tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi membentuk Badan Pangan Nasional (BPN) setelah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional per tanggal 29 Juli 2021 lalu. Namun, Presiden Joko Widodo belum menunjuk kepala badan yang dinilai sangat strategis ini.
Badan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada presiden ini mempunyai tugas melaksanakan kebijakan pemerintahan di bidang pangan. Badan ini bertugas untuk koordinasi, penetapan kebijakan dan ketersediaan pangan, stabilisasi harga dan pasokan pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan dan penyaluran cadangan pangan, pelaksana pengendalian kerawanan pangan, pembenihan hingga bimbingan teknis dan supervisi atas pangan.
Setidaknya ada 9 pangan yang menjadi lingkup pemantauan, tugas dan fungsi dari Badan Pangan Nasional, yakni: beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. Kewenangan pun bisa bertambah sesuai ketetapan Presiden Jokowi.
Staf Khusus bidang Komunikasi Presiden Jokowi Fadjroel Rachman belum memastikan kapan kepala BPN akan dilantik. Ia pun tidak memastikan apakah jabatan tersebut akan diisi profesional atau politikus.
Fadjroel hanya memastikan Jokowi akan memilih kepala BPN sesuai ketentuan Perpres 66 tahun 2021 dan cakap dalam memimpin badan ini. "Pasti putra putri terbaik," kata Fadjroel saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (3/9/2021).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kepala BPN harus memiliki sejumlah kriteria. Pertama, kepala BPN harus mampu berkomunikasi dengan baik karena merupakan mitra kerja Kementerian Pertanian dan BUMN pangan seperti Bulog.
"Memang harus punya track record yang cukup panjang di bidang pertanian karena ini adalah lembaga yang harusnya superpower," kata Bhima kepada reporter Tirto.
Kedua, Bhima memandang kepala BPN harus berintegritas. Ia beralasan, lembaga superpower ini akan mengatur sektor pangan krusial. Kepala BPN ke depan akan menghadapi para mafia pangan ketika berupaya menstabilkan harga pangan. Integritas juga penting agar pemimpin badan ini tidak terikat dengan kepentingan politik tertentu.
"Jadi bagaimana dia punya integritas dan bisa menjaga jarak khususnya dari kepentingan-kepentingan jangka pendek terlebih menjelang tahun politik, biasanya impor pangan itu naiknya cukup signifikan seperti tahun 2018 itu, kan, ada impor beras lebih dari 1 juta ton waktu itu," kata Bhima.
Impor beras 2018 merupakan yang terbesar di era Jokowi. Berdasarkan data BPS, impor beras sepanjang 2018 mencapai 2,25 juta ton dengan nilai 1,03 miliar dolar AS. Sementara pada 2015 total impor beras sebanyak 861,60 ribu ton dengan nilai 351,60 juta dolar AS. Pada 2016 sebanyak 1,28 juta ton dengan nilai 531,84 juta dolar AS. Pada 2017 sebanyak 305,27 ribu ton dengan nilai 143,64 juta dolar AS.
Setelah itu, pemerintah baru berencana untuk impor lagi pada awal 2021, tetapi akhirnya ditunda hingga Juni 2021. Hingga saat ini, keputusan impor 2021 masih belum jelas.
Karena itu, Bhima menilai kehadiran BPN penting di masa depan. Hal tersebut tidak terlepas dari urgensi pangan di masa depan. Apalagi, kata dia, pandemi COVID telah menyadarkan banyak pihak soal dampak gangguan di sektor pangan yang memengaruhi sektor lain seperti ekonomi, kemiskinan hingga daya beli.
Selain itu, inflasi pangan meningkat tajam. Hal ini lantas berimbas kepada barang-barang impor lain seperti daging sapi, kedelai hingga gandum. Bhima khawatir, perubahan kurs akan memicu permasalahan pangan dalam negeri.
Permasalahan pangan selain soal impor adalah perbaikan rantai pasok distribusi. Saat ini, rantai pasok distribusi hingga ke level konsumen masih panjang, kata Bhima. Permasalahan itu harus diselesaikan lewat BPN mengingat hal itu berkaitan dengan stabilitas harga pangan karena rantai pasok pangan Indonesia melewati 5-7 rantai distribusi dengan masing-masing mengambil margin keuntungan.
"Makanya ini yang harus diselesaikan juga oleh badan pangan bagaimana stabilitas harga itu bisa tercipta kalau distribusinya semakin pendek rantainya. Itu juga jadi satu PR," kata Bhima.
PR lain adalah soal data pangan yang masih konflik seperti perbedaan data pangan di Kemendag dan Kementan. Lalu, masalah baru akibat pandemi adalah mulai banyak masyarakat yang melakukan ruralisasi sebagai imbas berkurangnya pekerjaan di kota-kota besar.
Hal ini bisa menjadi solusi permasalahan krisis petani yang mayoritas berumur di atas 45 tahun. Pengarahan para tenaga muda ke sektor pertanian ini harus diikuti dengan pemanfaatan teknologi yang tepat guna agar para warga perkotaan yang di-PHK berminat ke sektor pangan.
Karena itu, Bhima menilai agar kepala BPN diisi oleh kalangan profesional murni, bukan tokoh partai politik. Namun, ia memahami ada tantangan besar bila Badan Pangan Nasional dipimpin oleh profesional non-parpol.
"Kalau hanya profesional, ketika dia tidak bisa merangkul menteri-menteri yang justru berlatar belakang politik juga merepotkan. Jadi memang idealnya profesional ya, tapi tidak menutup kemungkinan yang penting kriteria tadi integritas dan lain-lain itu dijaga," kata Bhima.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai BPN sebaiknya dipimpin oleh profesional murni. Ia beralasan, badan ini perlu dipegang profesional bila Jokowi ingin menggapai tujuan dan agenda di bidang pangan.
"Selayaknya sebuah badan mandiri, jangan ada politisi atau yang miliki catatan kedekatan dengan politisi," kata Dedi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (3/9/2021).
Bagi Dedi, pembentukan BPN adalah sinyal kuat bahwa sektor pertanian di era Jokowi gagal selama 7 tahun terakhir. Selain itu, Jokowi juga dinilai gagal dalam menciptakan efisiensi di pemerintahannya akibat pembentukan badan baru ini.
Meski ditangkap negatif, kata dia, badan ini tetap sebaiknya dipimpin oleh orang berintegritas dan non-parpol. Ia mencontohkan kasus food estate yang dipegang politikus, yakni Menhan Prabowo Subianto yang belum optimal.
Ia juga mengingatkan kriteria kepala BPN harus paham dunia sains karena gagasan lumbung pangan nasional sudah pernah dicanangkan Presiden Soeharto, tetapi tidak berhasil akibat tidak dibangun berbasis rujukan sains.
Dosen Universitas Telkom ini juga tidak ingin BPN dipimpin tokoh politik karena ia khawatir menjadi ajang baru untuk kepentingan kelompok. "Jaringan politisi terlalu luas, jangan sampai badan ini menjadi arena baru untuk panggung politik, bukan lumbung pangan untuk masyarakat luas," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz