Menuju konten utama

BPS Setop Publikasi Rutin Indikator Ekonomi RI, Apa Dampaknya?

Mulai Januari 2025, Publikasi Indikator Ekonomi tidak lagi terbit di laman Badan Pusat Statistik (BPS). Apa alasannya?

BPS Setop Publikasi Rutin Indikator Ekonomi RI, Apa Dampaknya?
Penghentian Publikasi Indikator Ekonomi BPS. (FOTO/bps.go.id)

tirto.id - “Mulai Januari 2025, Publikasi Indikator Ekonomi tidak lagi terbit. Data yang sebelumnya terdapat pada publikasi tersebut dapat diakses melalui menu Produk > Statistik menurut Subjek,” tulis Badan Pusat Statistik (BPS) pada beranda laman resminya.

Dengan pengumuman yang sudah dirilis BPS selama sepekan terakhir ini, resmi berakhir sudah laporan publikasi data statistik tentang keadaan dan kondisi ekonomi Indonesia yang telah terbit sejak Januari 1970. Sebagai informasi, publikasi ini menyajikan beberapa aspek ekonomi, antara lain: indeks harga konsumen, indeks harga perdagangan besar, nilai tukar valuta, keuangan dan perbankan, penanaman modal, neraca pembayaran, pendapatan nasional, ekspor dan impor, perhubungan, perhotelan dan pariwisata, produksi pertanian, dan penduduk.

Sebagai reporter tulisan mendalam atau in-depth yang kerap mengangkat isu-isu ekonomi, Ucha Julistian Mone (29), menyayangkan keputusan BPS yang menghentikan Publikasi Indikator Ekonomi. Pasalnya, dalam publikasi tersebut BPS telah merangkum banyak indikator ekonomi yang diibaratkannya sebagai ‘menu lengkap’ dan sering kali dibutuhkan oleh jurnalis seperti dirinya, peneliti, atau bahkan dunia usaha.

“Ibaratnya, kita gampang tuh melihat atau menganalisis tren ekonomi dalam periodik waktu tertentu. Kalau dihentikan, ya kita harus cari data secara manual satu per satu. Memang datanya masih ada, tapi effort-nya jelas lebih besar. Buat jurnalis yang dikejar deadline, pasti makan waktu. Penghentian ini bisa jadi bikin proses kerja lebih lama,” kata dia, kepada Tirto, Senin (6/1/2025).

Tidak hanya itu, bagi orang-orang yang tak terbiasa mengulik data BPS, ketiadaan Publikasi Indikator Ekonomi jelas akan menyulitkan pekerjaan mereka. Apalagi, nantinya data-data yang sebelumnya dirangkum dalam Publikasi Indikator Ekonomi akan disajikan di dalam dashboard yang terpisah menurut subjek.

“Kalau mau bikin analisis yang lebih kompleks, ya kerjaan jadi jauh lebih ribet. Selain itu, nggak semua orang punya akses atau skill buat cari data dengan cepat dan benar. Jadi, menyulitkan sih, buat akademisi atau peneliti atau jurnalis sekalipun,” imbuh Ucha.

Belum lagi, dengan banyaknya data yang dikumpulkan BPS, mencari satu per satu data terkait aspek spesifik bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sangat susah. Kondisi ini lantas dapat membuat BPS kurang transparan dalam menyajikan data kepada khalayak luas.

“Publikasi Indikator Ekonomi ini tuh penting banget buat menjaga kepercayaan publik. Kalau akses dipersulit dengan penghentian publikasi, ujung-ujungnya diskusi ekonomi di publik bisa jadi nggak merata. Bisa muncul opini atau kesimpulan yang nggak didukung data, cuma spekulasi aja,” tutur Ucha.

Penghentian Publikasi Indikator Ekonomi BPS

Penghentian Publikasi Indikator Ekonomi BPS. (FOTO/bps.go.id)

Terpisah, Peneliti The Prakarsa, Samira Hanim, menilai keputusan BPS untuk tak lagi menerbitkan Publikasi Indikator Ekonomi yang biasanya dirilis tiap bulan tidak tepat. Sebab, data kompilasi itu masih diperlukan oleh banyak pihak termasuk peneliti.

“Sehingga kalau diputus, seharusnya BPS memberikan penjelasan yang jelas mengenai hal tersebut,” kata dia, kepada Tirto, Senin (6/1/2025).

Jika alasannya soal pengurangan anggaran oleh pemerintah pusat, hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah kepada data dan riset bisa dianggap tidak serius. Apalagi, data yang ada menunjukkan bahwa selama ini alokasi anggaran penelitian dan pengembangan (litbang) Indonesia pada 2019 hanya 0,2 persen dari PDB, lebih tinggi sedikit dibanding Vietnam (0,19 persen). Namun angka itu lebih rendah dibanding Thailand (0,39 persen), Malaysia (1,1 persen), Singapura (2 persen), Korea Selatan (4,2 persen), dan Jepang (3,5 persen).

“Pelemahan badan penyedia data secara alokasi anggaran ini menjadi bukti bahwa pemerintah hanya fokus mendanai kebijakan-kebijakan populis yang mendapatkan atensi banyak dari publik,” imbuh dia.

Padahal, adanya publikasi rutin tiap bulan mengenai indikator ekonomi dari BPS selama ini mempermudah kerja-kerja penelitian yang dilakukan oleh lembaga think tank seperti Prakarsa. Dengan sumber data dari BPS tersebut, lembaga think tank pun mampu merumuskan rekomendasi kebijakan, utamanya di bidang ekonomi yang tepat dan cepat kepada pemerintah.

“Indonesia juga merupakan negara berkembang yang mendapatkan apresiasi oleh lembaga internasional terkait dengan penyajian data statistik yang lengkap dan komprehensif. Kebijakan untuk megurangi Publikasi Indikator Ekonomi menjadi hal yang perlu diberikan penjelasan lebih lanjut oleh BPS,” tegas Samira.

Sementara itu, BPS enggan menjelaskan secara rinci alasan penghentian Publikasi Indikator Ekonomi yang telah terbit selama lebih dari setengah abad itu. Namun, dalam pengumuman terbaru yang diunggah pada Selasa (7/1/2025) pagi, BPS mengumumkan bahwa Publikasi Indikator Ekonomi edisi November 2024 masih akan terbit pada pekan ketiga Januari 2025. Lagi-lagi, tanpa memberikan alasan mengapa Publikasi tersebut kembali dirilis.

“Publikasi Indikator Ekonomi November 2024 AKAN DIRILIS pada pekan ketiga Januari 2025,” tulis BPS dalam pengumumannya di beranda laman bps.go.id.

Transparansi Dipertanyakan

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha Rachbini, menilai tak masalah jika BPS hendak menghentikan Publikasi Indikator Ekonomi. Sebab, selama ini data-data yang terdapat dalam Publikasi tersebut juga tersedia di laman resmi BPS dan mudah diunduh, diakses, serta diolah atau dianalisa.

Namun, akan berbeda halnya jika rilis indikator ekonomi yang biasa dilakukan dengan rilis berita resmi statistik (BRS) tidak dilakukan lagi secara berkala. Bagi lembaga penyaji data, rilis rutin BPS menjadi bentuk transparansi kepada publik.

“Kalau judul beritanya tidak dipublikasikan sama sekali tiap bulan, beda ceritanya. Selama ini BPS rutin rilis berita resmi statistik. Salah satu bentuk transparansi data kepada publik,” kata Eisha, kepada Tirto, Senin (6/1/2025).

Ditambah lagi, transparansi data juga sangat dibutuhkan bagi setiap pelaku ekonomi, baik itu dari sisi bisnis juga konsumen, masyarakat, media, akademisi, dan bahkan pengambil kebijakan. Selama ini, kalangan-kalangan tersebut pun sangatt terbantu dengan rilis data BPS untuk melihat arah ekonomi dan pencapaian Indonesia. Sedangkan bagi pembuatan kebijakan, data yang dirilis BPS dapat secara rasional digunakan untuk mengambil keputusan ekonomi.

“Jadi, selama data indikator ekonominya tersedia di website dan mudah di-download, dan mudah diakses, serta dapat diolah atau analisa, seperti nya tidak masalah,” sambung Eisha.

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menilai sebaliknya. Alasan peningkatan pelayanan publik yang digunakan BPS untuk menghentikan Publikasi Indikator Ekonomi pun dirasa kurang tepat. Sebab, sampai saat ini laman BPS belum menyajikan banyak data yang bersifat langsung (real-time) dan ramah pengguna (user friendly). Belum lagi, visualisasi data pada laman BPS juga masih kacau.

“Sebagian besar visualisasi datanya masih statis tidak dinamis dan tidak bisa di-combine (dikombinasikan) antara satu indikator dengan yang lainnya. Beda dengan data-data visualisasi misalnya di World Bank yang sudah dinamis. Sehingga rilis indikator ekonomi bulanan masih diperlukan, seperti yang slama ini dirilis BPS,” jelas Media, saat dihubungi Tirto, Senin (6/1/2025).

Namun, terlepas dari itu, BPS sudah sepatutnya menjelaskan alasan disudahinya Publikasi Indikator Ekonomi. Sebab, tanpa diikuti penjelasan yang transparan, dikhawatirkan dapat timbul persepsi buruk dari masyarakat terutama para pengguna data BPS. Apalagi, saat ini banyak mata tertuju pada kondisi ekonomi nasional yang tak begitu bagus.

“Inflasi kita terbukti naik pada Desember 2025 dan salah satu faktor penyebabnya adalah karena gejolak pasar akibat kekacauan informasi mengenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” kata dia.

Karenanya, pada masa-masa seperti ini, publikasi reguler BPS menjadi penting untuk menjaga kredibilitas data dan mempermudah pemantauan indikator ekonomi oleh berbagai pihak, termasuk analis, jurnalis, dan masyarakat.

“Jadi sebaiknya BPS juga harus memainkan fungsinya sebagai lembaga data yang kredibel dan menyediakan informasi untuk masyarakat, dan tidak takut atas desakan pihak-pihak lain di dalam internal pemerintah,” tukas Media.

Baca juga artikel terkait DATA BPS atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang