tirto.id - Keterlibatan militer di dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengembalikan ingatan kita pada masa orde baru. Kecenderungan pendekatan militeristik terlihat begitu dominan: terutama di sektor-sektor pangan. Sektor yang seharusnya menjadi domain pemerintahan sipil tersebut, kini justru semakin banyak melibatkan pihak militer dalam proses produksi, distribusi, dan pengawasan.
Baru-baru ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, melakukan pergantian direksi Perum Bulog dengan menetapkan Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama - menggantikan Wahyu Suparyono. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-30/MBU/02/2025 tanggal 7 Februari 2025.
Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya, sebelumnya menjabat sebagai Asisten Teritorial Panglima TNI. Sebelumnya, ia juga pernah menduduki posisi sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda, yang bertanggung jawab atas wilayah Aceh.
Aroma militeristik sebelumnya juga terlihat dalam Program Makan Siang Bergizi Gratis (MBG). Markas besar (Mabes) TNI setidaknya ikut mengerahkan Komando Distrik Militer (Kodim), 14 Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) dan 41 Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) untuk mendukung program prioritas Prabowo tersebut.
Di saat yang sama Kementerian Pertahanan juga mewacanakan membentuk 100 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang terdiri atas kompi perikanan, kompi peternakan dan kompi pertanian. Gagasan ini sudah diusulkan pada rapat bersama Komisi I DPR-RI sejak akhir 2024. Sesuai arahan Prabowo Subianto, 100 batalyon baru itu akan difokuskan untuk mendukung program pemerintah di bidang pembangunan dan pertanian.
Keterlibatan militeristik di sektor pangan ini sejatinya bukan hal baru. Pada September 2020, Presiden Jokowi pernah membuat kebijakan dan menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, saat itu menjadi leading sector pengembangan lumbung pangan nasional atau food estate, karena hal ini menyangkut cadangan strategis pangan. Alasan Jokowi lantaran pangan menjadi bagian penting dari pertahanan nasional.
Penguatan cadangan pangan pemerintah melalui food estate dibagi menjadi dua skema, yakni skema non militer dan skema militer. Skema non militer, sumber lahan berasal dari petani atau kelompok tani oleh petani atau kelompok tani dan investor. Sedangkan skema militer, sumber lahan berasal dari pelepasan kawasan hutan dan dikelola melalui pembentukan BCLS (Badan Cadangan Logistik Strategis) dan Kementerian Pertahanan.
Kekhawatiran publik bahwa semakin kuatnya peran militer dalam sektor pangan ini justru menambah potensi pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat sipil. Keterlibatan militer yang berlebihan dapat memperburuk ketergantungan pada kekuatan militer dalam bidang seharusnya bisa dikelola secara lebih terbuka oleh pemerintah sipil.
Risiko lainnya adalah bahwa pengelolaan pangan oleh militer bisa lebih fokus pada kontrol dan pengawasan, daripada menjamin kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sipil berisiko kehilangan suara mereka dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan distribusi dan akses pangan, yang dapat memicu ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan pemusatan kekuasaan di tangan militer.
Menurut Eliza, pemerintah perlu berhati-hati dan menetapkan secara jelas mengenai mana kewenangan sipil dan kewenangannya militer. Jangan sampai kemudian masyarakat terutama yang kalangan tua merasakan kelamnya bagaimana dulu masa pemerintahan presiden sebelum-sebelumnya menggunakan pendekatannya militer.
“Itu kan menyisakan kenangan tertentu bagi kalangan ini setiap masyarakat. Jadi pemerintah sebaiknya berhati-hati untuk tetap menjaga kepercayaan publik,” jelas dia.
Pemerintah Harus Belajar dari Masa Lalu
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai pendekatan militeristik di sektor-sektor pangan seolah menunjukkan pemerintah saat ini tidak belajar dari masa lalu. Seharusnya, kata dia, pemerintah belajar dari sejarah di masa lalu, di mana militer memimpin banyak lembaga-lembaga sipil yang terjadi semakin rusak dan tidak bisa ada kritik di dalamnya.
Isnur mengatakan, ketika militer memimpin tidak ada diskusi dan transparansi, sehingga tidak ada yang mampu sanggup untuk mengkritik di dalamnya. Karena segalanya akan dilakukan dengan satu komando atau efisiensi militer itu sendiri.
Dalam TAP MPR tentang pemisahan TNI - Polri konsiderannya jelas bahwa peran-peran fungsi sosial, politik dalam dwi fungsi militer itu telah menghancurkan sendi-sendi demokrasi. Akibatnya apa? Tidak terdapat check and balance dari masyarakat kepada instruksi ini. “Itu yang pertama,” imbuh dia.
Kedua, lanjut Isnur, pendekatan militeristik ini mengkhianati mandat dari konstitusi dan Undang-Undang TNI dan Pertahanan. Karena di konstitusi dan Undang-Undang TNI jelas profesionalisme TNI itu harus pada tugas pokok dan fungsinya yakni untuk mengatasi ancaman yang datang dari luar atau fungsi pertahanan.
Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, menambahkan bila merujuk pada konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang TNI, mengurusi ketahanan pangan jelas bukan tugas dan kewenangan TNI. Ini merupakan tugas Kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian maupun pemerintah pusat dan daerah.
Maka, ketika pendekatan militeristik yang dilakukan Prabowo dengan menarik kembali TNI dalam urusan diberbagai bidang di luar kapasitas dan kewenangannya justru akan kontra produktif bahkan berdampak buruk bagi kerugian negara dan masyarakat.
Di sisi lain, kata Arif, TNI juga akan kehilangan arah dan semakin menjauh dari cita-cita reformasi untuk mewujudkan prajurit profesional yang fokus membidangi persoalan pertahanan. TNI akan terjebak menjadi alat politik kekuasaan.
Pendekatan ini jika terus dilakukan akan berbahaya bagi demokrasi dan mengembalikan praktik dwi fungsi ABRI di masa orde baru. Pelibatan TNI itu juga akan berdampak buruk pada rusaknya tata kelola pemerintahan demokrasi dan terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang karena semuanya akan diambil alih oleh TNI.
“Demokrasi akan ambruk dan Indonesia kembali menjadi negara otoriter,” jelas dia.
Ada Sisi Positifnya?
Meski banyak negatifnya, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melihat keterlibatan militer dalam sektor pangan bisa membawa dampak positif. Namun juga perlu diwaspadai risiko-risiko yang dapat muncul, terutama terkait dengan supremasi sipil.
"Dampak positifnya, pertama, TNI memiliki kapasitas logistik, disiplin, dan struktur yang memadai untuk memainkan peran kunci dalam mempercepat ketahanan pangan nasional, terutama dalam kondisi darurat," ujar dia kepada Tirto, Senin (10/2/2025).
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang melibatkan 351 Kodim, 14 Lantamal, dan 41 Lanud, serta rencana pembentukan 100 batalyon teritorial untuk mendukung ketahanan pangan, adalah contoh konkret bagaimana TNI dapat terlibat dalam memastikan distribusi pangan yang efisien terutama di daerah-daerah yang lebih sulit dijangkau oleh sektor sipil.
Peran ini juga tidak hanya relevan dalam konteks ketahanan pangan, tetapi dapat memperkuat kapasitas pertahanan negara secara keseluruhan. Dalam situasi geopolitik dan geoekonomi yang penuh ketidakpastian, ketergantungan pada cadangan pangan strategis menjadi semakin penting.
Namun, di sisi lain, perlu dicatat bahwa keterlibatan TNI dalam sektor pangan harus dikelola dengan hati-hati. Meskipun TNI memiliki semangat besar dan loyalitas tinggi dalam melaksanakan perintah, semangat ini bisa berisiko menjurus pada dominasi atau bahkan supremasi militer jika tidak dikendalikan dengan tepat.
Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menjaga agar keterlibatan militer dalam urusan sipil tetap berada dalam batas yang wajar. Sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa TNI menggantikan peran institusi sipil.
"Jika tidak diatur dengan hati-hati, ada kekhawatiran bahwa keterlibatan TNI yang meluas dalam sektor pangan bisa menimbulkan tumpang tindih dengan peran sipil, terutama dalam aspek produksi dan distribusi pangan,” jelas dia.
Pengaruh positif keterlibatan militer dalam urusan pangan juga diamini oleh Eliza dari CORE. Kata Eliza, segala urusan berkaitan dengan pangan bisa cepat direspons atas perintah dari pusat. Karena selama ini, yang terjadi di Indonesia antara pusat dengan daerah kadang tidak sinkron sedangkan pusat menginginkan percepatan.
“Nah mungkin dengan pendekatan tadi yang kalau menggunakan cara-cara militer yang komando gitu kan dari atas sampai ke bawah itu dia akan cepat dilaksanakan. Jadi ya ada plus minusnya dengan pendekatan yang seperti itu,” jelas Eliza.
Eliza melihat bahwa, pendekatan Prabowo kelihatannya menginginkan komando dari pusat segera langsung dieksekusi di daerah. Maka dengan adanya penempatan perwira TNI seperti di Perum Bulog misalnya, dapat mempercepat serapan gabah petani. Mengingat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) rata-rata gabah di petani itu masih relatif rendah bahkan ada sampai Rp5.000 atau di bawah HPP pemerintah yang Rp6.500.
Untuk diketahui, dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Kepbadan) Nomor 2 Tahun 2025 tanggal 12 Januari 2025 tentang Perubahan Atas HPP dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras, diatur HPP gabah dan beras bagi Bulog. Gabah Kering Panen (GKP) di petani sebesar Rp6.500 per kilogram (kg) dengan kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen.
Sementara GKP di penggilingan sebesar Rp6.700 per kg dengan kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen; Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp8.000 per kg dengan kualitas kadar air maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen.
Selanjutnya GKG di Gudang Bulog sebesar Rp8.200 per kg dengan kualitas kadar air maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen. Lalu untuk beras di gudang Bulog sebesar Rp12.000 per kg dengan kualitas derajat sosoh minimal 100 persen, kadar air maksimal 14 persen, butir patah maksimal 25 persen, dan butir menir maksimal 2 persen.
“Jadi artinya memang pemerintah ingin menjaga harga gabah di tingkat petani agar tidak anjlog. Nah dengan cara apa? menyerap percepatan penyerapan gabah para petani kita. Karena bentar lagi kan panen raya. Jadi mengantisipasi agar tidak terjadi penurunan harga gabah yang terus berlanjut makanya diperlukan percepatan,” jelas dia.
Terlepas dari kontranya, Eliza berharap, pemerintah dapat mengupayakan yang terbaik untuk pertanian Indonesia. Untuk itu, perlu dikawal bersama jangan sampai ada hal-hal dan kejadian yang tidak diinginkan terjadi. “Jadi ya kita kawal bersama semoga saja ini setidaknya bisa membantu mensejahterakan para pertanian kita,” pungkas dia.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, sebelumnya sempat mengungkap bahwa alasan pergantian posisi Direktur Utama di Perum Bulog dilakukan sesuai kebutuhan organisasi. Pemerintah tak memiliki alasan khusus terkait dengan pergantian tersebut.
Sudaryono mengatakan, Dirut Bulog sebelumnya, Wahyu Suparyono, telah ditempatkan di tempat lain yang sesuai dengan latar belakangnya. Hanya saja, Wamentan tak menjelaskan secara detail penempatan Wahyu saat ini. “Saya kurang tahu ya. Kalau nggak salah, di sektor keuangan, di sektor investasi. Beliau juga kan background-nya akuntan,” katanya.
Sementara itu, Markas Besar TNI juga menghormati keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, dalam menunjuk Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog.
"TNI selalu menghormati setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah, terutama dalam penunjukan sebagai pejabat di lingkungan BUMN," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal TNI, Hariyanto dikutip Antara.
Terkait status Novi Helmi yang masih sebagai anggota TNI aktif, Hariyanto mengaku pihaknya akan mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Dia tidak menjelaskan dengan rinci seperti apa status Novi di tubuh TNI ketika sudah menjabat sebagai Direktur Perum Bulog.
"Adapun nantinya proses administrasi terkait status keanggotaan Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya di lingkup TNI tentunya akan dilakukan sesuai ketentuan melalui mekanisme aturan yang berlaku," jelas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang