tirto.id - Ombudsman RI menemukan sejumlah maladministrasi di seluruh tahapan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan bagian dari alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Maladministrasi itu didapati mulai dari proses pembentukan dasar hukum, pelaksanaan TWK, dan penetapan hasilnya.
"Nah tiga hal inilah yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi maladministrasi, dan secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaan kami, memang kami temukan," kata Ketua Ombudsman Mokhammad Najih di kantornya pada Rabu (21/7/2021).
Anggota Ombudsman yang mengurusi bidang kepegawaian, Robertus Na Endi Jaweng menjelaskan temuan Ombudsman terkait TWK.
Pada aspek pembentukan dasar hukum pelaksanaan TWK, yakni Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN ditemukan tiga maladministrasi.
Pertama, Ombudsman menemukan ayat 4 pasal 5 Perkom tersebut yang menyatakan pegawai KPK harus mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan adalah pasal sisipan. Sebab, ketentuan soal TWK sama sekali tidak dimuat dalam 5 rapat penyusunan aturan tersebut yang digelar sejak Agustus 2020.
Ketentuan itu baru dibahas pada 2 rapat internal terakhir, yakni 5 Januari 2021 membahas soal asesmen TWK dan 25 Januari 2021 membahas TWK dilaksanakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN.
Merujuk pada notulensi rapat tanggal 5 Januari itu, Ombudsman menyimpulkan kewajiban TWK adalah sisipan.
"Mengutip notulensi yang kami baca dari hasil rapat di tanggal 5 itu, munculnya klausul terkait mekanisme asesmen TWK ini adalah bentuk penyisipan, penyisipan ayat, pemunculan ayat baru yang itu munculnya di bulan-bulan terakhir proses ini," kata Robert secara virtual pada Rabu (21/7/2021).
Kedua, dalam rapat harmonisasi yang digelar pada 26 Januari 2021 pun Ombudsman menemukan kejanggalan. Jika membaca Permenkumham 23/2018, proses harmonisasi aturan internal cukup dikuti oleh pejabat pimpinan tinggi (JPT) setara kepala biro atau sekjen dan dipimpin oleh Direkur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham. Namun pada rapat harmonisasi hari itu, yang hadir adalah para menteri dan kepala lembaga: Menkumham, MenpanRB, Ketua KPK, Kepala BKN, dan Kepala LAN.
"Mungkin kalau harmonisasi untuk rancangan undang-undang yang akan dibawa ke DPR para pimpinan lembaga bisa saja kemudian hadir," kata Robert.
"Tapi ini adalah peraturan KPK," tegasnya.
Menjadi lebih janggal kala berita acara rapat itu dibuat, yang menandatangani justru Kepala Biro Hukum KPK dan direktur di Ditjen PP Kemenkumham yang notabene tidak menghadiri rapat tersebut.
Robert menilai, kehadiran para menteri dan pimpinan lembaga itu adalah penyimpangan prosedur, dan penandatanganan berita acara oleh kepala biro dan direktur yang tidak ikut dalam rapat adalah penyalahgunaan wewemang.
Maladministrasi ketiga dalam proses pembentukan Peraturan KPK 1/2021 adalah nihilnya penyerapan aspirasi pegawai KPK dalam penyusunannya. Peraturan KPK 12/2018 menyatakan pembentukan aturan iternal wajib memperhatikan aspirasi pegawai KPK. Untuk itu, draf rancangan aturan itu harus dipublikasikan di laman internal, tetapi di laman itu hanya ada rancangan Peraturan KPK 1/2020 versi November 2020. Dengan demikian pegawai tidak bisa mengikuti perkembangan dan menyampaikan aspirasinya.
Dalam aspek pelaksanaan TWK, Ombudsman menemukan setidaknya dua maladministrasi.
Pertama, sebelum digelar KPK dan BKN semestinya menyusun kerangka kerja yang akan menjadi protokol dalam pelaksanaannya. Namun, sampai pada pelaksanaannya pada 9 Maret 2021, kerangka kerja itu belum dibuat. Kerangka kerja itu baru ditandatangani oleh KPK dan BKN pada 8 April 2021 dan 26 April 2021, lebih dari sebulan pasca pelaksanaan TWK.
Sadar telah melakukan pelanggaran, KPK dan BKN memanipulasi surat itu dengan melakukan backdate, alias menulis surat itu ditandatangani pada 27 Januari 2021. Dengan demikian, seolah-olah kerangka kerja itu disusun 3 bulan sebelum TWK.
"Bisa dibayangkan kalau barangnya di tanda tangan di bulan April, kegiatannya dilaksanakan di bulan Maret, ini adalah apa namanya penyimpanan prosedur yang buat kami cukup serius dalam tata kelola administrasi suatu lembaga," kata Robert.
Kedua, kendati TWK digelar oleh KPK bekerja sama dengan BKN, nyatanya BKN tidak kompeten dalam melaksanakannya. Selama ini BKN hanya mengurus proses rekrutmen dari non-ASN menjadi ASN pekerjaan alih status dari pegawai tetap lembaga independen menjadi ASN adalah barang baru bagi mereka.
Alih-alih melaporkan hal ini kepada KPK selaku pelaksana TWK, BKN malah menggunakan instrumen yang dimiliki oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat yang pelaksanaannya merujuk pada Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1078/XII/2016 tentang Penelitian Personel bagi PNS/TNI di Lingkungan TNI.
BKN pun tidak memiliki salinan keputusan itu sehingga BKN tidak tahu kualifikasi dari asesor yang melaksanakan TWK, misal sertifikasi kompetensi maupun sertifikasi asesor.
Dari aspek tahapan penetapan hasil, Ombudsman berpendapat Surat Keputusan KPK Nomor 652 tahun 2021 yang menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos TWK, adalah bentuk maladministrasi.
Alasannya, putusan MK nomor 70/PUU-XVII/2019 terang menyatakan proses alih status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk menjadi ASN. Selain itu, Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tidak mengatur tentang konsekuensi jika pegawai tidak lulus TWK. Presiden pun sudah mengeluarkan pernyataan hasil TWK tidak boleh menjadi alasan pemecatan pegawai KPK.
"KPK telah melakukan tindakan maladministrasi berupa tidak patut menerbitkan SK karena bertentangan dengan putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 dan bentuk pengabaian KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif terhadap pernyataan presiden sebagai kepala pemerintahan," kata Robert.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto