Menuju konten utama

Kasus Suroto Bukti Jokowi Baru Bersikap Usai Viral Disorot Publik?

Dosen Komunikasi Massa Unair Suko Widodo melihat upaya Jokowi menangani kasus Suroto sebagai sinyal perubahan gaya komunikasi.

Kasus Suroto Bukti Jokowi Baru Bersikap Usai Viral Disorot Publik?
Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan pers tentang perkembangan terkini pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/8/2021). ANTARA FOTO/Biro Pers dan Media Setpres/Handout/wsj.

tirto.id - "Kalau ndak ada kamu yang membentangkan poster, saya ndak akan tahu kondisi di bawah karena laporan anak buahnya ndak nyampe ke atas."

Begitulah pernyataan Suroto, salah satu peternak dari Blitar, Jawa Timur usai bertemu Presiden Joko Widodo dan para menteri di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (15/9/2021). Suroto sempat menjadi buah bibir usai viral di media sosial karena menyampaikan aspirasinya ke Jokowi.

Suroto berani membentangkan poster bertuliskan "Pak Jokowi, bantu peternak beli jagung dengan harga wajar. Telur murah" ketika Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Blitar pada 9 September 2021. Gegara poster tersebut, Suroto sempat ditangkap polisi meski akhirnya dilepaskan.

Saat bertemu Jokowi, Suroto mengaku diundang ke Istana, Selasa (14/9/2021). Awalnya, ia tidak percaya dengan panggilan tersebut, tetapi hal itu ternyata benar terjadi. Begitu tiba di Istana dan bertemu Jokowi, ia langsung minta maaf ke mantan Wali kota Solo itu.

"Awalnya, saat bertemu, saya meminta maaf pada Pak Jokowi atas apa yang telah saya lakukan dengan membentangkan poster," kata Suroto. Namun, Suroto malah diapresiasi karena laporan soal nasibnya tidak sampai ke mejanya.

Suroto pun mengaku demo dengan poster sebagai aksi spontan. Ia mengatakan, spontanitas sendiri digagas dari para ketua asosiasi, ketua koperasi. Ia beralasan, para peternak mengalami kerugian saat produksi. Ia mencontohkan peternak telur produksi 100 telur saja masih merugi.

Ia bersama sejumlah pedagang yang tergabung dalam asosiasi pedagang dan koperasi setempat berusaha mencari solusi. Mereka sudah mencoba untuk koordinasi dengan dinas perdagangan, dinas pertanian setempat, minta audiensi, hearing sama Kementan, tapi yang menemui cuma dirjen PKH-nya.

"Makanya saya punya inisiatif. Kalau saya ndak nekat membentangkan poster, ini pasti ndak akan ditanggapi. Dalam artian, saya percaya ini ndak nyampe ke Pak Jokowi. Saya percaya satu-satunya orang di Indonesia pada saat ini yang bisa menolong peternak, ya hanya Pak Jokowi, itu saja," kata Suroto.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengaku Presiden Jokowi sudah memberikan 3 arahan untuk menyelesaikan keluh kesah Suroto. Salah satu cara terdekat adalah menormalisasi harga di sentra jagung untuk para peternak.

"Perintahnya kepada mendag dan menteri pertanian adalah melakukan langkah cepat minggu ini juga agar kebutuhan jagung khususnya di tiga tempat yang bersoal, Klaten, Blitar dan Lampung bisa tertangani dengan harga yang sangat normatif dan kalau perlu menggunakan subsidi-subsidi tertentu untuk tiga daerah sentra karena tiga daerah itu merupakan sentra peternakan," kata pria yang biasa disapa SYL di Istana Negara, Jakarta, Rabu kemarin.

Sementara itu, Menteri Perdagangan M. Luthfi mengaku pemerintah akan segera menormalisasi harga jagung sesuai keluhan Suroto. Pemerintah akan mengupayakan harga jagung tidak akan melebihi harga yang dipatok Kementerian Perdagangan. Ia menekankan stabilisasi harga unggas dan telur penting dilakukan karena berkaitan dengan program perbaikan gizi masyarakat.

Oleh karena itu, mantan Dubes RI untuk Amerika Serikat ini berharap agar solusi masalah perunggasan bisa segera diselesaikan setelah pemerintah mengeluarkan terobosan bersama antara Kemendag dan Kementan dalam kasus unggas dan telur dalam waktu dekat.

"Mudah-mudahan kita akan segera menyelesaikan pada akhir minggu ini dengan terobosan-terobosoan tentunya untuk terutama pakan bagi perunggasan," kata Luthfi.

Bukan Kali Pertama Jokowi Bersikap Usai Disorot Publik

Kejadian Jokowi bertindak setelah ada gerakan publik bukan kali pertama. Kasus yang hampir serupa adalah pemberian amnesti untuk Baiq Nuril, seorang tenaga honorer yang terjerat kasus UU ITE di NTB. Kala itu, ia dijerat Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Nuril mendapatkan tuduhan dugaan tindak pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan.

Nuril lantas menerima amnesti dari Jokowi setelah kasasinya kandas di Mahkamah Agung pada 2019. Ia menerima amnesti dari Jokowi dan langsung diajak bertemu mantan Wali kota Solo itu di Istana.

Kasus lain adalah soal impor beras pada awal 2021. Indonesia berusaha mengimpor beras hingga 1 juta ton. Rencana ini diambil dengan alasan untuk menjaga stok beras. Namun rencana itu akhirnya dibatalkan Jokowi dengan alasan selama stok terpenuhi.

Kasus lain adalah soal polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Sejumlah aktivis hingga organisasi masyarakat menyuarakan agar Jokowi bertindak dalam polemik TWK. Publik ingin ada keadilan terhadap 75 pegawai KPK yang dipecat akibat tidak lolos tes yang berisi muatan sensitif.

Setelah didesak-desak, Jokowi berbicara pada Senin (17/5/2021) meski tidak menyelesaikan masalah. Kini 56 pegawai komisi antirasuah itu benar-benar diberhentikan per 30 September 2021.

KUNJUNGAN KERJA PRESIDEN DI BLITAR

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono usai meninjau vaksinasi COVID-19 saat kunjungan kerjanya di Pelataran Parkir dan Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan (PIPP) Kota Blitar, Jawa Timur, Selasa (7/9/2021). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/rwa.

Komunikasi Massa Jokowi

Dosen Komunikasi Massa dan Politik Unair Suko Widodo melihat upaya menangani kasus Suroto sebagai sinyal perubahan gaya komunikasi mantan Wali kota Solo itu. Ia menilai, langkah tersebut juga sebagai upaya memperbaiki gaya komunikasi Jokowi saat ini yang lebih mengarah ke konsep promotif daripada komunikatif.

"Saya kira ini bagian dari perubahan Pak Jokowi dalam komunikasi publik ketika ada kritik-kritik, cara komunikasi yang jelek itu diubah dengan pola ini atau teori induktif namanya. Jadi mengambil peristiwa-peristiwa yang menarik, yang unik yang diambil," kata Suko kepada reporter Tirto, Rabu (15/9/2021).

Suko mengatakan, metode Jokowi justru membuktikan bahwa ada masalah di pemerintahan, mulai di level menteri hingga kabupaten kota. Dalam pandangan Suko, kejadian Suroto tidak perlu terjadi bila pemerintah daerah dan pejabat pusat yang ditunjuk Jokowi bisa bekerja benar.

Di sisi lain, situasi Suroto juga menjadi pukulan telak bagi lembaga pengawas maupun pengkajian kebijakan atau penelitian negara. DPR yang punya dana aspirasi malah tidak menyalurkan dengan baik aspirasi rakyat, sementara para menteri, gubernur, dinas provinsi, bupati/Walikota bahkan dinas level kabupaten kota tidak bisa menyelesaikan masalah yang seharusnya hanya ditangani level daerah.

"Ketika opini publik itu memang memiliki daya tekan luar biasa terhadap keputusan-keputusan pemimpin [... ] seharusnya tidak menunggu itu (menunggu tekanan dari opini publik). Seharusnya tidak menunggu rakyat kelaparan," kata Suko.

Suko berharap, Jokowi bisa terus melakukan pendekatan seperti dalam menangani kasus Suroto. Ia ingin agar Jokowi semakin sering mendengar suara rakyat dari perwakilan rakyat maupun asosiasi terus-menerus. Ia yakin hal itu bisa memperbaiki kepercayaan publik yang turun kepada Jokowi beberapa waktu ke belakang, apalagi jika diikuti solusi konkret yang berjalan.

"Pak Jokowi harus kita puji bahwa itu cara Pak Jokowi telah bisa memenuhi harapan rakyat, tapi bukan sekadar komunikasi bertemu tapi juga harus ada solusi atau jawaban atas keluhan unggas itu dan itu juga menjadi catatan bagi pejabat daerah agar memperhatikan rakyat kenapa harus presiden untuk perkara unggas saja?" kata Suko.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai Jokowi tengah bermanuver politik, bahkan menilai Jokowi cerdas dalam memanfaatkan propaganda politik. Ia melihat Jokowi berusaha membuat citra sebagai dekat dengan rakyat kerap melekat dengan aksi yang pro-rakyat.

"Jokowi memang ahli memainkan propaganda politis, terutama yang punya potensi meningkatkan simpati publik atas sikapnya yang seolah memperhatikan hal kecil dari rakyat kecil," kata Dedi kepada reporter Tirto.

Hal tersebut terlihat dalam kasus Jokowi bagi sembako, aksi blusukan dan sapa warga yang kerap dilakukan sejak berkarier politik. "Hanya saja semua sikap humanis itu kental muatan politis, sekadar membangun reputasi politik, karena faktanya tidak ada tindak lanjut dari aktifitas itu," kata Dedi.

Dedi tidak memungkiri aksi yang mirip dengan kasus Suroto terjadi saat kasus Baiq Nuril maupun kasus TWK. Jokowi akan bersikap ketika polemik di publik mulai mengarah ke politis. Namun tidak berarti semua sikap Jokowi berakhir dukungan simpati seperti metode yang digunakan dalam kasus Suroto.

"Sikap yang banyak diambil setelah polemik membesar, meneguhkan orientasi politis, Jokowi memanfaatkan keriuhan publik untuk mendulang simpati, tetapi kita bisa lihat, tidak sedikit pernyataan Jokowi atas kasus besar yang tidak miliki ketegasan pelaksanaan," kata Dedi.

Dedi pun tidak memungkiri metode pemberian penghargaan seperti label duta Pancasila bagi paskibra juga upaya mencari dukungan politik.

Pada kasus poster Suroto, Dedi melihat aksi Suroto tidak perlu terjadi jika Jokowi konsisten memenuhi kebutuhan rakyat kelas bawah. Bagi Dedi, kejadian Suroto terjadi karena Jokowi kerap kali menerima laporan yang tidak tepat, tetapi tidak direspons optimal dengan Jokowi. Hal tersebut merupakan anomali karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu kerap turun ke lapangan.

"Mustahil Jokowi tidak tahu selama itu. Bukankah dia yang klaim diri selalu turun ke bawah?" kata Dedi mempertanyakan.

Dedi lantas menilai langkah Jokowi dinilai upaya mencari dukungan atau tidak tinggal melihat realita di lapangan. Publik bisa melihat apakah pemerintah bekerja dengan berusaha mengendalikan harga kebutuhan ternak, termasuk pertanian, akan memihak pada masyarakat atau tidak.

"Komitmen peduli dan berupaya membela kelas masyarakat bawah, tidak harus langsung presiden yang menghadapi, justru dengan turun menangani secara langsung, terlebih hanya sekedar basa-basi, menunjukkan Jokowi gagal menghidupkan mesin pemerintah yang ada di daerah," kata Dedi.

Dedi menambahkan, "Presiden seharusnya mengumpulkan pejabat terkait, dari kementerian, pemprov, pemkab dan pemkot, juga tidak sekadar menunjuk Blitar, tetapi Indonesia. Demikianlah cakupan kerja presiden. Dengan begitu, hasilnya kebijakan, bukan sekadar mendengar keluh kesah, lalu menguap begitu popularitas dan simpati diperoleh."

Baca juga artikel terkait PETERNAK AYAM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz