tirto.id - Lengan baju disingsingkan, tangan kanan mengepal, dimajukan ke udara seperti memukul langit. Dengan mulut menganga, pria yang berperawakan seperti Presiden Joko Widodo itu kemudian seperti berteriak, “Saya akan memperkuat KPK!!”
Di bawahnya, tangan kiri orang itu tengah mencekik leher pria lain yang memakai baju dengan simbol Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pose itu tampil dalam poster di media sosial dan ramai tersebar saat demonstrasi #ReformasiDikorupsi tahun 2019. Dari watermark yang ada, poster itu kemungkinan dibuat oleh ilustrator dengan akun Twitter @artipijar.
Pada tahun itu, DPR dan pemerintah merampungkan revisi UU KPK Nomor 19 tahun 2019. Revisi ini diperkirakan publik, seperti Koalisi Masyarakat Sipil dan Indonesia Corruption Watch (ICW), justru akan melemahkan KPK. Awal revisi ini adalah pembahasan di DPR tahun 2017.
Pada tahun yang sama, kasus korupsi pengadaan KTP elektronik juga terungkap ke publik. DPR menginginkan KPK boleh melakukan penyadapan dengan izin terlebih dahulu dan ada pembentukan Dewan Pengawas. Setelah revisi itu, ketakutan publik bahwa kinerja KPK akan melempem seakan-akan berlebihan.
Nyatanya, dua menteri dari partai mayoritas di parlemen ditangkap KPK. Pertama, penetapan tersangka suap perizinan tambak, Edhy Prabowo, pada 26 November 2020. Kader Partai Gerindra ini menempati posisi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP). Kedua, ada Juliari Peter Batubara pada 5 Desember 2020. Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini diduga menerima suap pengadaan paket bantuan sosial pandemi COVID-19.
Dalam aturan UU KPK yang baru, pegawai KPK statusnya harus berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Realisasinya dilakukan awal tahun 2021 dan hasil tesnya keluar pada awal Mei. Salah satunya bertajuk tes wawasan kebangsaan (TWK). Inilah yang membuat sebagian pegawai terancam pekerjaannya.
Dari 1.349 pegawai, ada 75 orang pegawai KPK yang ditetapkan tidak lolos TWK. Penyidik Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai Yudi Purnomo Harahap, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko, hingga Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Giri Suprapdiono tidak lolos dan kemungkinan akan dipecat.
Firli mengelak bahwa pemecatan bukanlah keputusan dari KPK melainkan isu yang beredar. Tapi nyatanya beberapa hari kemudian 75 orang itu "dinon-aktifkan" oleh Firli.
Orang-orang yang tidak lolos itu selama ini tidak pernah ada masalah dengan terorisme, korupsi, atau tindak pidana lainnya. Justru Novel pernah menjadi sasaran serangan polisi saat menangani kasus di KPK. Mereka yang tidak lolos, menurut mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, juga telah menangani kasus yang melibatkan nama Juliari dan Edhy.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti ICW berspekulasi bahwa ada sebab lain yang mengharuskan orang-orang di KPK mengikuti TWK. "ICW beranggapan ketidaklulusan sejumlah pegawai dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang sejak awal sebagai episode akhir untuk menghabisi dan membunuh KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Selasa (4/5/2021).
"Cicak" yang Bisa Menjadi "Buaya"
Isu pelemahan KPK bukan hanya kali, tapi sudah pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya, termasuk dalam masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kasus korupsi Bank Century, KPK sempat melakukan penyadapan Kabareskrim Mabes Polri Komjen. Susno Duadji tahun 2009 silam.
Susno yang mengaku tahu disadap lalu menjebak KPK dengan sengaja berpura-pura meminta uang sebesar Rp10 miliar yang didengarkan oleh penyidik KPK. Di tengah pengakuan Susno ini, polisi juga tengah memanggil Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah karena tuduhan penyalahgunaan wewenang penyadapan.
Dalam laporan majalah Tempo edisi 6 Juli 2009, Susno merasa tidak ada upaya untuk menghabisi KPK. Dia hanya ingin hukum ditegakkan secara merata.
“Kami sudah berupaya netral dan menjadi polisi profesional,” begitu kata Susno.
Susno juga menampik tudingan Polri bersaing dengan KPK karena kala itu 125 penyidik KPK berasal dari institusi Polri dan Kejaksaan. Namun ketika ditanyakan perihal kemungkinan KPK akan menangkapnya, Susno menujukkan keyakinan diri bahwa seolah-olah Polri lebih superior dari KPK.
“Mana berani dia [penyidik KPK] nangkap [saya]?” ucap Susno. “Cicak kok melawan buaya.”
Dari pernyataan Susno inilah KPK kemudian dikenal sebagai "cicak" dan Polri cum kejaksaan dikenal sebagai "buaya".
Berselang hampir 12 tahun setelah peristiwa cicak vs buaya itu, KPK menghadapi tantangan baru. Bukan lagi harus melawan buaya, tapi mereka berpeluang menjadi buaya itu sendiri.
Awal masalah mulai terlihat pada KPK periode 2014-2019. Saat itu nama Kapolri Jenderal Tito Karnavian diduga terlibat dalam kasus buku merah—sebutan buku milik pengusaha daging sapi Basuki Hariman yang di dalamnya tercantum sejumlah nama pejabat yang berkemungkinan menerima kiriman uang.
Namun halaman dalam buku ini dirusak oleh dua penyidik yang berasal dari Polri, Harun dan Roland Ronaldy. Dua orang ini kemudian kembali ke Polri. Bukan mendapat hukuman, mereka justru mendapat ganjaran naik jabatan.
Pada periode 2019-2024, DPR memilih pemimpin KPK yang baru. Dari 10 nama yang diajukan oleh panitia seleksi calon pimpinan KPK, DPR memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Padahal Firli punya rekam jejak yang kurang meyakinkan.
Dia setidaknya pernah terlibat tiga kali pelanggaran etik saat dahulu menjabat Deputi Penindakan KPK. Pertama, dia bertemu Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Machdi (Gubernur NTB) saat yang bersangkutan tengah diselidiki KPK terlibat dalam kasus korupsi. Kedua, Firli mengundang pejabat BPK yang berstatus saksi ke ruangannya. Ketiga, Firli bertemu ketua umum partai. Belakangan diketahui bahwa ketua umum partai yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri.
Laporan dari Transparency International Indonesia (TII) dan ICW menyebut penindakan dalam operasi tangkap tangan (OTT) di bawah kepemimpinan Firli sebenarnya menurun drastis. Dari 1 Januari – 15 Juni 2020, KPK hanya melakukan 2 kali tangkap tangan. Pada periode yang sama di tahun sebelumnya, setidaknya ada 7 OTT yang dilakukan KPK. Dalam lima tahun terakhir, tahun 2020 merupakan yang paling rendah jumlah OTT-nya.
Tidak hanya itu, dalam laporan ICW bertajuk "Pemantauan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Desember 2019-Juni 2020" (2020, PDF) juga memandang bahwa KPK di bawah Firli gemar melakukan guyon politik daripada mempertajam kinerja.
“Misalnya, di saat KPK sedang disorot tajam oleh masyarakat karena ketidakmampuan meringkus buronan, yang justru dilakukan oleh Komjen Firli Bahuri malah mengundang media untuk menunjukkan kemahirannya memasak nasi goreng,” catat laporan yang ditulis peneliti ICW Kurnia Ramadhana dan peneliti TII Alvin Nicola ini.
Bagi sebagian orang, memakai isu ada kelompok Taliban di dalam KPK dan tes kebangsaan hanya sekadar usaha menyingkirkan penyidik-penyidik yang berkualitas. Tidak ada kaitannya paham radikal dengan penindakan korupsi sejauh ini. Apalagi radikalisme punya institusi sendiri seperti BNPT atau Densus88 untuk melakukan penilaian.
"ICW beranggapan ketidaklulusan sejumlah pegawai dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang sejak awal sebagai episode akhir untuk menghabisi dan membunuh KPK," kata Kurnia.
Dan siapa yang diduga ICW menghabisi dan membunuh KPK? Tidak lain adalah Firli Bahuri.
Akal-akalan Firli Pakai Cap 'Taliban' & TWK untuk Pecat Pegawai KPK
Kepercayaan Rakyat Menurun
ICW dan TII sebagai kelompok eksternal pengawas KPK menanggap janji-janji pemerintah untuk memperkuat penegakan kasus korupsi justru melenceng dari yang seharusnya. Adanya UU KPK dan Dewan Pengawas dianggap memperlemah tindakan lembaga antirasuah.
Membuat lembaga anti-korupsi yang benar-benar independen memang tidak mudah. Berbagai negara punya masalah masing-masing, misalnya saja negara tetangga, Malaysia.
Mereka punya agensi untuk menangani korupsi dengan nama Malaysia Anti-Corruption Commission (MACC). Institusi itu pernah dijabat oleh politikus Partai Keadilan Rakyat (PKR) Latheefa Beebi Koya pada periode 2019-2020. Meski dia telah mengundurkan diri, dugaan konflik kepentingan tidak terhindarkan.
Namun salah satu yang menarik adalah banyaknya pengawas terhadap MACC. Jika di Indonesia hanya ada satu kelompok Dewan Pengawas (yang dianggap justru menyulitkan KPK), di Malaysia ada lima lembaga independen yang bertugas melakukan checks and balances untuk memastikan MACC bersikap independen dan transparan, yakni Anti-Corruption Advisory Board (ACAB), Special Committee on Corruption (SCC), Complaints Committee (CC), Operations Review Panel (ORP), dan Consultation and Corruption Prevention Panel (CCPP).
Anggotanya terdiri dari mantan pejabat pemerintah, politikus, pengacara, pengusaha, dan akademisi. Di Indonesia, lembaga resmi ini baru ada satu yakni Dewan Pengawas, itu pun banyak yang meragukan independensinya.
Padahal dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2019, KPK mendapat kepercayaan sebesar 84% dari 1.220 responden. Dia berhasil mengalahkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada presiden atau kepolisian.
Namun kepercayaan yang baik ini bukannya dijaga. Pemerintah dan DPR justru merestui revisi UU KPK dan menjadikan KPK sebagai lembaga yang tidak lagi dianggap independen, apalagi dengan lolosnya politikus PDIP Harun Masiku sejak awal 2020 sampai hari ini.
Dalam survei Indo Barometer tahun 2020, tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK menjadi 81,8%. Sekilas penurunannya tidak drastis, tapi KPK kalah dengan TNI, Presiden, dan organisasi agama. Padahal biasanya, KPK masuk dalam deretan tiga besar.
"Kami melihat ada upaya baru yaitu masuk lewat internal, mencoba mengkooptasi bahkan menguasai secara penuh KPK. Wujud luar (KPK) masih cicak, tapi di dalamnya sudah buaya, siapa pun buayanya itu," ucap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam diskusi virtual bersamat PUKAT UGM hari Kamis (6/5/2021).
Editor: Ivan Aulia Ahsan