Menuju konten utama

Skandal Minyakita & Sengkarut Korupsi Pangan yang Rugikan Rakyat

Untuk mengurangi potensi kecurangan, pemerintah harus memotong rantai distribusi panjang Minyakita dan komoditas pangan lainnya.

Skandal Minyakita & Sengkarut Korupsi Pangan yang Rugikan Rakyat
Petugas Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat menyiapkan barang bukti minyak goreng kemasan merek MinyaKita saat konferensi pers kasus pengurangan takaran MinyaKita di Polda Jabar, Bandung, Jawa Barat, Senin (10/3/2025). Polda Jabar berhasil mengamankan sebanyak 2.520 botol kosong tanpa merek, 449 dus berisi 12 botol minyak goreng merek MinyaKita dan dua unit dispenser meja serta beberapa barang bukti lainnya dari seorang tersangka asal Kabupaten Subang atas kasus pengurangan takaran MinyaKita dari 1 liter menjadi 750 mililiter yang tidak sesuai dengan ketetapan SNI dan tidak memiliki izin edar. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.

tirto.id - Publik digegerkan oleh temuan volume Minyakita yang tidak sesuai takaran yang tercantum di kemasan belakangan ini. Fakta tersebut pertama kali diungkap melalui video yang diunggah warganet. Video yang lantas viral tersebut, langsung ditindaklanjuti Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman.

Saat melakukan inspeksi dadakan (sidak) di Pasar Jaya Lenteng Agung, Jakarta Selatan, ia menemukan ada Minyakita yang hanya berisi 750-800 mililiter, alih-alih 1.000 mililiter atau 1 liter sesuai yang tercantum pada kemasan.

Usut punya usut, kecurangan dilakukan oleh tiga produsen Minyakita, yaitu PT Artha Eka Global Asia (AEGA) yang beroperasi di Depok dan dan Koperasi Produsen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kelompok Terpadu Nusantara (KTN) asal Kudus. Keduanya memproduksi Minyakita dengan kemasan 1 liter. Kemudian, ada pula Minyakita kemasan pouch atau bantal ukuran 2 L yang diproduksi PT Tunas Agro Indolestari (TI) dari Tangerang.

“Ini merupakan pelanggaran serius. Minyakita yang seharusnya berisi 1 liter, ternyata hanya memiliki volume 750-800 mililiter,” kata Amran, kepada awak media, Sabtu (8/3/2025).

Melalui keterangan resminya, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (Kemendag), Moga Simatupang, menjelaskan bahwa bahan baku Minyakita yang terindikasi dicurangi diduga menggunakan minyak goreng non-DMO ((Domestic Market Obligation). Harga bahan baku yang lebih tinggi tersebut membuat produsen memilih untuk mengurangi volume Minyakita untuk menutupi biaya produksi dan bahan baku.

Selain itu, produsen tersebut juga menaikkan harga jual, sehingga harga eceran tertinggi (HET) di tingkat konsumen yang senilai Rp15.700 per liter tidak akan tercapai.

Repacker (produsen) tersebut melakukan modus pelanggaran karena memanfaatkan momen saat minyak goreng Minyakita sangat diminati konsumen, khususnya momen Ramadhan dan Idulfitri 2025,” kata Moga, dikutip Selasa (11/3/2025).

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, menilai, kasus korupsi Minyakita ini berdampak signifikan terhadap sistem pangan di tingkat konsumen. Sebab, dengan pengurangan volume Minyakita, masyarakat telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan haknya secara penuh. Dalam hal ini, dengan harga rata-rata Minyakita saat ini mencapai Rp18.000 atau jauh lebih tinggi dari HET, masyarakat hanya mendapatkan Minyak Goreng Kemasan Rakyat (MGKR) tersebut tak sampai 1 liter, hanya 750-800 mililiter saja.

Di sisi lain, HET Minyakita dipatok sebesar Rp15.700 di level konsumen karena didukung oleh subsidi dari pemerintah. Seiring dengan adanya manipulasi volume oleh produsen Minyakita, jelas memberikan kerugian bagi masyarakat sebagai penerima subsidi dan pemerintah selaku pemberi subsidi.

“Dengan perilaku seperti itu, yang dilakukan oleh para produsen maupun pelaku rantai pangan, saya kira kerugiannya ada di kita semua. Tidak hanya di konsumen, tapi juga ada di sisi masyarakat luas,” jelas dia, kepada Tirto, Selasa (11/3/2025).

Sayangnya, manipulasi tak cuma terjadi pada produksi atau pengemasan Minyakita saja. Beberapa hari ini senter pula kabar soal dugaan manipulasi laporan keuangan PT Pupuk Indonesia (Persero) yang berpotensi merugikan negara hingga Rp8,3 triliun. Meski dugaan tersebut langsung ditepis manajemen.

Rilis tindak pidana perlindungan konsumen Minyakita

Petugas merapihkan barang bukti Minyakita usai konferensi pers terkait produk minyak goreng Minyakita isi tidak sesuai kemasan di Lobby Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (11/3/2025). Bareskrim Polri melalui Satgas Pangan mengungkap kasus minyak goreng Minyakita yang takarannya tidak sesuai dengan label yang ada pada kemasan dengan menyita barang bukti 450 dus kemasan pouch, 180 kemasan pouch bag, 250 krat kemasan botol, mesin pengisi, dan timbangan. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.

Namun, terlepas dari itu masih banyak temuan penyelewengan pengadaan maupun distribusi pupuk bersubsidi. Seperti yang terjadi di Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu, Riau, pada Desember 2024.

Pada kasus tersebut, Kejaksaan Negeri (Kejari) Rokan Hulu menetapkan enam tersangka atas dugaan perkara tindak pidana korupsi penyimpangan penyaluran pupuk subsidi yang merugikan negara hingga Rp24,53 miliar.

“Dengan berbagai kasus tersebut, kita bisa melihat bahwa dengan sangat mudahnya masyarakat dipermainkan untuk mencari keuntungan kelompok-kelompok tertentu. Dengan manipulasi ini, kita bisa melihat bahwa hak dasar orang atau masyarakat itu jadi sangat kecil dan mudah banget dipermainkan,” kata Said.

Padahal, sejatinya kita ada dan bernegara untuk memastikan bahwa masyarakat terlindungi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengatur soal perlindungan keamanan pangan masyarakat Indonesia. Berdasar beleid ini pula, para pihak yang melakukan kecurangan jelas telah melanggar UU. Parahnya, mereka juga telah mencederai hak asasi manusia (HAM), karena pangan merupakan salah satu bagian darinya.

Di sisi lain, manipulasi-manipulasi yang dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pihak-pihak yang terlibat dan juga masyarakat. Banyaknya kasus korupsi, manipulasi, maupun penyelewengan yang terjadi di sektor pangan menjadi cerminan bahwa sistem pangan yang kita punya tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja.

“Sistem pangan ini kan terdiri dari banyak subsistem, misalnya produksi, distribusi, konsumsi, sampai pengelolaan limbah. Kasus-kasus seperti itu kan menunjukkan bahwa proses di distribusi dan pemasaran itu tidak sehat, ya. Karena ada praktik kecurangan-kecurangan itu,” kata Said.

Said menambahkan, banyak sekali praktik-praktik kecurangan yang terjadi di sektor pangan, tak hanya pengurangan timbangan, melainkan juga termasuk penimbunan maupun monopoli terhadap satu komoditas pangan tertentu. Karenanya, untuk mengatasi praktik-praktik kotor tersebut sudah barang tentu sanksi hukum perlu lebih ditegakkan. Pada yang sama, pengawasan oleh lembaga eksekutif dan legislatif, serta pelibatan masyarakat secara luas juga perlu ditingkatkan.

“Ada banyak instrumen yang bisa kita pakai untuk pelibatan masyarakat. Misalnya melalui proses edukasi dan penyediaan saluran pengaduan atau pelaporan. Selain kayak yang sidak dan seterusnya. Itu jadi satu hal yang penting dilakukan,” kata dia.

Pada saat yang sama, pemerintah juga mesti memperkuat literasi pangan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan karena masyarakat memiliki hak untuk mencium adanya kecurangan yang berpotensi menghilangkan hak mereka atas pangan.

“Kalau ada pelanggaran terhadap hak mereka atas pangan kan bisa melapor. Terutama sebagai konsumen. Di sisi lain pemerintah perlu melihat ulang kerangka transformasi sistem pangan nasional. Dan itu harus segera dikuatkan dan diimplementasikan, mulai dari sistem produksi, distribusi,” tegas Said.

Kasus Takaran MinyaKita tidak sesuai

Kasubdit Industri Perdagangan (Indah) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, AKBP Anggi Saputra (kiri) saat melakukan sidak takaran MinyaKita di Pasar Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025). ANTARA/HO-Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai ketika pengawasan negara lemah, pihak-pihak tak bertanggung jawab akan dengan mudah memanfaatkannya demi keuntungannya sendiri. Praktik ini semakin memburuk dengan lemahnya tindakan hukum oleh aparat penegak hukum (APH).

Fakta bahwa ada produsen Minyakita yang beroperasi tanpa izin edar atau SNI adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah. “Ketidakhadiran negara dalam mengontrol rantai pasok minyak goreng rakyat menjadi penyebab utama mengapa kecurangan semacam ini bisa tumbuh subur,” ujar Achmad, saat dihubungi Tirto, Selasa (11/3/2025).

Sementara jika ditelisik lebih jauh, maka persoalan Minyakita adalah cermin dari tata kelola pangan nasional yang rapuh. Komoditas yang merupakan program MGKR ini seharusnya hadir sebagai jaring pengaman sosial dalam sektor pangan, memastikan rakyat kecil bisa memperoleh minyak goreng berkualitas dengan harga murah.

Sayang, desain distribusi yang kompleks dan tidak efisien menjadi persoalan serius. Alih-alih mendistribusikan langsung ke pasar rakyat atau koperasi konsumen, Minyakita banyak dikendalikan oleh tangan-tangan swasta yang tidak seluruhnya berpihak kepada rakyat.

Pada saat yang sama, distribusi Minyakita yang tidak didasarkan pada data distribusi riil menyebabkan produk ini sulit diawasi. Pun, minimnya integrasi sistem informasi logistik minyak goreng membuat distribusi tidak transparan dan sulit dilacak.

“Pemerintah gagal memastikan bahwa Minyakita sampai kepada sasaran yang tepat,” kata Achmad.

Belum lagi, kebijakan penetapan HET yang kaku dan tidak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan biaya produksi. Tak heran jika kemudian muncul fenomena ‘menyelamatkan bisnis’ yang dilakukan oleh para produsen Minyakita, dengan mengorbankan konsumen.

Alih-alih berbenah, pasokan Minyakita yang sebagian besar masih diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar memperlihatkan adanya ketimpangan antarpelaku usaha. Pengusaha besar dengan kapasitas produksi jumbo dan bermodal besar memilih abai, meninggalkan produsen dari kelas Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tertatih dengan tingginya biaya produksi Minyakita.

“Pelaku kecil yang sebenarnya dapat digandeng untuk produksi berbasis koperasi tidak diberdayakan optimal. Inilah cerminan ketimpangan sistemik yang perlu dikoreksi,” imbuhnya.

Mulai dari Minyakita, pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam terhadap HET komoditas tersebut. Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan agar realistis. Namun, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada konsumen atau pelaku usaha mikro agar mereka tetap memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen.

Untuk mengurangi potensi kecurangan, pemerintah juga harus memotong rantai distribusi panjang Minyakita maupun komoditas pangan lainnya. Seharusnya, komoditas pangan apalagi yang berbentuk subsidi didistribusikan melalui saluran resmi dan dikontrol negara, seperti Bulog, koperasi, atau pasar rakyat yang diawasi langsung oleh Satgas Pangan. Tak kalah penting, sebagai bentuk transparansi dan agar komoditas pangan disalurkan secara tepat sasaran, sistem distribusi harus berbasis teknologi, dengan digitalisasi logistik dan pelacakan stok secara real-time.

“Hal ini akan memastikan bahwa dari produsen hingga konsumen, aliran barang dan harga bisa dipantau dengan baik,” kata dia.

Achmad menegaskan, kecurangan dalam penyediaan pangan rakyat tidak bisa ditoleransi. Sehingga, APH, khususnya Satgas Pangan perlu diberikan kewenangan lebih luas dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan ketat di seluruh wilayah distribusi Minyakita maupun komoditas pangan lainnya.

Sementara untuk menghilangkan ketimpangan antarpelaku usaha, penguatan kapasitas produksi Minyakita yang berbasis koperasi atau usaha mikro perlu dilakukan. Negara harus mendorong pelibatan koperasi dan UMKM dalam produksi minyak goreng rakyat, agar distribusi tidak dimonopoli segelintir perusahaan besar. Keterlibatan koperasi juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga harga stabil sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat.

“(Kemudian) pemerintah harus membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data. Masyarakat harus dapat dengan mudah melaporkan praktik kecurangan di pasar dan mendapatkan respons cepat. Transparansi harga dan volume Minyakita di pasar harus menjadi informasi publik yang bisa diakses semua orang. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang bisa memperkuat pengawasan negara,” papar Achmad.

Pada akhirnya, Minyakita maupun komoditas pangan lainnya yang disertai subsidi adalah hak publik. Dus, Achmad melihat kegagalan negara dalam menjaga kualitas, kuantitas, dan harga minyak goreng rakyat berarti pengkhianatan terhadap tanggung jawab konstitusional untuk menjamin pangan rakyat.

“Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka dampaknya bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga kerusakan kepercayaan publik terhadap negara. Oleh karena itu, pembenahan Minyakita adalah ujian nyata keberpihakan negara pada rakyatnya,” tukasnya.

Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag, Moga Simatupang, mengungkapkan, sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan kecurangan akan diberikan bertahap sesuai dengan jenis kecurangan yang dilakukan, mulai dari teguran tertulis, penarikan barang dari distribusi, penghentian sementara kegiatan berusaha, penutupan gudang, denda, dan/atau pencabutan perizinan berusaha.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan 18 tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat.

“Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana untuk pelaku usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi. Adapun terkait sanksi kami terus berkoordinasi dengan Bareskrim Polri,” ujar Moga.

Baca juga artikel terkait MINYAKITA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz