT Taman Wisata Jogja. Menurut dokumen AHU yang diakses per 16 Maret 2021, GKR Condrokirono terlibat sebagai komisaris Jogja Bay.
Wahana wisata air itu berdiri di atas tanah Desa Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman. Pada 5 September 2014, Sultan mengeluarkan permohonan izin penggunaan lahan seluas 77.900 meter persegi selama 10 tahun untuk Jogja Bay.
Jagabaya atau Kasi Pemerintahan Desa Maguwoharjo, Danang Wahyu mengatakan sebelum ada Jogja Bay, lahan di utara Stadion Maguwoharjo tersebut adalah lapangan kosong untuk kepentingan hiburan masyarakat. Kemudian kerabat keraton diduga melakukan lobi pemanfaatan lahan untuk investasi.
“Sekarang Pak Lurah dipesankan untuk jaga tanah desa oleh Ngarso Ndalem,” tutur Danang saat ditemui di ruang kerjanya, 7 Mei 2021.
Kehadiran suami GKR Maduretno, KPH Purbodinigrat dalam mengurus izin lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sleman menunjukkan peran kerabat keraton dalam mengelola Jogja Bay. Nama menantu Sultan ini muncul sebagai penanggung jawab usaha atau kegiatan berdasarkan surat pengumuman Nomor 660/643 tentang Penerbitan Izin Lingkungan PT Taman Wisata Jogja untuk Kegiatan Taman Wisata Air (Jogja Bay Water Park) yang dikeluarkan DLH Sleman.
Dalam dokumen tersebut diketahui Purbodiningrat mulai mengurus permohonan izin lingkungan pada 8 Juni 2015. Seminggu setelahnya, 12 Juni 2015, DLH Sleman sudah mengeluarkan izin lingkungan.
Condrokirono juga menolak dikonfirmasi soal keterlibatannya di Jogja Bay. Ketika dihubungi tim kolaborasi pada 2 September 2021, Condrokirono mengalihkannya pada Direktur Operasional Jogja Bay, Cahyo Indarto. Ketika diwawancara tim kolaborasi pada 3 September 2021, Cahyo membenarkan Condrokirono merupakan komisaris utama di Jogja Bay.
“[GKR Condro] sebagai komisaris utama,” ujar Cahyo.
Menurut Cahyo, peran Condrokirono di Jogja Bay banyak memberi arahan dan masukan terkait manajemen dan marketing. Dia juga dinilai sebagai orang yang memahami bisnis pariwisata di Yogyakarta.
“Kalau saya, Mbak Condrokirono ini kan sudah banyak pegang perusahaan. Ketika beliau jadi komisaris, saya juga merasakan arahan-arahan beliau ini sangat bagus. Apalagi di dunia pariwisata, beliau sangat paham. Di Jogja kan gerakannya lebih banyak di pariwisata,” ujar Cahyo.
Meski begitu, Cahyo menampik keterlibatan Condrokirono untuk memudahkan proses perizinan Jogja Bay dan sewa tanah desa Maguwoharjo. Perizinan itu diurus sesuai prosedur yang berlaku. Ia pun menampik keterlibatan Purbodinigrat dalam pengurusan izin lingkungan ke DLH Sleman.
“Enggak ada [keterlibatan Purbodinigrat]. Ya kalau kami, pada intinya, izin prosedural saja yang benar, jadi tidak ada yang dilompati, enggak ada yang dilangkahi. Mengikuti saja semua prosedurnya,” kata Cahyo.
Kami sudah mencoba mengkonfirmasi keterlibatan Purbo dalam mengurus izin ke DLH Sleman. Kami menghubungi Purbo melalui WhatsApp pada 8 September 2021, dan terkirim, tetapi tak ada balasan. Nomor tersebut juga kami hubungi, tetapi dialihkan. Kami juga mengontak Purbo melalui DM Instagram @purbodiningrat pada 9 September 2021, tetapi tak mendapat balasan.
Sultan membantah semua tudingan mengenai anak-anak atau keluarganya yang terlibat dalam bisnis apa pun. Ketika ditemui pada 4 Agustus 2021, Sultan dengan tegas menyatakan tak ada anak-anaknya yang berbisnis.
“Yo ra mungkin nek (ya enggak mungkin) keluargaku, anak-anakku gitu enggak ada, itu nyatut berarti. Itu semua hanya orang cari duit, supaya dipercaya. Anak-anak enggak ada yang bisnis,” ujarnya.
====================================
Catatan: Ini adalah naskah pertama dari tiga naskah yang digarap tim kolaborasi yang terdiri dari Tirto.id, Kompas.com, Jaring, Suara.com, dan Project Multatuli.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Abdul Aziz