tirto.id - Ombudsman RI menemukan banyak malaadministrasi dalam keseluruhan proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karenanya, Ombudsman menuntut KPK agar mengangkat 75 pegawai yang tidak lolos TWK menjadi aparatur sipil negara (ASN) sebelum tanggal 30 Oktober 2021 sebagai tindakan korektif akibat ketidakberesan tersebut.
"Sebagaimana yang kemudian ditemukan dalam proses asesmen, maka terhadap pegawai KPK tersebut dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021. Ini kepada KPK tindakan korektif," kata anggota Ombudsman RI Robertus Na Endi Jaweng secara virtual pada Rabu (21/7/2021).
Robertus mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 tentang uji materiil UU KPK sudah terang menyatakan proses alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN sama sekali tidak mengatur tentang asesmen Tes Wawasan Kebangsaan.
Selain itu, Ombudsman mengatakan hasil TWK semestinya digunakan sebagai bahan masukan guna perbaikan di masa mendatang, bukan dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai.
Terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos, maka harus diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
Ombudsman pun menuntut KPK memberikan penjelasan mengenai konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk dokumen yang sah. Alasan pertama, sebagai bagian dari keterbukaan informasi; kedua, agar menjadi sarana bagi para pegawai untuk mengevaluasi diri dan memperbaiki diri.
Dalam laporan investigasinya terhadap proses TWK, Ombudsman menemukan banyak malaadministrasi dalam proses TWK. Pertama, klausul mengenai TWK dalam Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN adalah klausul selipan yang menyusup pada tahap-tahap akhir pembahasan.
Dalam 5 rapat pertama penyusunan Peraturan KPK 1/2021 selama 2020, sama sekali tidak ada gagasan soal asesmen TWK. Gagasan soal TWK baru muncul pada rapat tanggal 5 Januari 2021 dan pada rapat pada 25 Januari 2021 dibahas bahwa TWK dilaksanakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN.
Merujuk investigasi IndonesiaLeaks, Ketua KPK Firli Bahuri diduga berada di balik penyelundupan klausul TWK dalam Peraturan KPK 1/2021. Firli diduga memaksa Kepala Biro Hukum KPK untuk memasukkan klausul TWK.
"Mengutip notulensi yang kami baca dari hasil rapat di tanggal 5 itu, munculnya klausul terkait mekanisme asesmen TWK ini adalah bentuk penyisipan, penyisipan ayat, pemunculan ayat baru yang itu munculnya di bulan-bulan terakhir proses ini," kata Robert secara virtual pada Rabu (21/7/2021).
Selain itu, Ombudsman menemukan penyimpangan prosedur sebab rapat harmonisasi Peraturan KPK pada 26 Januari 2021 diikuti oleh menteri dan pimpinan lembaga: Menkumham, MenpanRB, Ketua KPK, Ketua BKN, dan Ketus LAN. Padahal jika merujuk pada Permenkumham 23/2018, harmonisasi aturan internal cukup diikuti oleh pejabat setara kepala biro atau sekjen dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemkumham.
Ombudsman juga menemukan penyalahgunaan kewenangan, sebab kendati rapat harmonisasi tersebut diikuti menteri dan pimpinan lembaga, tetapi berita acaranya justru ditandatangani Kepala Biro Hukum KPK dan direktur pada Ditjen PP Kemenkumham.
Kemudian, dalam pelaksaan TWK Ombudsman menemukan malaadministrasi yang sangat serius, yakni dugaan manipulasi surat.
Pelanggaran Administrasi & Manipulasi Dokumen
Sebelum digelar KPK dan BKN semestinya menyusun kerangka kerja pelaksanaan TWK. Namun, sampai pada pelaksanaan pada 9 Maret 2021, belum ada kesepakatan kerangka kerja. Kerangka kerja itu baru ditandatangani oleh KPK dan BKN pada 8 April 2021 dan 26 April 2021, lebih dari sebulan pasca pelaksanaan TWK.
KPK dan BKN kemudian melakukan backdate atau pemunduran tanggal pelaksanaan menjadi 27 Januari 2021 dalam dokumen kerangka kerja. Dengan demikian, kerangka kerja dibuat seolah-olah itu tiga bulan sebelum TWK.
"Bisa dibayangkan kalau barangnya ditandatangani di bulan April, kegiatannya dilaksanakan di bulan Maret. Ini adalah apa namanya penyimpanan prosedur yang buat kami cukup serius dalam tata kelola administrasi suatu lembaga," kata Robert.
BKN pun ternyata tidak kompeten dalam melaksanakan TWK. Mereka tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan asesor. Alih-alih melapor kepada KPK selaku penyelenggara TWK, mereka justru menggunakan instrumen yang dimiliki oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat yang pelaksanaannya merujuk pada Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1078/XII/2016 tentang Penelitian Personel bagi PNS/TNI di Lingkungan TNI.
BKN pun tidak memiliki salinan keputusan itu, sehingga BKN tidak tahu kualifikasi dari asesor yang melaksanakan TWK, misal sertifikasi kompetensi maupun sertifikasi asesor.
Dengan demikian, BKN hanya menjadi observer dan asesmen TWK dilakukan oleh Dinas Psikologi AD, Badan Intelejen Strategis TNI, Pusintel AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Badan Intelejen Negara.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali