tirto.id - Saat Paparan Kinerja Keuangan 2024 pada Februari lalu, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, Sunarso, mengatakan, salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh perbankan di 2025 ialah pengetatan likuiditas. Potensi pengetatan likuiditas tersebut tak lain terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi global dan domestik yang masih diliputi ketidakpastian.
Dari sisi global, kebijakan proteksionisme Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap negaranya, membuat dunia tak bisa berharap pada kebijakan moneter Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang akan kembali masif menurunkan suku bunga acuan di tahun ini. Bagi Indonesia, saat ini yang bisa diharapkan adalah agar tak terjadi gempuran barang impor dari negara-negara yang terpukul tarif perdagangan tinggi AS, seperti Cina.
“Itu harus kita jaga dengan baik, supaya kita di sini tidak kehilangan pekerjaan. Itu yang paling penting karena tugas kita yang utama adalah menciptakan lapangan kerja,” ujar dia, secara virtual, dikutip Jumat (7/3/2025).
Sementara untuk menyikapi dampak perang dagang yang hampir dipastikan merambat ke Indonesia, penaikan suku bunga acuan. Namun, bagi perbankan, kebijakan ini berpotensi menimbulkan tantangan likuiditas.
“Kemudian nanti juga perang dagang ini akan berdampak juga terhadap masalah foreign exchange (nilai tukar negara asing), dan pasti responsnya yang paling instan adalah naikkan suku bunga. Dan itu artinya akan ada tantangan di likuiditas,” imbuh Sunarso.
Perlu diketahui, pada Januari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,76 persen secara bulanan (month to month/mtm), dengan inflasi sebesar 0,76 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Sunarso khawatir, rendahnya inflasi Januari dapat menggerogoti kinerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sebab, pada akhirnya turunnya kinerja UMKM akan berdampak pula pada merosotnya penyaluran kredit perbankan.
“Driver utama untuk loan demand ataupun loan growth terutama di UMKM ini adalah dua hal ini yaitu purchasing power, daya beli masyarakat dan juga possible consumption, konsumsi rumah tangga. Kalau ini menurun, maka permintaan terhadap kredit juga akan menurun terutama di UMKM, itu yang harus kita address,” jelas dia.
Pada 2024 saja, rasio yang menggambarkan perbandingan antara jumlah kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun bank, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang dicatat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ialah sebesar 88,57 persen, jauh lebih tinggi ketimbang LDR di periode yang sama di 2023 yakni 83,83 persen. Kendati, pada Januari 2025 LDR perbankan turun menjadi 87,64 persen.
Sementara itu, penyaluran kredit perbankan pada Desember 2024 masih tercatat double digit, di level 10,39 persen (yoy), menjadi Rp7.827 triliun. Meski begitu, di Januari 2025 penyaluran kredit hanya tumbuh 10,27 persen menjadi Rp7.782 triliun, lebih rendah dari penyaluran bulan sebelumnya.
Sama halnya dengan penyaluran kredit, Dana Pihak Ketiga (DPK) Desember 2024 tercatat tumbuh 4,48 persen (yoy), menjadi Rp8.837 triliun. Namun, kemudian dana yang dihimpun bank tersebut tumbuh 5,51 persen (yoy) di Januari 2025, dengan nilai mencapai Rp8.879 triliun.
Menurut Pakar Perbankan dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Doddy Ariefianto, meski LDR sudah turun pada Januari kemarin, namun masih mendekati 90 persen. Padahal, baik OJK maupun Bank Indonesia (BI) mengatur bahwa batas bawa LDR adalah 78 persen dan batas atas 92 persen. Dalam hal ini, apabila LDR berada di bawah 78 persen, bank dapat dikatakan tak menjalankan fungsi intermediasinya karena tidak menyalurkan kredit dengan optimal. Namun, sebaliknya jika LDR mencapai lebih dari 92 persen, bank telah memberikan sinyal pengetatan likuiditas.
“Tapi ini lampu kuning lah, istilahnya lampu kuning, belum merah,” ujar dia, kepada Tirto, Jumat (7/3/2025).
Sementara itu, likuiditas perbankan dikatakan ketat jika ketersediaan uang tunai atau aset likuid dalam sistem keuangan terbatas. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan bagi bank, perusahaan, dan individu dalam mendapatkan dana atau pinjaman
Sudah ketat, likuiditas bank masih terancam harus mendanai proyek-proyek prioritas seperti program tiga juta rumah dan terbaru operasional awal Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Kata Doddy, untuk saat ini program-program tersebut tak perlu dicemaskan, karena masih dalam tahap rencana.
Namun demikian, ketika perencanaan program sudah beres dan tahap pembicaraan dengan bank dilakukan, LDR bisa saja tak terganggu kalau sumber pendanaan datang dari luar negeri, entah itu berupa utang, hibah, atau investasi. Bukan dari dalam negeri.
“Kalau mau melalui bank, ya bisa pinjam. Likuiditasnya bertambah, kan. Depositonya bertambah, lalu dia lempar lagi (ke pasar melalui penerbitan obligasi), back to back kayak gitu aja terus. Nah, tapi itu nanti, ini kan masih wacana,” terang Doddy.
Hal berbeda disampaikan Ekonom IPB University, Mangasa Augustinus Sipahutar. Menurutnya, saat ini pertumbuhan DPK jauh lebih kecil ketimbang pertumbuhan kredit. Sebagai contoh, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., yang per 31 Desember lalu mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 19,5 persen (yoy) menjadi Rp1.670,55 triliun. Pada periode yang sama, salah satu bank himpunan milik negara (Himbara) ini mencatat pertumbuhan DPK hanya sebesar 7,73 persen (yoy) menjadi Rp1.699 triliun.
Sementara itu, per 31 Desember 2024, BRI mampu menyalurkan kredit hingga Rp1.354,64 triliun atau tumbuh 6,97 persen (yoy), dengan pada periode yang sama DPK tercatat tumbuh 1,42 persen menjadi Rp1.365,45 triliun.
Bagi perbankan, kondisi ini menimbulkan kerawanan karena inti bisnis bank adalah kredit. Dus, bagaimana bisa bank memberikan kredit apabila DPK semakin mengecil?
“Maka kalau kita lihat misalnya loan to deposit ratio, itu lama-kelamaan kan semakin besar. Bahwa (LDR) besar itu bagus. Tapi, ketika dia levelnya sudah 90-an (persen), itu sudah was-was. Nah, jadi terjadi memang 3-4 tahun terakhir ini perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga,” kata Mangasa.
Himbara yang terdiri dari Bank Mandiri, BRI, PT Bank Nasional Indonesia (Persero) Tbk atau BNI, serta PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, memang memiliki aset besar dengan kinerja keuangan mendominasi dari keseluruhan kinerja perbankan nasional. Jika ditotal, hingga akhir 2024, maka total aset Bank Himbara setidaknya mencapai Rp6.018 triliun, dengan total konsolidasian DPK mencapai Rp3.704,12 triliun dan total penyaluran kredit hingga Rp4.177,03 triliun.
“Kita masuk ke program pembiayaan 3 juta rumah, ya. Bahwa itu program yang bagus. Tetapi pertanyaannya adalah ketika itu dibiayai oleh perbankan, bagaimana caranya bank membiayainya, kan begitu. Uangnya dari mana? Nah, kalau seandainya DPK bukan menjadi faktor yang bisa melakukan ekspansi kredit, oke, boleh,” kata dia.
Jika pun pembiayaan program dilakukan dengan penerbitan obligasi atau surat utang, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang akan membeli surat utang tersebut di tengah ketidakpastian ekonomi dunia dan juga domestik. Belum lagi, ke depan Bank Himbara bakal berada di bawah komando Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dan bukan pemerintah seperti hari ini, skema penerbitan obligasi bisa jadi akan berbeda, dengan permintaan izin kepada pemimpin yang berbeda pula.
“Nah, kalau seperti itu, bukannya itu menjadi menyimpan bara di beberapa tahun yang akan datang? Atau memunculkan non-performing loan (NPL/kredit macet), khusus Bank Himbara. Nah, akibatnya apa? Surat utang yang tadi juga nggak bisa dibayar, kredit juga macet dan jumlahnya sangat besar ya, 3 juta rumah kan begitu besar,” jelas Mangasa.
Belum lagi, korporasi-korporasi atau debitur-debitur bank juga tengah mengalami pelambatan kinerja, seiring dengan turunnya kinerja industri nasional. Pada akhirnya, kinerja perbankan nasional bakal berantakan luar biasa.
“Kalau mau dipaksakan, katakanlah misalnya likuiditasnya kalau mau dipaksa, ini kan Himbara, itu kan milik pemerintah. Cuma persoalannya adalah apakah memang harus dipaksakan untuk menjadi bahaya laten di kemudian hari? Itu yang menjadi lebih harus menjadi pertimbangan dari pembuat kebijakan,” kata Mangasa.
Sementara itu, dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Dian Ediana Rae, mengatakan, likuiditas perbankan masih memadai dengan Alat Likuid terhadap Non-Care Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid terhadap DPK (AL/DPK) masing-masing tercatat sebesar 114,86 persen dan 26,03 persen, naik dari posisi Desember 2024 yang masing-masing di angka 112,87 persen dan 25,59 persen. Lebih penting, rasio tersebut tetap berada di atas ambang batas minimal yang ditetapkan yaitu 50 persen untuk AL/NCD dan 10 persen untuk AL/DPK.
Pada periode yang sama, kredit macet juga cukup aman, dengan rasio NPL gross tercatat sebesar 2,18 persen dan NPL net 0,75 persen. Sebaliknya, Loan at Risk (LAR) mengalami penurunan dari di Desember 2024 yang sebesar 9,28 persen menjadi hanya 9,72 persen.
Di sisi lain, sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengakui, untuk mendukung program prioritas pemerintah seperti tiga juta rumah, dibutuhkan likuiditas yang sangat besar. Sehingga, untuk menunjukkan dukungannya, ke depan akan dioptimalkan penerbitan efek beragunan aset surat partisipasi (EBA-SP). Kendati, sebelumnya OJK perlu berembug terlebih dulu dengan para stakeholder terkait dukungan program prioritas ini.
“Potensi mengoptimalkan EBA-SP ini masih sangat besar. Oleh karena itu, OJK bersama stakeholder terkait akan terus memperkuat dan merumuskan antara lain penyempurnaan EBA-SP di pasar modal,” ujar Mahendra, dalam konferensi pers virtual, dikutip Jumat (7/3/2025).
Sementara itu, untuk meningkatkan likuiditas perbankan, BI bakal meningkatkan insentif Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) DPK menjadi 5 persen mulai 1 April 2025 untuk perbankan. Dus, diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit bank ke sektor-sektor riil yang memiliki daya ungkit tinggi dalam penciptaan lapangan kerja.
“Kebijakan makroprudensial tetap diarahkan pro-growth dan longgar untuk mendorong intermediasi sesuai dengan siklus keuangan melalui penguatan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial atau KLM," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung, dalam keterangan resminya dikutip Jumat (7/3/2025).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz