tirto.id - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikap "keras" dalam polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) para pegawai KPK. Firli Bahuri cs resmi memecat 56 (50 dipecat langsung, 6 orang dipecat karena gak mau ikut diklat) dari total 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus TWK.
"Memberhentikan dengan hormat 50 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat per 30 September 2021," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers pada Rabu (15/9/2021).
Lantas bagaimana nasib 25 pegawai lain yang tidak lulus? Alex menuturkan, 18 pegawai akhirnya mengikuti program bela negara, sementara 3 pegawai lainnya mendapat kompensasi ikut TWK setelah pulang tugas luar negeri pada 30 September 2021.
Kemudian, kata Alex, 6 pegawai memutuskan tidak ikut TWK meski diberi kesempatan. Oleh karena itu, ada 56 orang dari 75 orang yang tidak lulus TWK resmi diberhentikan dari KPK per 30 September 2021. Semua keputusan pemberhentian, kata Alex, berdasarkan hasil rapat koordinasi antara KPK, Kementerian PANRB, dan BKN pada 13 September 2021.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lantas menjawab alasan pemberhentian 56 pegawai KPK lebih cepat dari ketentuan perundang-undangan, yakni 1 November 2021. Ia berdalih, pemberhentian sudah sesuai mandat UU KPK yang diundangkan pada 17 Oktober 2019.
"KPK dimandatkan badan berdasarkan Pasal 69 B dan juga pada Pasal 69 C Undang-Undang 19 2019 itu paling lama 2 tahun," klaim Ghufron dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, Alex juga mengklaim bahwa pemecatan 56 pegawai KPK mengacu kepada PP 63 tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen SDM KPK Pasal 18 dan 19 ayat 3 huruf B bahwa mereka diberhentikan karena tuntutan organisasi. Ia menegaskan pemecatan bukan akibat Perkom 1 tahun 2021, tetapi hasil upaya asesmen TWK.
Salah satu pegawai yang tidak lulus TWK, Giri Suprapdiono menegaskan bahwa kawan-kawan yang tidak lulus tes TWK akan terus melawan ketidakzaliman dalam tes TWK KPK.
"Kami akan terus melawan dan melakukan upaya hukum. Kami masih punya waktu sampai dengan 30 September 2021," ujarnya kepada Tirto, Rabu (15/9/2021) malam.
Pria yang menjabat Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK itu berpegangan pada putusan MA bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK merupakan kewenangan pemerintah, bukan pimpinan KPK. Giri menyoalkan percepatan pemecatan karena dikhawatirkan ada kepentingan tertentu.
"Mempercepat pemecatan kami menjadi 30 September menimbulkan kecurigaan bagi kami. Gimmick peringatan hari besar, yang selalu dicederai dengan kebusukan yang dibungkus TWK," tukas Giri.
Selain itu, temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI menyatakan ada masalah dalam pelaksanaan TWK KPK sehingga ada pegawai tidak lolos. Ia mengingatkan rekomendasi Komnas HAM adalah mengangkat 75 pegawai yang tidak lolos TWK, sementara Ombudsman meminta Jokowi mengambil alih proses TWK KPK yang ditemukan malaadministrasi. Oleh karena itu, Giri berharap Presiden Jokowi bisa bersikap dalam polemik TWK.
"Saya yakin presiden dan pendukung antikorupsi akan bertindak bijak," ujar Giri.
Sementara itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai pemecatan para pegawai KPK akibat TWK sebagai bukti pemberantasan korupsi Indonesia makin kacau. Sebab, aksi pimpinan KPK semakin membuktikan bahwa mereka ingin menggeser nama tertentu seperti Novel Baswedan dan pegawai KPK yang lantang soal antikorupsi, apalagi rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman tidak dijalankan KPK.
"Makin dibajak pemberantasan korupsi di negeri ini. Clear sepertinya bahwa TWK kemarin memang untuk menyingkirkan nama-nama tertentu. Orang-orang yang kritis dan berkali-kali menangani kasus besar. Rekomendasi Komnas HAM & Ombudsman, asesmen tersebut penuh pelanggaran hak asasi dan malaadmnistrasi juga dihiraukan," kata Mardani dalam keterangan, Kamis (16/9/2021).
Mardani menyayangkan Presiden Jokowi yang semakin tidak terlihat dalam kasus TWK padahal ada temuan Komnas HAM dan Ombudsman. Ia mengingatkan banyak pakar hukum yang meminta presiden untuk turun tangan, apalagi KPK kini sudah masuk dalam rumpun eksekutif yang merupakan wilayah presiden.
"Bapak Jokowi sebagai kepala negara, kepala pemerintah serta pembina tertinggi aparat sipil negara mesti segera bersikap. Karena publik masih menunggu dan setia dengan putusan presiden ketika itu, TWK jangan dijadikan dasar untuk berhentikan pegawai," kata Mardani.
Putusan MK dan MA Tak Tepat Dijadikan Alasan
Pegiat antikorupsi dari Pukat UGM Yogyakarta Zaenur Rohman menilai bahwa pemecatan 56 pegawai KPK sebagai tindakan pelanggaran hukum dan sewenang-wenang.
"Keputusan pemberhentian oleh KPK tersebut merupakan wujud tindakan sewenang-wenang sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan pejabat yang tidak memiliki kewenangan tetapi mengambil keputusan itu merupakan satu bentuk tindak sewenang-wenang," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis (16/9/2021).
Zaenur mengklaim, dalil KPK bahwa mereka menggunakan putusan MA dan MK tidak tepat. Sebab, MA dan MK menguji formalitas dan norma TWK, bukan proses TWK yang bermasalah. Sebab, Zaenur melihat proses TWK sudah mengarah pada upaya menyingkirkan pegawai KPK tertentu.
Dugaan tersebut menguat karena Komnas HAM memberikan 11 rekomendasi dan Ombudsman menemukan malaadministrasi dalam proses TWK, kata Zaenur.
Bagi Zaenur, langkah Firli cs memecat juga melanggar putusan MA Nomor 26 tahun 2021 tentang pengujian atau hak uji materi. Ia beralasan, putusan MA menyatakan tindak lanjut kepada pemerintah yakni presiden sebagai pemimpin pembinaan pegawai tertinggi, bukan KPK.
"Jadi saya melihat keputusan KPK ini bertentangan dengan putusan MA, juga mendahului sikap presiden. Keputusan ini oleh KPK memang dilakukan terlihat terburu-buru. Kenapa terburu-buru? karena mengambil momentum jangan sampai presiden mengambil sikap," kata Zaenur.
Namun Zaenur melihat Jokowi memilih diam dan buang badan dalam konflik TWK meski dimandatkan dalam putusan MA tentang TWK. Hal ini, kata Zaenur, menguatkan persepsi bahwa Jokowi bukan sekadar tidak tahu, tetapi juga tidak punya komitmen pemberantasan korupsi.
"Saya melihat bahwa presiden tidak bersikap itu semakin menunjukkan memang selain ketidaktahuan juga menunjukkan rendahnya komitmen pemberantasan korupsi oleh presiden dan sikap lembek Jokowi ini bukan yang pertama," kata Zaenur.
Zaenur lantas mengungkit janji Jokowi yang ingin mengeluarkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. Akan tetapi, janji tersebut hanya janji kosong. Kemudian Jokowi juga tidak konsisten dalam pernyataan bahwa TWK tidak bisa menjadi alasan pemecatan, tetapi justru digunakan KPK untuk memecat pegawai dan Jokowi diam.
Kini, Zaenur mengatakan ada sejumlah langkah perlawanan atas kesewenang-wenangan KPK. Pertama, Zaenur mendorong agar upaya sengketa informasi soal transparansi TWK terus dilanjutkan. Setelah itu, mereka bisa menggugat SK pemberhentian dengan hasil sengketa informasi serta hasil rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM.
Meski masih bisa melawan, Zaenur khawatir KPK akan menjadi lembaga politis setelah Firli Cs berhasil menendang orang-orang berintegritas seperti Novel Baswedan dkk.
"Ke depan KPK semakin dikuasai oleh pimpinan KPK, khususnya Firli Bahuri akan semakin rendah kepercayaan publik kepada KPK dan yang paling berbahaya KPK semakin menjadi alat-alat kepentingan tertentu dan tidak steril dari intervensi-intervensi politik. Apa pun yang terjadi perlawanan harus terus dilakukan," kata Zaenur.
Jokowi Bisa Pakai Rekomendasi Komnas HAM
Komnas HAM menilai Jokowi bisa menyelesaikan polemik 56 pegawai KPK yang dipecat akibat TWK. Jokowi bisa menggunakan rekomendasi Komnas HAM sebagai acuan untuk menyelesaikan polemik TWK, kata Komisioner Komnas HAM M. Chairul Anam.
"Presiden masih berwenang dan bisa mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan TWK KPK. Temuan dan rekomendasi Komnas HAM tetap bisa dijadikan batu pijak untuk langkah tersebut," kata Anam dalam keterangan, Kamis (16/9/2021).
Komnas HAM sepakat bahwa putusan MK dan MA memang harus dihormati. Namun, hasil temuan Komnas HAM dan rekomendasi berbeda dengan putusan MA dan MK sehingga tidak bisa dibandingkan.
Ia mengingatkan, putusan MA dan MK berfokus pada norma dan tidak menyentuh temuan faktual, sementara Komnas HAM fokus pada temuan faktual dan tidak menggunakan putusan sebagai acuan.
"Oleh karenanya, langkah presiden yang menjadikan rekomendasi Komnas HAM sebagai pijakan dengan tetap menghormati putusan MK dan MA terkait norma tersebut masih bisa diambil. Hal ini sebagai wujud tata kelola Negara Konstitusional. Fakta-fakta adanya pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan TWK tersebut penting untuk ditindaklanjuti sesuai rekomendasi Komnas HAM oleh presiden," kata Anam.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz