Menuju konten utama

Surplus Neraca Dagang Februari 2025: Capaian Gemilang atau Semu?

Tersimpan paradoks yang mengganggu di tengah surplus perdagangan yang beriringan dengan melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya PHK.

Surplus Neraca Dagang Februari 2025: Capaian Gemilang atau Semu?
Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus 3,13 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada Februari 2025.

tirto.id - Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus 3,13 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada Februari 2025. Melanjutkan tren yang telah berlangsung selama 58 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020.

Surplus Februari 2025 juga tercatat lebih tinggi ketimbang surplus Februari tahun sebelumnya yang hanya senilai 832,7 juta dolar AS. Kendati, secara bulanan surplus Februari mengalami penurunan, dari surplus di Januari yang sebesar 3,49 miliar dolar AS.

“Surplus pada Februari 2025 lebih ditopang surplus (transaksi perdagangan sektor) nonmigas (non minyak dan gas) 4,84 miliar dolar AS, dengan komoditas utama, lemak dan minyak nabati (HS15), bahan bakar mineral (HS27), serta besi dan baja (HS72),” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, dalam rilis BPS, di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).

Sebaliknya, transaksi perdagangan migas tercatat defisit 1,72 miliar dolar AS, lebih dalam dibandingkan defisit migas yang terjadi di Januari 2025 senilai 1,43 miliar dolar AS. “Ini utamanya berasal dari defisit hasil minyak maupun minyak mentah,” tambah Amalia.

Sementara secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-Februari juga mencatatkan surplus 6,61 miliar, yang dipicu oleh surplus sektor non migas senilai 9,76 miliar dolar AS. Sedangkan, sektor migas tercatat defisit 3,15 miliar dolar AS.

Jika ditilik dari negaranya, negara penyumbang surplus terbesar pada perdagangan Februari 2025 ialah AS, dengan nilai mencapai 1,57 miliar dolar AS. Kemudian, disusul oleh India dan Filipina yang masing-masing mencatatkan surplus sebesar 1,26 miliar dolar AS dan 753,3 juta dolar AS.

Sebaliknya, negara penyumbang defisit neraca perdagangan terbesar ialah Cina, dengan nilai 1,75 miliar dolar AS. Selanjutnya, transaksi dengan Australia dan Brasil juga mengalami defisit masing-masing 428,6 juta dolar AS dan 168,1 juta dolar AS.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, mengungkapkan, surplus neraca perdagangan Februari 2025 disebabkan oleh kinerja ekspor dan impor yang konsisten tumbuh. Terlebih, impor, utamanya terkait barang modal dan bahan baku dilakukan dengan fokus utama untuk mendukung kegiatan industri nasional.

“Ekspor konsisten tumbuh, pada bulan Februari (2025) mencapai tingkat 9,16 persen yoy (year on year/secara tahunan). Sektor pertanian dan manufaktur tumbuh paling tinggi secara berurutan,” katanya, melalui keterangan resmi, dikutip Kamis (20/3/2025).

Menurut Ani, sapaan Sri Mulyani, surplus perdagangan yang telah terjadi selama 58 bulan berturut-turut ini menunjukkan daya saing ekonomi Indonesia yang terus meningkat. Hal ini didukung pula oleh Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang pada Februari kemarin berhasil bangkit menuju zona ekspansif, di angka 53,5.

“Pertumbuhan manufaktur didorong oleh lonjakan permintaan baru, sehingga menstimulus aktivitas produksi dalam negeri,” sambungnya.

Sementara itu, meski neraca perdagangan masih tercatat surplus, namun realisasinya cenderung susut setelah sempat mengalami lonjakan pada Maret 2024. Masih dari data BPS, surplus neraca perdagangan saat itu mencapai 4,58 miliar dolar AS dan langsung anjlok di April 2024, hingga hanya tersisa 2,72 miliar dolar AS.

NERACA DAGANG RI SURPLUS

Suasana aktivitas bongkar muatan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (15/6/2021). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.

Kata Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, surplus neraca perdagangan susut karena adanya peningkatan impor. Menurut laporan BPS, nilai impor Februari 2025 mencapai 18,86 miliar dolar AS, naik 5,18 persen dibandingkan Januari 2025 yang senilai 17,93 miliar dolar AS dan naik 2,30 persen dibandingkan Februari 2024 yang hanya sebesar 18,44 miliar dolar AS.

Peningkatan kinerja impor ini disebabkan oleh naiknya impor migas menjadi 384,7 juta dolar AS dan nonmigas 543,7 juta dolar AS di Februari 2024, dibanding bulan sebelumnya yang masing-masing hanya 2,48 miliar dolar AS dan 15,45 dolar AS. Sementara peningkatan impor migas disebabkan oleh bertambahnya impor minyak mentah menjadi 272,5 juta dan hasil minyak yang kini senilai 112,2 juta dolar AS.

“Penurunan surplus neraca perdagangan Indonesia awal 2025 tidak hanya disebabkan oleh turunnya harga komoditas utama, seperti batu bara yang turun 10,1 persen secara bulanan dan nikel kontraksi 0,7 persen, tetapi juga karena peningkatan impor dan ketidakpastian global,” jelas Rizal, kepada Tirto, Kamis (20/3/2025).

Menurutnya, kebijakan perdagangan global yang tidak menentu, termasuk potensi perang dagang baru yang dipicu oleh AS turut membebani ekspor Indonesia. Tak heran jika kemudian ekspor Februari 2025 hanya tercatat sebesar 21,98 miliar dolar AS, tumbuh terbatas dari bulan sebelumnya yang senilai 21,43 miliar dolar AS. Kendati, secara tahunan kinerja ekspor tercatat tumbuh 14,05 persen dari yang sebelumnya hanya sebesar 19,27 miliar dolar AS.

“Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, maka susutnya surplus perdagangan mencerminkan tekanan lebih luas dalam menggambarkan daya saing industri nasional,” sambung Rizal.

Apalagi, nilai ekspor bahan baku atau penolong penolong dan barang modal yang masing-masing memiliki porsi 73,90 persen dan 18,31 persen dari total ekspor, serta peningkatan 7,44 persen dan 4,13 persen secara bulanan (month to month/mtm) menunjukkan bahwa industri domestik masih bergantung pada bahan impor. Padahal, kondisi ini juga dapat mengindikasikan masih melemahnya rantai pasok lokal.

Di sisi lain, ekspor barang konsumsi yang turun 10,61 persen (mtm) dan kontraksi 21,05 persen (yoy). Penurunan ini utamanya didorong oleh komoditas impor daging hewan, khususnya frozen boneless meat of bovine animals (HS 02023000) dengan nilai impor turun 43,5 juta dolar AS dari bulan sebelumnya. Kemudian, disusul oleh komoditas serealia, khususnya semi-milled or wholly milled rice (HS1006309) yang nilai impornya turun 37,07 juta dolar AS dibanding Januari 2025.

Dengan kondisi ini, Rizal khawatir, jika surplus neraca perdagangan terus susut, akan berdampak pada tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat berkurangnya pasokan devisa dari impor. Di sisi lain, dengan kini dolar AS semakin perkasa, peningkatan impor juga dikhawatirkan bakal memicu kenaikan biaya impor, yang pada akhirnya dapat menimbulkan inflasi.

“Kedua, Kinerja industri juga akan berdampak sehingga menurunkan produktivitasnya, terutama Industri yang bergantung pada bahan baku impor. Hal ini menyebabkan pelemahan rupiah, kenaikan harga produksi dan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi,” lanjut dia.

Selain itu, semakin berkurangnya surplus neraca perdagangan juga bisa menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, yang berisiko menekan aliran investasi asing.

“Jika tren ini berlanjut, maka defisit neraca transaksi berjalan bisa semakin melebar. Akhirnya, meningkatkan ketergantungan pada modal asing dan memperbesar risiko guncangan ekonomi di tengah ketidakpastian global,” jelas Rizal.

Surplus Diiringi Pelemahan Daya Beli dan PHK

Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa surplus neraca perdagangan selama 58 bulan berturut-turut adalah suatu prestasi bagi Indonesia. Apalagi, surplus neraca perdagangan terjadi dalam situasi global yang dinamis, mulai dari saat ini tengah terjadi krisis energi, hingga perlambatan ekonomi di sejumlah negara.

“Namun, di balik angka-angka optimistis ini, tersimpan paradoks yang mengganggu, surplus perdagangan justru beriringan dengan melemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK),” tutur Achmad, dalam keterangan yang diterima Tirto, Kamis (20/3/2025).

Di tengah pelemahan daya beli masyarakat yang ditunjukkan oleh deflasi dua bulan beruntun dan maraknya gelombang PHK, surplus neraca perdagangan dinilai dapat terjadi dengan adanya dorongan utama dari lonjakan ekspor nonmigas yang didominasi oleh komoditas seperti logam mulia, batu bara, bijih besi, dan produk pertanian. Sementara, negara tujuan utama seperti AS, India, Filipina, dan Vietnam masih menjadi pasar andalan, dengan ada pula diversifikasi pasar seperti Pakistan, Spanyol dan Kanada.

Peningkatan ekspor inipun didukung oleh permintaan global yang stabil, terutama dari negara-negara yang sedang dalam fase pemulihan pasca pandemi dan kebutuhan industri manufaktur global. Misalnya, permintaan bijih nikel dan logam mulia dari Indonesia meningkat seiring dengan transisi energi di Eropa dan AS. Selain itu, kenaikan harga komoditas di pasar internasional turut memperkuat nilai ekspor.

Namun sebaliknya, kinerja impor bahan baku atau penolong dan barang modal yang tumbuh tinggi saat impor barang konsumsi justru menunjukkan kontraksi, Sebetulnya dapat mencerminkan ketimpangan ekonomi nasional. Penurunan impor barang konsumsi, seperti daging lembu beku, beras, dan buah-buahan inilah yang juga menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat. Kondisi ini pun terkonfirmasi melalui penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 127,2 ke 126,4.

Di sisi lain, tingginya impor bahan baku dan barang modal memang menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia sedang dalam fase ekspansi. Namun, Nyatanya pertumbuhan ini belum sepenuhnya berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Banyak industri justru mengandalkan teknologi dan otomatisasi, sehingga ekspansi produksi tidak diikuti oleh penambahan karyawan.

“Akibatnya, PHK di sektor padat karya seperti retail, pariwisata, dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) terus terjadi, sementara lapangan kerja baru di sektor manufaktur berteknologi tinggi terbatas,” jelas Achmad.

Selama ini, surplus neraca dagang Indonesia pun masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah atau setengah jadi, dengan komoditas andalan batu bara, nikel, dan minyak sawit. Sementara ekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi, seperti produk elektronik atau kendaraan masih terbatas. Kondisi inilah yang kemudian menciptakan kerentanan struktural.

Sebab, ketika harga komoditas global tinggi, kinerja ekspor bakal moncer, sehingga surplus mudah tercapai. Tapi sebaliknya, ketika harga komoditas turun seperti yang terjadi belakangan, neraca dagang berpotensi defisit.

“Selain itu, ketergantungan pada ekspor komoditas kurang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan pekerja. Sektor pertambangan dan perkebunan, misalnya, memang menciptakan lapangan kerja, tetapi upah yang diberikan seringkali tidak sebanding dengan risiko kerja dan fluktuasi permintaan,” jelas Achmad.

Penyerapan tenaga kerja di Indonesia

Pekerja menyelesaikan produksi kue kering di Pabrik J&C Cookies, Bojongkoneng, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (31/10/2024). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

Di sisi lain, industri manufaktur yang membutuhkan keterampilan tinggi belum mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan ekspor, tidak serta-merta mengurangi pengangguran atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

“Maraknya PHK dalam beberapa tahun terakhir, terutama di sektor ritel, tekstil, dan jasa menjadi bukti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih timpang,” imbuh dia.

Inflasi harga pangan dan energi, yang sempat melonjak pada 2023-2024, memperparah beban rumah tangga. Meski inflasi mulai terkendali, upah riil pekerja tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga konsumsi rumah tangga tetap lesu. Situasi ini diperburuk oleh ketidakseimbangan dalam struktur ekonomi Indonesia yang rapuh.

“Fokus berlebihan pada pertumbuhan ekspor tanpa memperkuat fundamental ekonomi domestik berisiko memperlebar ketimpangan. Program seperti hilirisasi mineral memang strategis, tapi implementasinya perlu dipercepat agar nilai tambah benar-benar dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya korporasi besar,” kata Achmad.

Selain itu, untuk mendongkrak daya beli seperti melalui bantuan sosial (bansos) dan subsidi energi masih bersifat temporer. Dus, menurut Achmad, jika tidak diikuti oleh perbaikan sistemik, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran ketergantungan pada tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah.

Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu merancang strategi industri yang memprioritaskan padat karya berbasis teknologi, sehingga ekspansi manufaktur bisa menyerap lebih banyak pekerja. Tak kalah penting, kebijakan perdagangan ke depan juga harus sejalan dengan agenda penguatan ekonomi domestik, seperti melalui industrialisasi yang inklusif.

“Surplus neraca dagang 58 bulan berturut-turut adalah prestasi, tetapi bukan indikator utama kesejahteraan. Indonesia perlu belajar dari kesalahan masa lalu, di mana pertumbuhan ekonomi tinggi tidak diikuti oleh pemerataan,” tukas Achmad.

Baca juga artikel terkait SURPLUS NERACA PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang