Menuju konten utama

Di Balik Protes Warga yang Berujung Penutupan Akses TPST Piyungan

Berdasarkan data DLHK DIY, sejak 24 hingga 27 Maret terdapat 2.320 ton sampah yang menumpuk di sejumlah TPS sementara lantaran tidak dapat terangkut ke TPST Piyungan.

Di Balik Protes Warga yang Berujung Penutupan Akses TPST Piyungan
Akibat Penutupan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sementara di Demangan, Gondokusuman, Kota Yogya, Rabu (27/3/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Warga menutup akses menuju Tempat Pengelolaan Sampah Terpadau (TPST) Piyungan, di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak Minggu, 24 Maret lalu. Akibatnya, sampah menumpuk di sejumlah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sementara di Kota Yogya, Bantul, dan Sleman.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Yogyakarta memperkirakan, sejak 24 hingga 27 Maret 2019 terdapat 2.320 ton sampah yang menumpuk di sejumlah TPS sementara lantaran tidak dapat terangkut ke TPST Piyungan.

Kepala DLHK Yogyakarta, R. Sutarto mengatakan setiap hari rata-rata sampah yang masuk ke TPST Piyungan sebanyak 580 ton. Jumlah sampah ini hanya berasal dari wilayah perkotaan yang meliputi kota Yogya, sebagian wilayah Sleman dan Bantul.

“Dari catatan kami Januari hingga Maret 2019, kira-kira [sampah yang masuk ke TPST Piyungan] sekitar 580 ton per hari. [Kalau empat hari TPST Piyungan ditutup] ya tinggal mengalikan,” kata Sutarto saat ditemui di kantornya, Rabu (27/3/2019).

Menurut dia, jumlah sampah yang diangkut ke TPST Piyungan itu masih terbilang sedikit. Sebab, jika dibandingkan dengan produksi sampah secara keseluruhan di wilayah perkotaan di Kota Yogya dan sebagian wilayah Bantul dan Sleman, maka totalnya ada 1.600 ton per hari.

Sedangkan untuk produksi sampah di seluruh Provinsi DI Yogyakarta mencapai 2.100 ton per hari.

“Hanya seperempat [dari seluruh produksi sampah di Yogyakarta] yang masuk ke TPST Piyungan,” kata Sutarto.

Namun, meski hanya seperempat dari produksi sampah di Provinsi DIY, nyatanya TPST Piyungan yang memiliki luas 14,5 hektare dan mulai beroperasi pada 1995 itu sudah mulai kelebihan kapasitas.

“2019 TPST Piyungan sudah overload. [Indikatornya] sudah penuh tidak ada tempat lagi. Artinya, kan, dulu [berupa] lembah, sekarang, kan, jadi gunung. Mungkin tempat-tempat tertentu di sela itu masih ada, tapi, kan, harus ada perbaikan kegiatan menata [gunungan sampah],” kata Sutarto.

Protes yang Berujung Penutupan Akses

Kapasitas yang sudah berlebihan itu memunculkan sejumlah masalah sosial di sekitar TPST Piyungan. Warga sekitar beberapa kali bahkan melakukan aksi protes lantaran terkena imbas sampah yang menggunung.

Akibat kelebihan kapasitas itu, truk pengangkut sampah mengular hingga mendekati permukiman warga. Jalan di sekitar permukiman pun rusak.

“Sampah menumpuk membuat antrean satu setengah kilometer kemarin. Kan, mengganggu akses warga sekitar,” kata juru bicara warga yang juga Ketua Komunitas Pemulung di TPST Piyungan, Maryono.

Karena itu, kata Maryono, warga pun beberapa kali melakukan aksi untuk menyuarakan sejumlah tuntutan. Protes ini akhirnya berujung pada penutupan akses jalan menuju TPST Piyungan sejak 24 Maret.

Maryono menuturkan, aksi penutupan akses menuju TPST Piyungan ini dilakukan sebagai aksi lanjutan pada akhir tahun lalu karena permasalahan yang sama. Warga mendesak pemerintah menindaklanjuti tuntutan mereka untuk melakukan sejumlah perbaikan.

Salah satunya adalah perbaikan dermaga pembuangan sampah sehingga tidak terjadi antrean truk. Selain itu, warga juga menuntut perbaikan jalan yang selama ini becek akibat lalu lintas truk sampah yang keluar masuk TPST Piyungan.

“Masak mau sekolah anak-anak harus membungkus sepatunya pakai tas kresek [saat melewati jalan]. Ketiga, tolong dibuat saluran drainase agar limbah sampah tidak masuk ke pemukiman warga,” kata Maryono.

Tak hanya itu, warga juga meminta agar ada kompensasi bagi keluarga yang terdampak langsung adanya pembuangan sampah di TPST Piyungan, serta penambahan penerangan jalan.

Terkait tuntutan warga ini, Pemprov DIY melalui DLHK berusaha melakukan negosiasi dengan warga.

“Soal negosiasi sudah selesai kemarin. Pintu portal sudah terbuka, tidak ditunggui oleh warga dan ditutup itu enggak. Tapi hari ini sampah memang belum bisa masuk [TPST Piyungan] selambat-lambatnya Jumat [29 Maret 2019] itu sudah bisa operasional,” kata Sutarto.

Sutarto mengklaim warga sudah mulai melunak setelah Pemprov DIY berjanji akan menindaklanjuti sejumlah tuntutannya.

Pembuatan dermaga untuk proses bongkar sampah, kata Sutarto, sudah mulai dikerjakan. Sementara untuk perbaikan jalan, kata dia, akan mulai dikerjakan pada April 2019 karena harus melalui proses lelang.

Tuntutan lainnya, seperti penerangan jalan dan fogging juga sudah dipenuhi.

“Jadi kami tidak mengulur waktu. Segala sesuatunya kalau itu memang harus tender, kan, ya harus tender. Prosesnya sudah, mudah-mudahan segera," kata Sutarto.

Di sisi lain, kata Sutarto, mengatasi persoalan TPST Piyungan yang sudah kelebihan kapasitas adalah persoalan yang cukup pelik. Satu-satunya jalan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas TPST.

“Menata dan memperlebar direncanakan tahun ini ada membuat bronjong [...] Dikasih bronjong kemudian otomatis di atasnya bisa untuk membuang sampah,” kata Sutarto.

Menurut Sutarto, pada 2020 DLHK baru merencanakan untuk melakukan perbaikan drainase yang ada di pinggir jalan sekitar TPST Piyungan.

“Kalau sudah dibuat drainase itu, kan, di sela drainase akan terlihat terbuka kemudian itu bisa dipakai untuk membuang sampah," kata dia.

Sutarto mengakui bila sejumlah hal yang dilakukan Pemprov DIY itu hanyalah solusi jangka pendek di tengah TPST Piyungan yang sudah kelebihan kapasitas. “Problem terbesarnya itu, TPST Piyungan itu [harus] ditambah lokasi yang lain,” kata dia.

“Tapi ya tolonglah, itu bukan tanggung jawab kami sepenuhnya untuk mencari tempat. Itu tidak gampang. Uang mungkin ada, tapi tempatnya saya yakin 100 persen tidak ada yang menerima masyarakat,” kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov DIY Gatot Saptadi mengatakan tidak ada jalan lain kecuali harus membuka akses TPST Piyungan supaya tidak terjadi penumpukan sampah di sejumlah titik.

"Tetap harus dibuka, kami minta negosiasi dengan warga, ya harus dibuka solusinya itu. tidak ada tempat lain kok, tapi untuk dibuka itu [warga] mintanya apa, coba kami negosiasikan,” kata Gatot.

Gatot menuturkan bila permintaan warga telah ditindaklanjuti. Namun, kata dia, untuk melaksanakan tuntutan warga pemerintah membutuhkan waktu.

“Kalau dermaga ada kegiatan [perbaikan] tahun ini, jadi cuma masalah waktu saja [...] Dan karena anggarannya 2019 turunya baru Januari," kata dia.

Untuk itu, kata Gatot, Pemprov DIY ingin mematikan agar negosiasi dengan warga dapat segera rampung dan akses menuju TPST Piyungan dapat dibuka agar sampah di sejumlah titik di Yogyakarta tidak menumpuk.

“Kalau masalah dibukanya teman-teman di lapangan. Kalau perlu aku turun ke sana [jika belum juga dibuka]," kata Gatot.

Warga Mulai Melunak

Maryono berkata telah bertemu dengan Sekretaris Daerah Pemprov DIY untuk membicarakan soal tuntutan warga. Dalam pertemuan itu, kata dia, warga bersedia untuk membuka akses menuju TPST Piyungan dengan catatan sejumlah tuntutan dipenuhi.

"Kemarin sudah ketemu dengan Pak Sekda, walaupun tidak langsung akan dipenuhi," kata Maryono saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (27/3/2019).

Salah satunya adalah tuntutan penambahan dermaga truk sampah yang sudah mulai dikerjakan pada Rabu (27/3/2019). "Kami sedang di lapangan dan memantau proses urug pembuatan dermaga truk sampah," kata Maryono.

Namun demikian, Maryono mengatakan belum menemukan titik kesepakatan dengan pemerintah soal pembukaan blokir akses jalan yang dilakukan warga.

"Untuk pembukaan [blokade] sepertinya kemarin belum menemukan kesepakatan. Tapi nanti kami akan bantu, karena sampah di berbagai tempat sudah menumpuk, kami akan bantu supaya mereka bisa membuang," kata dia.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz