tirto.id - Perbincangan suksesi kursi Panglima TNI jelang Marsekal TNI Hadi Tjahjanto pensiun pada 8 November 2021 semakin menghangat. Istana sebut surat presiden (Surpres) soal penunjukan panglima belum dikirim meski sejumlah politikus di DPR tekah bicara soal suksesi, bahkan menyebut salah satu kepala staf pasti jadi panglima.
"Sampai saat ini, memang surat presiden terkait penyelenggaraan fit and proper test memang belum ke DPR. Jadi bersabar saja, pasti segera dikirim," kata Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara Bidang Komunikasi dan Media Faldo Maldini dalam keterangan tertulis, Senin (13/9/2021).
Faldo mengatakan Jokowi akan memilih berdasarkan beragam aspek: kompetensi serta mampu menyelesaikan banyak persoalan seperti pandemi COVID, pengembangan SDM dan karier internal TNI, pengembangan alutsista hingga interoperabilitas 3 matra.
"Yang jelas, tidak mungkin posisi panglima kosong ketika Marsekal Hadi Tjahjanto memasuki masa pensiun," kata dia.
Kini, setidaknya ada 3 orang yang menjadi kandidat suksesi Hadi, yakni KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksmana Yudo Margono dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo. Dari ketiga kepala staf tersebut, dua yang digadang-gadang bersaing, yakni Andika dan Yudo.
Andika mendapatkan dukungan dari parlemen serta menantu AM Hendropriyono yang merupakan mantan Kepala BIN, mantan Ketua Umum PKPI --partai pendukung Jokowi--, serta dekat dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, tempat Jokowi berkairier politik. Sementara Yudo menjadi kandidat kuat karena "syarat bergiliran" yang diamanatkan dalam UU TNI sebab panglima saat ini berasal dari matra udara dan sebelumnya adalah angkatan darat.
Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kursi Panglima TNI ini seksi dan selalu diperebutkan?
Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam mengatakan, kursi Panglima TNI adalah kursi penting dalam politik Indonesia. Ia menilai, kursi tersebut bisa membuka karier seseorang di dunia politik nasional.
"Jabatan panglima TNI jelas seksi karena bisa menjadi gerbang untuk kekuasaan," kata Imam saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/9/2021).
Imam mengatakan, kursi Panglima TNI adalah jabatan tertinggi di TNI. Ia akan menjadi sorotan publik dan masuk dalam lingkaran elite kekuasaan. Hal tersebut, kata Imam, terbukti dengan sejumlah mantan Panglima TNI yang hidup di kekuasaan seperti Wiranto hingga Moeldoko.
Imam pun mengaku, kans untuk para mantan panglima menduduki jabatan seksi di pemerintahan tinggi, bahkan bisa menjadi kandidat capres/cawapres hingga membuat "kereta sendiri" dengan membentuk partai politik.
Sebagai catatan, tidak sedikit mantan Panglima TNI (sebelumnya Panglima ABRI) berhasil hidup di lingkaran kekuasaan usai pensiun. Nama Wiranto dan Moeldoko yang disebut Imam kini bertugas di pemerintahan Jokowi. Wiranto menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, sementara Moeldoko yang lebih muda menjadi Kepala Staf Kepresidenan. Wiranto di periode pertama Jokowi juga pernah menjabat sebagai menkopolhukam.
Sebelum era Jokowi, jauh lebih banyak. Di era Orde Baru, Soeharto sendiri yang sebelumnya Panglima ABRI menjadi presiden. Lalu, Jenderal (purn) Maraden Panggabean yang menjadi Menhan di Kabinet Pembangunan II dan Menkopolhukam di kabinet pembangunan III, Jenderal (purn) Try Sutrisno yang menjadi Wapres RI, dan beberapa panglima yang juga duduk di kursi pemerintahan.
Di era SBY pun tercatat sejumlah nama, misalnya ada Marsekal (purn) Djoko Suyanto yang sempat menjadi Menkopolhukam pada 2009, tidak lama setelah pensiun pada 2007.
Imam tidak memungkiri, Hadi Tjahjanto pun bisa mengikuti para seniornya untuk hidup dalam politik praktis dan mendapat jabatan di pemerintahan Jokowi, bila melihat kapasitas meski dukungan politiknya rendah.
"Ke mana Panglima TNI Marsekal Hadi pasca pensiun? Setelah pensiun Pak Hadi kembali jadi sipil sehingga bisa masuk di politik praktis, atau bahkan langsung diajak Presiden Jokowi di pos-pos strategis lain," kata Imam.
Peneliti dan analis militer Aris Santoso mengatakan, TNI masih mempengaruhi pemerintahan meski sudah dipisahkan dari politik pemerintahan. Hal tersebut, kata Aris, terjadi karena ada sekelompok warga yang kecewa dengan sistem pemerintahan yang dikelola sipil setelah reformasi berjalan.
Di sisi lain, sejumlah organisasi sipil masih bergenit-genit dengan militer. Ia mencontohkan bagaimana orang partai politik masih ada yang senang berfoto dengan pejabat militer. Dari simbol tersebut menandakan bahwa sipil masih butuh peran militer sebagai "pelindung" atau "backup" politik. Contoh lain adalah bagaimana para pejabat tidak banyak yang "serius" mengkritik isu atau masalah TNI.
Panglima TNI sebagai pemimpin tertinggi memegang peran sebagai orang dekat presiden dalam mengontrol militer. Oleh karena itu, pemilihan Panglima TNI tidak lepas dari dekat-tidaknya prajurit tersebut dengan presiden dalam mengamankan agenda presiden, baik saat nanti jadi panglima atau sudah pensiun.
"Kenapa mantan panglima selalu moncer? Pertama, ya itu syarat dia harus [memiliki] kedekatan dengan presiden menjabat. Yang kedua bahwa sejatinya secara politik TNI itu masih kuat. Gak bisa. Semua keputusan-keputusan penting tidak mungkin meskipun yang maaf-maaf kata, gak ada keterkaitan dengan tentara," kata Aris kepada reporter Tirto, Selasa (14/9/2021).
Aris mengatakan, contoh pentingnya chemistry terlihat dalam kasus Gatot Nurmantyo. Ia melihat Jokowi dan Gatot tidak memiliki chemistry kuat sehingga akhirnya "di luar pemerintahan." Gatot pun berusaha menjadi kandidat capres/cawapres, tetapi tidak cukup kuat.
Aris menjelaskan bahwa Jokowi punya kecenderungan untuk tidak mau mengutik banyak soal TNI. Ia mencontohkan penambahan jabatan jenderal di lingkungan TNI yang berlangsung di era Jokowi.
Ia melihat, Jokowi mencari orang berbasis kedekatan. Hal tersebut terlihat dengan munculnya istilah "Solo Connection" seperti Hadi yang pernah aktif di Danlanud Adi Sumarno, Solo.
Contoh lain adalah penunjukan Doni Monardo, yang merupakan bekas ajudan SBY sebagai Kepala BNPB. Aris menilai, Jokowi punya chemistry untuk bekerja dengan Doni dan melihat kinerja mantan Danjen Kopassus itu sehingga dapat jabatan sebagai kepala BNPB.
"Jadi artinya gini, pertama dia harus satu paket dengan presiden, yang kedua yang sebenarnya lebih genuine esensinya bahwa mereka itu masih kuat. Secara power masih kuat. Ya secara kasar dia punya senjata, tapi secara power dia punya politik. Hard power dia punya, tapi soft power politik masih kuat. Dia punya posisi tawar kuat," kata Aris.
Kursi Panglima Jadi Bantalan untuk Jabatan Politis Masa Depan?
Aris dan Imam sepakat bahwa pemilihan Panglima TNI kali ini akan membuat kedua kandidat bisa mendapatkan posisi strategis usai berkarier di TNI. Malah, mereka meyakini bahwa Andika bisa menjadi kandidat potensial sebagai bakal calon presiden atau calon wakil presiden.
Aris mengaku, para mantan Panglima TNI bisa duduk di jabatan politik, tetapi ada sebuah tantangan besar saat ini untuk seorang panglima berkarier politik hingga level presiden/wakil presiden. Salah satu ganjalan terbesar adalah soal partai politik.
Ia mencontohkan Luhut B. Pandjaitan sebagai salah satu jenderal cerdas di militer tidak bisa menjadi presiden maupun wakil presiden. Selain itu, ada juga nama Endriartono Sutanto maupun Djoko Suyanto yang akhirnya tidak dapat apa-apa secara politik.
Akan tetapi, Aris tidak memungkiri Andika bisa punya karier politik moncer, bahkan menjadi capres-cawapres 2024 di masa depan jika menjadi Panglima TNI. "Mungkin dan makanya bahwa dia mau jadi Panglima TNI sebagai supaya publik mengenal dia, masyarakat kenal dia," kata Aris.
Sebagai catatan, kedua kandidat terkuat panglima saat ini, Yudo dan Andika akan selesai masa jabatan sebelum periode pemerintahan kedua Jokowi berakhir. Andika akan masuk 58 tahun atau masa pensiun pada 21 Desember 2022 sementara Yudo pada 26 November 2023.
Namun, Aris melihat ada tantangan besar bila Andika mau menjadi capres/cawapres. Salah satunya adalah soal partai politik karena partai mertuanya, AM Hendropriyono bukan partai yang lolos parlemen.
Meski begitu, ia melihat upaya Andika berkomunikasi dengan partai lain seperti PDIP lewat Megawati maupun Prabowo di Partai Gerindra sebagai sinyal kuat. Ia pun tidak memungkiri Andika bisa menyaingi Gatot Nurmantyo atau Moeldoko sebagai kandidat capres/cawapres masa depan dari militer.
Sementara itu, Imam melihat kedua kandidat baik Andika maupun Yudo akan mendapatkan jabatan usai pensiun. Ia menduga, mereka bisa menjadi dubes hingga menteri. Namun, Imam melihat Andika punya potensi untuk menjadi kandidat capres/cawapres seandainya lolos jadi panglima.
"Kalau Andika terpilih jadi Panglima TNI, pasca pensiun mulai saat ini memang beberapa pihak telah mewacanakan jadi capres atau cawapres," kata Imam.
Namun, Imam mengaku masih perlu faktor-faktor lain bila Andika jadi capres/cawapres setelah menjadi panglima. Pertama, perlu melihat kinerja Andika sebagai capres/cawapres. Kedua, elektabilitas sebagai kandidat dan terakhir dukungan parpol. Ia melihat Andika sudah punya modal dengan membangun komunikasi kepada petinggi parpol seperti Megawati maupun Prabowo.
"Saya kira modal itu ada, terlepas besar atau kecil. Setidaknya memiliki modal popular dan dekat dengan lingkaran elite politik. Ini tentu baru modal potensial sehingga masih bersifat dinamis," kata Imam.
Oleh karena itu, sikap Jokowi dalam pemilihan kandidat panglima saat ini perlu mempertimbangkan banyak hal. Namun, ia meminta Jokowi fokus pada upaya pengembangan TNI yang profesional, apalagi pemilihan panglima berbasis prerogratif presiden.
"Sikap Jokowi yang paling utama adalah bagaimana membangun TNI profesional meski kemudian ada variabel politik," kata Imam.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz