tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap pejabat di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Rabu (16/9/2021). KPK lantas menetapkan 3 tersangka yakni Plt. Kadis PU Dinas PUPRT Hulu Sungai Utara sekaligus PPK dan KPA, Maliki; Direktur CV Hanamas, Marhaini; serta Direktur CV Kalpataru, Fachriadi.
Namun OTT KPK kali ini berbeda. Sebab di hari yang sama, Rabu (16/9/2021), pimpinan KPK mengumumkan 56 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) diberhentikan secara hormat oleh pimpinan. Aksi pemberhentian pegawai KPK tidak lulus TWK itu dinilai bermasalah karena dilakukan terburu-buru.
Kejadian OTT yang mengikuti isu krusial di KPK bukan kali pertama. Dalam penelusuran Tirto, setidaknya ada 3 kejadian di era Firli Cs yang mempunyai pola serupa. Misalnya, saat penangkapan Juliari Batubara, menteri sosial yang terlibat kasus bansos COVID-19. Kala itu, publik ramai menagih kapan komisi antirasuah menangkap Harun Masiku, polikus PDIP yang buron.
Kasus OTT lain saat KPK menangkap Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo. Saat itu, KPK era Firli Bahuri Cs tengah dikritik tidak punya kinerja dan dikaitkan dengan pelaksanaan UU KPK baru yang dinilai melemahkan KPK.
Sementara kasus terbaru adalah OTT Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin yang juga anggota DPR RI dan mantan bupati dua periode. OTT ini dilakukan tidak jauh dari putusan etik salah satu pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar yang menjadi sorotan publik.
Koordinator Masyarakat Antikoruposi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengkritik kinerja KPK. Bagi Bonyamin, kegiatan KPK seperti OTT yang belakangan dilakukan hanya sebagai obat bagi publik yang kecewa dengan kinerja mereka.
"OTT sebagai gula-gula kepada rakyat, sekadar pemanis mulut," kata Boyamin kepada reporter Tirto, Jumat (17/9/2021).
Bagi Boyamin, hal ini semakin membuktikan kinerja KPK buruk dan kualitas kerjanya menurun, apalagi dua kasus, yakni OTT Hulu Sungai Utara Kalsel dan Probolinggo, Jawa Timur. Ia memandang, OTT akhirnya berubah menjadi pencitraan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar KPK mendorong pembatalan revisi UU.
"KPK harus berjuang untuk batalin revisi UU KPK, hanya ini satu-satunya jalan," kata Bonyamin.
Sementara itu, pegiat antikorupsi Zaenur Rohman enggan berspekulasi bahwa aksi OTT selama ini untuk menutup kinerja buruk. Namun ia tidak memungkiri KPK bisa menggunakan metode tersebut.
"Apakah OTT dilakukan oleh KPK itu untuk mengalihkan perhatian karena adanya semacam sorotan publik terhadap hal-hal tertentu? Ya itu mungkin saja dilakukan ya. Itu sangat mungkin dilakukan oleh KPK. Tidak ada hal yang tidak mungkin, tapi menurut saya, ya itu susah untuk untuk bisa dipastikan," kata Zaenur.
Namun, Zaenur berpendapat bahwa kasus Kalimantan Selatan tidak perlu ditangani KPK. Ia menilai, kasus OTT di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebaiknya diserahkan ke penegak hukum lain dan disupervisi KPK meski segala laporan korupsi tetap harus ditangani KPK. Ia menilai KPK lebih baik fokus penanganan kasus yang lebih besar.
"Kasus lebih strategis, kasus yang punya nilai penting merugikan keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar dilakukan oleh pejabat yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi, yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Itu harus diprioritaskan oleh KPK. Nah, Kalsel ini saya tidak melihat sebagai kasus yang strategis," kata Zaenur.
Zaenur berharap KPK tidak menggunakan OTT sebagai alat pencitraan ketika menghadapi masalah. Salah satu poin adalah dengan menangani kasus besar daripada kasus kelas teri demi menghadapi masalah kecil. Oleh karena itu, Zaenur mendorong KPK independen, memprioritaskan penanganan kasus strategis dan melimpahkan kasus yang tidak strategis ke penegak hukum lain
"Tapi itu semua tidak akan terjadi saat ini, karena berbagai persoalan di KPK," kata Zaenur.
Ada Potensi Pengalihan Isu
Ahli Komunikasi dari Universitas Brawijaya Anang Sudjoko menilai aksi OTT yang selalu berdekatan dengan kejadian kelembagaan yang disorot publik bisa diterjemahkan sebagai upaya menutupi hal negatif KPK. Namun OTT, dalam kacamata Anang, seharusnya dinilai negatif karena bukti kegagalan kinerja KPK dalam pencegahan.
"OTT ini adalah sebuah tradisi yang sudah dilakukan oleh kepemimpinan KPK sebelumnya dan itu bisa dikatakan sebagai sebuah prestasi meskipun dalam hal ini sebenarnya kalau kita mau mengkritisi, OTT itu sebetulnya tidak lebih sebagai sebuah kelemahan sistem dari KPK untuk preventif," kata Anang kepada reporter Tirto, Jumat (17/9/2021).
Anang menuturkan, KPK sebagai lembaga seharusnya sudah bisa mendeteksi dini dan mencegah kejadian lewat opsi pencegahan. Namun pencegahan korupsi tidak efektif sehingga penindakan menjadi hal yang dikedepankan.
Apabila melihat beberapa kasus OTT yang berdekatan dengan insiden kelembagaan KPK, Anang menilai publik bisa saja merespons positif, tetapi bisa juga menangkap pesan negatif dari aksi OTT yang berdekatan dengan masalah kelembagaan KPK. OTT akan bisa memberi citra positif selama KPK bisa memberikan hasil kinerja dengan integritas yang baik.
Namun, KPK saat ini mengalami masalah karena kinerja integritas lembaga antirasuah tercoreng karena perilaku personel mereka. Sebagai contoh, hukuman etik Lili yang hanya dihukum potong gaji, sementara sudah melanggar secara hukum. Kemudian hukuman etik Firli yang dinilai tidak adil dan mencoreng integritas.
"Artinya kepercayaan publik bisa turun karena kredibilitas KPK itu sudah terganggu, tercoreng dengan perilaku-perilaku mereka (komisioner KPK yang tidak berintegritas)," kata Anang.
Jika mengacu teori komunikasi, kata Anang, KPK memang bisa memperbaiki citra dengan OTT. Ia beralasan, OTT punya eksposure berita yang lebih panjang daripada berita masalah kelembagaan KPK seperti soal etik Firli maupun Lili.
Dalam studi komunikasi, kata dia, ekspose yang besar bisa membawa publik fokus pada isu yang punya perhatian besar akibat pemberitaan yang tinggi. Namun eksposure itu tetap belum tentu bisa membawa perubahan citra lembaga yang sudah rusak.
Oleh karena itu, kata Anang, opsi penindakan serius atau para komisioner yang merusak muruah KPK harus mundur demi memperbaiki kepercayaan publik kepada KPK.
"Jadi harus ada kode etik yang lebih keras dalam rangka untuk menjaga muruah ini sehingga OTT itu bukan upaya untuk menutupi, tapi OTT artinya kinerja. Jadi tidak ada niatan-niatan lain dalam rangka untuk mengimbangi hal yang negatif di dalam KPK dengan melakukan OTT-OTT semacam itu," kata Anang.
Reporter Tirto berusaha meminta tanggapan dari Komisioner KPK Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango. Akan tetapi, kedua komisioner tersebut belum merespons hingga artikel ini rilis.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz