Menuju konten utama

Menguji Klaim Ada Banyak Lapangan Kerja Baru di Era PHK Massal

Pemerintah perlu membuktikan bahwa lapangan kerja dalam skala masif bisa terlihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

Menguji Klaim Ada Banyak Lapangan Kerja Baru di Era PHK Massal
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat 10.965 buruh dan karyawan di empat perusahaan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Sritex Tbk setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

tirto.id - Pemerintah mengeklaim ada banyak lapangan baru yang terbentuk meski terjadi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar dalam beberapa waktu belakangan. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan perlu melihat kondisi ketenagakerjaan secara menyeluruh.

"Kalau melihatnya itu (secara) resultante. Ada penciptaan lapangan kerja baru, mungkin ada yang nutup. Tapi lihat penciptaan lapangan kerja baru," ujar Hasan di Jakarta, Selasa (4/3/2025), mengutip Kompas.

Hasan juga mengindikasikan kalau ada lebih banyak penciptaan lapangan kerja baru dibanding PHK.

Berdasar catatan Tirto, setidaknya ada empat perusahaan yang melakukan pemberhentian kerja, ratusan hingga ribuan orang pada awal 2025. PT Sri Rejeki Isman Tbk Group atau Sritex Group menjadi yang paling banyak memakan korban. Perusahaan tekstil di Sukoharjo ini dinyatakan bangkrut dan berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan harus melakukan PHK terhadap 10.665 orang karyawannya.

Selain itu ada PT Sanken Indonesia yang melakukan pemutusan kerja terhadap 459 orang pegawainya. Sanken juga berencana menghentikan produksinya pada Juni 2025 mendatang. Ada juga PT Tokai Kagu yang memutuskan berpisah dengan 195 orang pegawainya.

Terakhir ada PT Yamaha Music yang akan menutup operasinya pada Maret 2025, diikuti PT Yamaha Indonesia, yang khusus memproduksi piano berencana mengakhiri operasi pada Desember 2025. Atas penutupan operasi tersebut sekitar 1.100 pekerja diperkirakan berdampak PHK.

Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, tidak menutup mata dengan adanya penutupan pabrik yang berujung dengan PHK oleh beberapa perusahaan.

"Bahwa memang benar ada penutupan beberapa pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK), kami menyampaikan empati kepada perusahaan industri dan pekerja yang mengalami hal tersebut," katanya mengutip Antara, Selasa (4/3/2025).

Rapat kebijakan subsidi pemerintah

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bersiap menghadiri rapat yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/10/2024). Rapat tersebut membahas program kebijakan subsidi pemerintah. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU

Namun, dia menyampaikan juga kalau industri manufaktur domestik terus mengalami pertumbuhan dan menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga yang dibentuk, menurut Agus lebih besar dari angka PHK.

Agung mengutip data dari dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), pada 2024, jumlah tenaga kerja baru yang diserap industri manufaktur yang mulai berproduksi tahun 2024 mencapai 1.082.998 tenaga kerja baru.

Sementara mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan, antara Januari-Desember 2024 terdapat 77.965 orang terdampak PHK. Jika membandingkan sekilas memang terlihat selisih yang sangat jauh antara penciptaan lapangan kerja dengan mereka yang terdampak.

Namun, menurut Dosen Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati, klaim dari Kemenperin atau Kemenaker tersebut perlu juga dilihat secara menyeluruh.

“Harus diingat bahwa yang mencari pekerjaan tidak hanya orang yang barusan di-PHK, tapi ada banyak juga calon pekerja muda yang masih menganggur,” terang Nabiyla kepada Tirto, Rabu (5/3/2025).

Menurut dia, pemerintah perlu membuktikan bahwa lapangan kerja dalam skala masif bisa terlihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

Mengutip data dari Mengutip Statistik Angkatan Kerja 2024 terdapat sekitar 7,47 juta orang pengangguran per bulan Agustus. Jumlah tersebut membentuk tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,91 persen.

Jika mau membandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya memang terkesan ada penurunan. Namun persentase TPT sekitar 5 persen tersebut, mudahnya dapat diartikan dari 100 orang di Indonesia, 5 di antaranya menganggur.

Sementara Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan kalau penyerapan tenaga kerja yang digembar-gemborkan bisa jadi tidak efektif. “Kesenjangan kompetensi antara pekerja yang di-PHK dengan kebutuhan industri baru dapat menghambat penyerapan tenaga kerja,” tuturnya.

Menurut dia perlu solusi jangka panjang lewat revitalisasi industri melalui diversifikasi pasar ekspor, peningkatan efisiensi produksi, dan pelatihan ulang (reskilling) pekerja agar sesuai dengan kebutuhan pasar yang berubah perlu dilakukan.

Penyebab Industri Kalah Saing

Terkait dengan PHK dan penutupan pabrik yang terjadi di sejumlah perusahaan, Yusuf mengatakan industri manufaktur, termasuk tekstil, sedang menghadapi persaingan global yang ketat. Penurunan permintaan ekspor akibat perlambatan ekonomi global, terutama di Eropa dan AS. Selain itu lonjakan biaya produksi, akibat kenaikan harga energi dan bahan baku impor mempersulit keadaan.

Meningkatnya suku bunga acuan Bank Indonesia, dalam rangka pengendalian inflasi, justru menyulitkan akses perusahaan ke pembiayaan investasi.

“PHK besar-besaran ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dipicu oleh kombinasi faktor struktural seperti ketergantungan pada bahan baku impor, regulasi ketenagakerjaan yang kurang fleksibel, serta persaingan dengan produk impor yang lebih murah, terutama dari Tiongkok dan Vietnam,” ujar Yusuf.

Sependapat, Nabiyla dari UGM, menyebut industri manufaktur Indonesia memang tengah menghadapi tantangan berat beberapa tahun belakangan. "Isunya terkait dengan daya saing di tingkat global yang semakin kompetitif, sementara industri di Indonesia masih belum cepat beradaptasi misalnya dari sisi teknologi," tuturnya.

Menurut Nabiyla hal ini masih ditambah lagi dengan kontraksi ekonomi di Indonesia beberapa tahun terakhir, yang dipadukan dengan ketidakpastian hukum. Dia juga menyebut adanya kebijakan impor yang tidak berpihak pada produksi dalam negeri, terutama terkait dengan industri tekstil.

Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menjelaskan kesulitan industri pakaian ini berawal dari terbitnya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Mulanya aturan tersebut hadir untuk mengatasi masalah teknis saat barang impor yang mau masuk Indonesia tertahan di gudang pelabuhan. "Tidak tahunya efeknya negatif dan memberi dampak pada produk-produk lokal," terang Tadjudin.

Ilustrasi Unjuk rasa tolak PHK

Ilustrasi Unjuk rasa tolak PHK. FOTO/Antaranews

Contohnya untuk produk tekstil, dia menyebut pada Oktober 2024, terdapat 197,35 ribu ton impor tekstil. Angkanya naik dari 188,69 ribu ton pada Oktober 2023. Hal ini menunjukkan dampak langsung bagi persaingan produk tekstil dalam negeri dengan produk impor.

Dampaknya terhadap PHK pun sudah terlihat sejak akhir tahun lalu. Tadjudin mengutip data Bloomberg yang menyebut sekitar 60 perusahaan, yang mayoritas adalah perusahaan tekstil yang mengalami kebangkrutan.

Sebab dan akibat dari PHK ini mengarah ke daya beli masyarakat. Tadjudin mengambil contoh bubarnya pabrik Sanken di Indonesia. Penurunan penjualan dari jenama lokal tersebut akibat dari turunnya daya beli kelas menengah. Hal ini membuat pasar sanken turun tajam dan berakhir dengan penutupan operasi. Di sisi lain, PHK memberi dampak langsung bagi penurunan daya beli masyarakat yang menjadi korban PHK.

Yusuf dari CORE menyebut secara sosial gelombang pengangguran dapat memicu ketidakstabilan, terutama di daerah yang bergantung dengan industri tersebut. “Dampak luas dari PHK massal ini dapat meliputi penurunan daya beli masyarakat, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi regional, peningkatan angka pengangguran, serta tekanan pada sistem jaminan sosial pemerintah,” tuturnya.

Sementara Dosen UGM, Nabiyla menyebut dampak PHK dalam skala besar ini bisa meluas secara sistemik. “Tidak hanya berpengaruh ke pekerja saja, tapi juga ekosistem ekonomi yang menunjang di sekitarnya. Mudah-mudahan tidak menyebabkan krisis, tapi ini hal yang pemerintah perlu mitigasi,” tuturnya.

Dia juga mewanti-wanti pemerintah untuk melakukan terobosan kebijakan untuk mencegah badai PHK ini berlanjut lagi. Melihat kondisi industri dan ekonomi saat ini menurut dia PHK masih akan terus berlanjut.

Sementara Tadjudin berpendapat pekerjaan rumah besar pemerintah sekarang untuk mencegah berlanjutnya badai PHK ini adalah dengan menarik investasi untuk masuk Indonesia. "(Hal ini bisa dengan) memberikan kemudahan dalam proses investasi seperti yang dilakukan Myanmar dan Vietnam," ujarnya.

Baca juga artikel terkait PHK atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang