tirto.id - Kecewa. Itulah yang dirasakan para pegawai yang didepak Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Mereka dilucuti dari tugas menangani kasus korupsi sejak 7 Mei 2021 atas dalih tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Akal-akalan TWK ala Firli ini telah mengesampingkan integritas hingga prestasi pegawainya memberantas kejahatan luar biasa korupsi.
Dari daftar 75 pegawai KPK yang disingkirkan Firli, sepertiganya penyelidik dan penyidik KPK yang menjadi motor pemberantasan korupsi. Salah satunya Kasatgas Penyelidik KPK Harun Al Rasyid.
“Setelah TWK harusnya musim 'menuai'. Saya minta Firli mencabut TWK karena saya mau menangkap banyak orang,” ujar Harun kepada tim IndonesiaLeaks, konsorsium berbagai media termasuk Tirto di dalamnya, akhir Mei lalu.
Istilah “menanam” merujuk proses menjaring data di KPK. Sedangkan “menuai” merupakan proses penangkapan terhadap koruptor.
Hubungan kerja Harun dan Firli terbilang dekat. Terlebih saat Firli menjabat Deputi Penindakan KPK sejak April 2018. Namun, sebulan setelahnya, Firli melakukan pelanggaran etik berat karena bertemu mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi saat KPK mendalami kasus penyimpangan divestasi saham PT Newmont di NTB. Belum sampai dijatuhi sanksi, pada Juni 2019, Mabes Polri menarik kembali penugasan Firli dari KPK.
Harun yang melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Ini menjadi OTT perdana era Firli sebagai Deputi Penindakan KPK.
“OTT, OTT, kapan OTT?” kata Harun menirukan Firli yang saat itu meminta ada OTT.
“Masih menanam, Pak Ketua. Masak menuai terus,” jawab Harun.
Harun dijuluki oleh Firli dan rekan-rekannya sebagai "Raja OTT." Penyebabnya, pada 2018, terjadi peningkatan lebih dari 200 persen penindakan terhadap para koruptor. Bahkan Harun pernah menggelar tiga kali OTT beruntun dalam sepekan.
Berdasarkan data KPK, pada 2018 terjadi 260 kali penindakan terhadap para koruptor. Ini adalah musim memanen koruptor terbanyak KPK dengan angka 515 persen penindakan terhadap anggota DPR dan DPRD. Kemudian, selama tahun setelahnya hingga 2020, penindakan itu makin loyo. Pada 2019 hanya 154 penindakan; dan pada 2020, hanya 110 penindakan.
Selain Harun, salah satu pegawai KPK yang menonjol adalah Novel Baswedan. Dia pegawai KPK yang paling sering diterjang teror hingga kriminalisasi. Sebelum didepak Firli, Novel melakukan OTT terhadap dua menteri era Presiden Jokowi, yakni Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. Mereka adalah elite Partai Gerindra dan PDI Perjuangan.
Nama Novel melambung saat menangani kasus ‘kelas kakap’ pada 2011. Mulai suap Wisma Atlet dan menangkap Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, hingga membongkar korupsi simulator SIM Korlantas Polri dengan tersangka utama Kakorlantas Irjen Djoko Susilo.
Novel seperti pegas. Orang yang menginjaknya akan melenting, menerima akibat dari perbuatannya. Itu terbukti lewat penangkapan pelaku penyiraman air keras kepadanya pada 2017. Walau mata kiri Novel buta permanen akibat air keras itu, penangkapan koruptor terus menggelinding bak bola salju. Novel punya nyali besar terus menangkap koruptor.
“Berani itu tidak mengurangi umur, takut juga tidak menambah umur. Jadi, kita tidak boleh menyerah. Jangan memilih takut karena Anda akan menjadi orang yang tidak berguna,” begitu prinsip hidup Novel.
Dampak dari TWK terasa bagi tim Novel sebab mereka merintis penyidikan kasus mafia pajak yang melibatkan eks Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak, Angin Prayitno Aji. Pengembangan kasus pajak itu disebut akan mengkhawatirkan pimpinan KPK.
Afief Yulian Miftach, kasatgas penyidik pajak Prayitno Ajo, juga tidak lolos TWK. Bahkan Afief menjadi target telik sandi sebelum TWK. Agen Badan Intelijen Negara diduga mendatangi rumah Afief di Bekasi, Jawa Barat, untuk profiling atau pengumpulan data pribadi.
“Ini kemungkinannya saya di-profiling ada dua. Antara karena saya mau tes PNS atau karena saya menangani kasus sensitif [Angin Prayitno Aji]. Saya tidak tahu pastinya,” kata Afif kepada IndonesiaLeaks.
Hingga laporan ini dirilis, Juru Bicara BIN Wawan Hari Purwanto belum membalas permintaan klarifikasi terkait dugaan kedatangan agennya ke rumah pegawai KPK. Selain BIN, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Strategis TNI hingga Dinas Psikologi TNI-AD juga dilibatkan dalam TWK.
Dibuang karena Menolak Pelemahan KPK
Imbas TWK mengebiri satuan tugas pemburu buron tersangka korupsi. Semula tim bentukan Deputi Penindakan KPK Karyoto berjumlah 14 pegawai, tapi kemudian rontok tujuh orang karena tidak lulus TWK.
Salah satu agenda tim tersebut adalah memburu politikus PDIP Harun Masiku, tersangka suap Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan, yang buron sejak Januari 2020. Menurut sumber IndonesiaLeaks, Harun Masiku pernah dideteksi lari ke negara tetangga. Kemudian pada Mei lalu diduga berada di Indonesia.
Berdasarkan investigasi tim IndonesiaLeaks, pasal TWK di dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 diduga diselundupkan Firli menjelang pengesahannya. Dalih Firli menyingkirkan pegawai adalah “ada banyak ‘Taliban’ di KPK”.
Sebagian besar dari 75 pegawai dilabeli "merah" alias tidak memenuhi syarat TWK karena dua hal.
Pertama, mereka digolongkan ke dalam klaster yang menolak revisi UU KPK. Novel Baswedan bahkan menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi ketika uji materiil dan formil UU KPK pada akhir 2020.
Kemudian, klaster kedua terkait penolakan pada pertanyaan “mengakui tidak setuju dengan pimpinan KPK yang selalu mengintervensi setiap penyidikan, menolak kepemimpinan KPK, tidak setuju dengan pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Tidak setuju dengan kebijakan pimpinan KPK”.
“Jadi hasil resume 75 pegawai tidak ada menyebut tidak lolos karena terkait 'Taliban' atau radikalisme. Kawan-kawan yang tidak lolos hanya karena menjawab menolak pelemahan KPK dan tidak mau tunduk ke Firli,” kata sumber tim IndonesiaLeaks yang sudah melihat resume tersebut.
Pegawai yang disingkirkan Firli juga menangani kasus suap anggota Polri yang ditugaskan di KPK, yaitu Robin Pattuju.
Robin diduga menerima suap Rp1,3 miliar dari Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial agar kasus jual-beli jabatannya tidak diusut KPK. Kasus ini sempat menyinggung Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam berita acara pemeriksaan Robin dan Syahrial. Lili disebut mengetahui pemberian uang dari Syahrial ke Robin, tetapi Lili membantahnya.
Kasus ini diselidiki oleh dua satuan tugas. Di antara penyidik kasus tersebut yang didepak Firli adalah Ambarita Damanik, Aulia Posteira, Herbert Nababan, dan Rizka Anungnata.
Penyidik eks polisi seperti Budi Sukmo Wibowo juga terdepak. Wibowo pernah menjadi penyidik kasus rekening gendut Budi Gunawan yang kini Kepala BIN. Wibowo pula menjadi Kasatgas penyidik suap Bupati Muara Enim Ahmad Yani pada 2020 yang sempat menyinggung nama Firli.
Lewat perantara Elfin MZ Muchtar, pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Yani diduga telah menyiapkan uang untuk Firli saat Ketua KPK itu masih menjabat Kapolda Sumatera Selatan. Duit urung diserahkan karena Elfin ditangkap terlebih dahulu.
Juru Bicara KPK Ali Fikri membantah bahwa para pegawai yang didepak Firli akan memengaruhi penangan kasus di KPK. Menurutnya, kinerja KPK sama sekali tidak ditentukan orang per orang, melainkan tim yang terdiri beberapa pegawai KPK.
“Satgas dibentuk terdiri atas lima sampai enam orang. Bahkan dalam satu perkara bisa dua Satgas. Sehingga apabila ada anggota Satgas yang berhalangan, penanganan perkara maupun program-program kerja KPK lain tentu masih tetap berjalan,” klaim Ali.
Firli Bahuri menganggap 75 pegawai yang tak lolos TWK itu hanya 5,4 persen dari 1.351 pegawai KPK, yang diklaimnya tak akan menganggu pola kerja di KPK.
"Kami bekerja sesuai sistem," kata Firli kepada tim IndonesiaLeaks. "Kami bekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."
Akan tetapi, para pegawai KPK tidak percaya begitu saja. Kini Novel Baswedan dan para pegawai lain mengadukan berbagai kejanggalan soal TWK ke beberapa lembaga negara, meliputi Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga Ombudsman RI. Mereka menuntut keadilan karena menilai materi 'Tes Wawasan Kebangsaan', yang mengandung prasangka dan seksis dalam sesi wawancara proses peralihan status menjadi aparatur sipil negara, telah melanggar hak asasi manusia pegawai KPK.
=========
Laporan ini terselenggara berkat kolaborasi media meliputi Tirto, Tempo, Suara.com, Jaring.id, Independen.id, The Gecko Project, dan KBR yang tergabung dalam konsorsium IndonesiaLeaks.
Baca laporan lain IndonesiaLeaks tentang penghapusan barang bukti korupsi di internal KPK:
- Detik-Detik Perusakan Barang Bukti Buku Merah
- Teka-Teki Buku Merah: Antara Novel Baswedan, KPK, dan Pertemuan di Pattimura
Penulis: Indonesia Leaks
Editor: Indonesia Leaks