tirto.id - Selang 10 hari usai dilantik, Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menyatakan bakal mengalokasikan anggaran hingga Rp15 triliun untuk program cetak sawah baru dan optimalisasi lahan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, program ini merupakan upaya untuk mencapai target swasembada pangan pada 2028-2029.
"Cetak sawah 150 ribu hektare, tapi ada juga intensifikasi 80 ribu hektare, totalnya Rp15 triliun," ujar pria yang akrab disapa Zulhas ini dalam rapat koordinasi bidang pangan yang digelar di Kementerian Perdagangan, Jakarta, pada Oktober tahun lalu (30/10/2024).
Apapun namanya, foodestate, cetak sawah, atau lumbung pangan, proyek mercusuar untuk ketahanan dan swasembada pangan era Joko Widodo itu diteruskan oleh Prabowo Subianto. Kali ini nama yang dipakai yakni program cetak sawah dan optimalisasi lahan. Total target cetak sawah dan optimalisasi lahan selama empat tahun ke depan, menurut Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, mencapai tiga juta hektar di luar pulau Jawa dan mulai bergulir sejak 2024.
Eko Cahyono, peneliti senior Sajogyo Institute, menilai rencana Prabowo adalah duplikasi yang lebih buruk dari program food estate era Jokowi. Sebab, Eko menerima banyak informasi dari jejaring petani kenalannya di berbagai daerah bahwa pelibatan TNI-Polri untuk program lumbung pangan kian masif.
Hal ini dikhawatirkan membuat petani semakin termarginalkan dalam melakoni pekerjaan pokok mereka. Eko melihat langsung pola tersebut sudah terjadi di Sumatera Utara–salah satu lokasi program cetak sawah dan optimalisasi lahan.
“Dan itu nyata sudah [terjadi], bukan rencana, udah praktik,” tutur Eko kepada Tirto lewat sambungan telepon, pekan lalu.
Pelibatan kembali TNI-Polri dalam urusan sawah dan lahan pangan telah dilakukan sejak era Presiden Jokowi. Di era pemerintahan Prabowo, Kementerian Pertanian menggandeng TNI dan Polri membentuk konsolidasi Brigade Pangan untuk mempercepat upaya swasembada pangan yang diharapkan oleh Prabowo Subianto.
Hal tersebut disampaikan dalam kegiatan tanam bersama di Blok B5 Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah pada pertengahan Desember lalu oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Andi Nur Alam Syah. Andi Nur Alam Syah menyebut bahwa pembentukan Brigade Pangan sesuai arahan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
Kementerian Pertanian (Kementan) yang merupakan motor penggerak mimpi swasembada pangan Presiden Prabowo telah menggandeng TNI sejak November tahun lalu. Selain TNI, Polri juga ikut terjun mengurus masalah pangan sesuai perintah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Rapim TNI-Polri Januari lalu demi mendukung program pangan pemerintah. Masalahnya bukan sekadar masifnya pelibatan TNI dan Polri dalam proyek ini, namun lebih dari itu mari kita kupas satu per satu.
Dari total tiga juta hektar sawah dan lahan yang bakal digarap pemerintah hingga 2027 ke depan, tahun ini ditargetkan satu juta hektar akan digarap meliputi wilayah Papua Selatan, Kaltim, Kalsel, Kalbar, dan Sumatera Selatan. Tahun berikutnya, satu juta hektar bakal digarap di wilayah Papua Selatan, Kalteng, Papua Barat, Kalbar, dan Riau. Satu juta hektar di tahun berikutnya direncanakan akan dibuka di wilayah Sumatera Selatan, Kalteng, Papua Selatan, Papua, dan Kalimantan Utara.
Dalam cuplikan dokumen rencana lokasi pelaksanaan program cetak sawah dan oplah yang diterima Tirto dari Kementan, terdapat 3 provinsi utama di tahun 2025 yang menjadi sasaran program cetak sawah atau ekstensifikasi lahan pangan. Masing-masing wilayah rencananya dicetak 150 ribu hektar sawah, meliputi Kalteng, Kalsel, dan Sumatera Selatan. Provinsi lain akan dicetak seluas 50 ribu hektar untuk sawah.
Sementara itu, optimalisasi lahan tahun ini juga bakal menyasar total seluas 500 ribu lahan. Proyek ini akan dilaksanakan di 14 provinsi dengan rincian 48 kabupaten/kota. Ditotal, ada 1 juta hektar lahan serta sawah yang digarap pemerintah tahun ini untuk program pangan.
Ketua Task Force Cetak Sawah Kementan, Husnain, menjelaskan bahwa program mengejar target swasembada pangan pemerintahan Prabowo ini menyasar lokasi-lokasi yang bisa dioptimalkan untuk pertanian pangan, seperti lahan-lahan rawa. Perempuan yang akrab disapa Uut itu membenarkan bahwa program cetak sawah dan optimalisasi lahan Prabowo juga akan kembali menyasar lahan di bekas lumbung pangan terdahulu, yakni proyek food estate era Jokowi dan proyek lahan gambut (PLG) era Soeharto.
“Ya betul, sebagian termasuk lahan eks PLG atau FE [food estate]. Cetak sawah dilakukan di lahan baru atau lahan sawah yang ditinggalkan lebih dari 15 tahun karena rusaknya saluran irigasi. Oplah [optimalisasi lahan] di lahan existing yang penggunaannya belum optimal,” kata Uut kepada wartawan Tirto lewat keterangan tertulis, Jumat (14/2/2025).
Sulit melihat perbedaan signifikan dari rencana lumbung pangan Prabowo dengan proyek food estate era pemerintahan sebelumnya. Meski memiliki tajuk yang berbeda, tidak bisa dipungkiri program cetak sawah dan optimalisasi lahan 3 juta hektar di luar pulau Jawa tampak seperti ‘saudara kembar’ dari program food estate era Jokowi. Bahkan, titik lokasi pelaksanaan proyek cetak sawah dan optimalisasi lahan beririsan dengan warisan proyek lumbung pangan rezim pemerintahan terdahulu.
Hal ini merupakan masalah yang terus lahir dari mimpi swasembada pangan tiap pucuk pimpinan pemerintahan Indonesia. Presiden baru kembali menggunakan konsep lama meskipun konsep tersebut berulang kali telah membuktikan kegagalannya sebagai cara menuju swasembada pangan. Pemerintah seolah tidak pernah mengevaluasi dan mengupas faktor gagalnya proyek lumbung pangan atau food estate di kepemimpinan sebelumnya. Padahal, sejarah berkali-kali mengajarkan bahwa proyek semacam ini lebih sering gagal daripada mendulang keberhasilan.
Kegagalan proyek food estate sejak pemerintahan Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Jokowi bukan sekadar hipotesis, melainkan fakta empiris yang banyak tertuang dalam berbagai riset dan artikel ilmiah. Food estate zaman Jokowi misalnya, yang digadang-gadang akan membuat Indonesia menjadi lumbung pangan dunia, justru berakhir menyedihkan. Lahan-lahan ribuan hektar yang dibuka di wilayah seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, hingga Papua terbukti tidak produktif, bahkan sebagian besar terbengkalai.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, menilai proyek cetak sawah dan optimalisasi lahan akan mengulangi lagi kegagalan food estate bila tidak memperhatikan empat pilar utama pertanian pangan. Pertama, kecocokan tanah serta kondisi agroklimat. Kedua, kelayakan infrastruktur pendukung pertanian yang meliputi irigasi hingga tata kelola usaha tani.
Selanjutnya, budidaya serta teknologi pertanian. Budidaya adalah kecocokan varietas atau tanaman yang dipilih untuk digarap. Sementara teknologi, perlu tersedia berkelanjutan alias tidak hanya datang atau ramai di awal rencana tanam. Terakhir, urgensi pilar sosial ekonomi.
“Kami amati, hampir seluruh proyek-proyek food estate yang sekarang ini ada, amat sangat jarang memenuhi keempat-empatnya. Padahal salah satu saja dari keempat tersebut, empat pilar tersebut kurang, tidak ada, atau tidak sempurna, maka dijamin gagal,” kata Andreas kepada wartawan Tirto lewat sambungan telepon, Kamis (13/2/2025).
Dalam pandangan Andreas, tidak ada perbedaan signifikan selain penamaan antara proyek cetak sawah dan optimalisasi lahan pemerintahan Prabowo dengan food estate era Jokowi. Food estate, kata dia, adalah upaya pengelolaan lahan skala besar yang dilakukan individu atau korporasi. Sementara program cetak sawah, Andreas memperkirakan akan melibatkan transmigran untuk menggarap lahan yang disediakan pemerintah di daerah sasaran. Tetapi secara prinsip, bak pinang dibelah dua, alias sama saja.
Andreas mengingatkan agar pemerintahan Prabowo lebih matang dalam menggarap proyek lumbung pangan kali ini. Misalnya, memastikan bahwa sawah atau lahan yang sudah dibuka pasti memiliki petani penggarap. Pengalaman Andreas, proyek food estate rezim Jokowi bermasalah karena tidak mengedepankan aspek sosial-ekonomi.
Berdasarkan pengamatan Andreas, banyak petani yang tak mau berpartisipasi dalam proyek food estate seperti di wilayah Dadahup, Kalimantan Tengah, karena mereka sudah memprediksi proyek ini akan berakhir gagal. Alhasil, target pangan yang dihasilkan tidak bisa terealisasi dan lahan jadi terbengkalai.
“Kami datang ke sana, enggak ada petani yang mau (ikut menggarap). Karena mereka tahu risiko gagalnya sangat tinggi. Lalu akhirnya kami dapat di Blok A-2 yang rencananya 200 hektare juga, itu hanya terpenuhi 93 hektare,” tutur Andreas.
Kembar Identik Food Estate dan Proyek Cetak Sawah
Proyek food estate yang diluncurkan pada era Presiden Jokowi bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia lewat pengembangan lahan pertanian skala raksasa. Narasi krisis pangan global imbas pandemi COVID-19 mempermulus rencana ini agar memasukan food estate menjadi bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Tujuan utama food estate sebetulnya meningkatkan produksi bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, dan singkong, untuk menekan ketergantungan impor.
Food estate menargetkan penggunaan lahan terbengkalai atau yang tidak digunakan secara efektif agar menjadi lebih produktif. Salah satu jenis lahan yang termasuk dalam kategori itu versi pemerintah adalah lahan gambut dan rawa. Empat tahun berjalan, program food estate nyatanya belum mampu memperlihatkan kontribusi signifikan seperti yang diharapkan dalam meningkatkan produksi pangan.
Maka jika cara serupa diterapkan, dikhawatirkan juga akan mengulang kesalahan yang sama. Terlebih, pengembangan lumbung pangan nasional, daerah, serta desa termasuk dalam salah satu program prioritas quick win alias Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Prabowo-Gibran.
Sejarah mencatat bahwa proyek lumbung pangan telah diinisiasi sejak Orde Baru dengan hasil yang tidak memuaskan. Pada era Orde Baru, misalnya, Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah berujung pada kerusakan lingkungan dan bencana kebakaran berulang. Demikian pula, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghadapi penolakan masyarakat adat dan tidak berhasil meningkatkan produksi pangan.
Di era Jokowi, program lumbung pangan atau food estate juga berakhir membawa bencana lingkungan dan membuat petani lokal serta masyarakat adat sengsara. Beberapa wilayah di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, hingga Papua Selatan yang menjadi lokasi food estate justru dikerubungi berbagai masalah.
Berdasarkan catatan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)–LSM di bidang agraria dan masyarakat adat yang berpusat di Sumatera Utara–pada 2023 lalu, food estate di Humbang Hasundutan belum melahirkan kesejahteraan bagi petani lokal. Petani menjadi budak di tanahnya sendiri karena menyewakan tanah dengan harga murah kepada korporasi yang mengembangkan food estate. Selain itu, budaya bertani masyarakat adat juga dipaksa berubah sehingga mengikuti arahan program pangan pemerintah.
Pengamatan KSPPM terhadap desa Ria Ria, Humbang Hasundutan, pada tahun perdana program food estate dilaksanakan banyak petani yang akhirnya mengurangi waktu bekerja di sawah, karena harus mengalokasikan lebih banyak waktu merawat tanaman sesuai standar yang ditetapkan pengelola program food estate. Belum lagi temuan banyaknya sarana-prasarana program ini yang rusak karena tidak dirawat, seperti gedung penyimpanan bibit, pipa-pipa air irigasi, CCTV dan fasilitas lainnya.
Nasib proyek food estate di Kalimantan Tengah lebih mengenaskan. Ribuan lahan pertanian singkong di wilayah Gunung Mas gagal dan tidak mencapai panen besar. Pemerintah lantas banting setir menanam jagung, namun hasilnya juga tidak memuaskan.
Kajian terkait proyek food estate di Kalimantan Tengah oleh FIAN Indonesia pada 2022 menemukan bahwa di semua lokasi proyek, meliputi Mantangai Hulu, Kalumpang, di Kabupaten Kapuas, serta di Gunung Mas, sosialisasi mengenai program food estate tidak pernah menanyakan tentang status tanah yang masuk dalam plot proyek menurut versi penduduk setempat. Realitas tenurial yang telah lama hadir di masyarakat adat lantas diabaikan begitu saja oleh negara. Kehadiran tentara, karena food estate di Kalimantan Tengah dikomandoi Kementerian Pertahanan, membuat warga yang menolak program ini menjadi segan dan merasa terintimidasi.
Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan food estate di Merauke, Papua Selatan, yang saat ini dilanjutkan menjadi lokasi cetak sawah era Presiden Prabowo. Proyek lumbung pangan dan energi era Jokowi hingga ke pemerintahan Prabowo di Merauke memakan lahan seluas total 2,29 juta hektar. Jokowi meluncurkan program perkebunan tebu dan industri bioetanol dengan luas 1,11 juta hektar di Merauke Selatan, sedangkan Prabowo membuat program cetak sawah di wilayah utara Merauke seluas 1,18 juta hektar.
Indonesia Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat deforestasi di Papua Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat ke angka 190.000 hektar pada tahun 2022-2023 akibat proyek ini. Deforestasi ini berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dioksida hingga 782,45 juta ton, dan kontradiktif dengan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050.
Selain itu, deforestasi yang terjadi karena food estate turut mengancam keanekaragaman hayati di wilayah Merauke. Bayang-bayang konflik agraria dengan masyarakat adat menjadi persoalan yang berulang juga sejak wilayah Merauke dijadikan program lumbung pangan di era pemerintahan SBY.
Periset pangan dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menilai program ekstensifikasi lahan lewat cetak sawah era Prabowo akan mengulang kegagalan food estate atau proyek lumbung pangan pemerintah terdahulu jika masih mengabaikan kaidah ilmiah. Apalagi, lahan yang sudah dibuka dari proyek sebelum saja masih panen polemik dan tidak optimal.
Membuka lagi lahan anyar untuk mengejar target swasembada pangan hanya memperluas kerusakan lingkungan. Lagi-lagi petani yang akan kembali dirugikan karena menuruti ambisi kebijakan pangan negara. Menurut Eliza, langkah itu turut mendatangkan kerugian ekonomi karena metode yang sama dijamin hanya membawa kegagalan. Padahal, banyak program di sektor produktif lain yang harus dikorbankan.
“Apalagi di tengah kondisi efisiensi anggaran, maka program yang sekiranya gagal dan kurang efektif, semestinya dihentikan,” ucap Eliza kepada wartawan Tirto, Jumat pekan lalu.
Eliza menilai program food estate yang bergulir sejak era Jokowi juga belum menunjukkan kontribusi signifikan terhadap peningkatan produktivitas pangan nasional. Sebab, proyek lumbung pangan secara masif belum pernah ada yang betul-betul berhasil sejak era Orde Baru. Setiap rezim pemerintahan terus mengulang-ulang metode yang sama dan hanya membuang anggaran yang besar. Impor beras besar-besaran pun masih terus dilakukan.
Meski secara data produksi padi terus menurun, kata Eliza, bila memakai neraca beras memang masih tergolong surplus. Tetapi surplus itu dari tahun ke tahun menipis. Kalau berkaca ke era Soeharto, antara produksi dan konsumsi beras masih ada surplus sekitar 2,5 juta ton. Saat ini, Eliza melihat, surplusnya sangat tipis, paling hanya sekitar 800 ribu ton. Itulah mengapa pemerintah terus mengimpor beras untuk mengisi cadangan pangan.
Maka, mimpi swasembada lewat food estate terbukti musykil tercapai. Pemerintah terus mengimpor beras dalam jumlah besar meskipun proyek lumbung pangan terus diperluas. Ini seakan-akan menunjukkan bahwa perlu reorientasi program pangan yang lebih efektif untuk mengedepankan pertanian pangan yang berbasis ilmiah serta tak memarjinalkan petani dan masyarakat adat.
“Satu hal lagi, food estate memaksakan penggunaan lahan bekas gambut atau pembukaan hutan baru. Ini mengorbankan hutan kita yang tersisa untuk pangan. Padahal ada cara lain yang efektif untuk meningkatkan produksi pangan dengan intensifikasi,” terang Eliza.
Agar Tak Mengulang Kegagalan
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, menilai Prabowo seolah hanya mengganti terminologi food estate menjadi program cetak sawah. Ia juga menyasar ekstensifikasi lahan pada daerah-daerah yang menjadi lokasi food estate. Uli mengingatkan bahwa proyek ini rentan gagal jika mengabaikan keragaman pangan di daerah dengan memaksakan selera pertanian pangan versi pemerintahan pusat.
Kondisi itu diperparah dengan wacana bahwa pemerintah Prabowo akan mengubah 20,6 juta hektar kawasan hutan menjadi lahan pertanian untuk mengejar target swasembada pangan pada 2027. Wacana ini sebelumnya disampaikan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang mengaku telah mengidentifikasi ada kawasan hutan seluas 20,6 juta hektar berpotensi dimanfaatkan sebagai cadangan pangan, energi, dan air. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Senayan, Jumat (24/1/2025) lalu, Juli menyatakan rencana ini sejalan dengan food estate yang digulirkan pemerintah.
Uli menilai, wacana mengubah hutan seluas 20,6 juta hektar itu tidak transparans hingga kini. Sampai sekarang, masyarakat sipil masih kesulitan mengakses detail dari lokasi-lokasi kawasan hutan yang akan dimanfaatkan sebagai cadangan pangan.
“Kalau kemudian tidak dijaga transparansinya oleh Kementerian Kehutanan, ini akan rentan ditunggangi pihak-pihak berkepentingan lainnya. Misal pihak-pihak yang cuma mau ambil kayunya aja,” kata Uli ketika ditemui Tirto di kantor Eknas WALHI di Jakarta Selatan, pekan lalu.
Rencana mengubah 20,6 juta hektar kawasan hutan untuk pangan dan energi dikhawatirkan menjadi proyek legalisasi deforestasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Agenda demi target swasembada pangan 2027 ini juga rawan meningkatkan eskalasi konflik agraria di daerah dan mengundang bencana ekologis. Selama ini, masyarakat terus jadi korban kriminalisasi saat konflik agraria berlangsung.
Apalagi menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, sejak 100 hari pertama Prabowo dilantik menjadi presiden, sudah terjadi 63 letusan konflik agraria di lahan seluas 66.082,19 hektar atau hampir seluas Provinsi DKI Jakarta, dengan korban terdampak sebanyak 10.075 keluarga. Adapun selama satu dekade terakhir, setidaknya terjadi 2.841 kasus kriminalisasi, 1.054 kasus penganiayaan, 88 orang tertembak, dan 79 orang tewas akibat konflik agraria.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kemenhut, Ade Tri Ajikusumah, mengklaim tidak ada rencana atau niatan pemerintah melakukan deforestasi dalam pemanfaatan hutan seluas 20 juta hektar sebagai cadangan pangan. Aji menyebut bahwa agenda ketahanan pangan ini justru akan menghasilkan reforestasi karena melakukan kegiatan agroforestri. Namun, ia tak membeberkan detail di mana saja lokasi hutan yang digunakan untuk rencana ambisius ini.
“Bukan diubah menjadi lokasi pertanian tapi kawasan hutan yang digunakan, dioptimalisasi melalui sistem agroforestri atau sylvo forestry. Lokasinya menyebar, ada Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan seterusnya di seluruh Indonesia,” jelas Aji kepada wartawan Tirto melalui pesan singkat, pekan lalu.
Peneliti senior dari Sajogyo Institute, Eko Cahyono, memandang program pangan yang saat ini dikejar pemerintah masih terfokus pada pendekatan ketahanan dan kemandirian pangan. Imbasnya, pemerintah mengabaikan konsep kedaulatan pangan yang lebih menitikberatkan diversifikasi pangan dan budaya pertanian lokal yang beragam di masyarakat Indonesia. Tak mengherankan jika pemerintah sering menemui kegagalan karena bertindak 'sok tahu’ dan meminggirkan petani sebagai subjek utama penggerak pertanian.
Eko menilai, dalam paradigma politik pangan dan pembangunan, kebijakan Prabowo sama saja dengan era Jokowi. Pendekatan yang digunakan masih serupa: ketahanan pangan. Hal ini dikhawatirkan membuat Prabowo mengulang kegagalan pemerintahan Jokowi.
“Itu persis sama. Yang penting ada pangan, terserah mau dari industri, mau dari impor, mau dari cetak sawah besar-besaran, tapi di industri skala besar yang di-lead oleh negara dan swasta nanti dikasihkan dan itu untuk memenuhi kebutuhan pangan,” jelas Eko.
Pendekatan itu, kata Eko, membuat program pangan Prabowo seperti salin rupa food estate era Jokowi. Keduanya dinilai Eko melanggengkan kebijakan korporatokrasi. Kebijakan politik pangan itu membuat pemerintah lebih berpihak kepada korporasi, alih-alih menyejahterakan petani dan masyarakat adat yang mengelola pertanian.
Upaya cetak sawah 3 juta hektar di luar pulau Jawa juga dinilai Eko tidak memiliki basis alasan yang kuat. Apabila persoalan utamanya adalah lahan dan sawah di Jawa yang menghilang, seharusnya yang dilakukan adalah optimalisasi lahan atau intensifikasi secara efektif, bukan mencetak lahan baru.
Pemerintah seharusnya berkomitmen melindungi lahan sawah tersisa dari gempuran konversi. Cara lain yang bisa dilakukan adalah menjalankan amanat reforma agraria yang hingga saat ini berjalan tanpa tujuan jelas. Bukan justru merampas tanah-tanah milik rakyat atas dalih kepemilikan negara dan skema politik pangan yang menyengsarakan petani.
“Pertanyaan pertamanya itu [cetak] sawahnya siapa? Tanah siapa? Karena kasus yang lain di food estate tempat lain itu perkara konflik tanahnya. Belum lagi basis argumennya, basis argumennya pemerintah adalah seperti tadi itu, legal but not legitimate,” sambung Eko.
Ketua Task Force Cetak Sawah Kementan, Husnain, memastikan program di era pemerintahan Prabowo tak akan mengulang kegagalan sebelumnya. Menurutnya, cetak sawah dan optimalisasi lahan akan lebih melibatkan petani lokal dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan program.
Selain itu, didukung penggunaan teknologi yang lebih maju untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian. Husnain percaya optimalisasi lahan yang sudah eksisting juga meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas. Dengan begitu, swasembada pangan diyakini bisa tercapai pada 2027.
“Optimalisasi lahan [juga] tersebar di semua provinsi yang ada LBS rawa, melalui perbaikan infrastruktur khususnya pengairan dan bantuan olah tanah serta alsin,” kata Husnain.
**Tulisan ini merupakan bagian dari Beasiswa Liputan AJI Indonesia dengan topik 100 Hari Prabowo-Gibran.
Penulis: Mochammad Fajar Nur & Alfitra Akbar
Editor: Rina Nurjanah