tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 Tahun 2025 yang merinci pemangkasan anggaran dana transfer ke daerah (TKD) senilai Rp50,59 triliun. Beleid ini menetapkan penyesuaian pencadangan transfer ke daerah dalam pelaksanaan APBN dan APBD 2025 sebagaimana arahan efisiensi anggaran dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025.
Pencadangan yang dimaksud merupakan pemangkasan anggaran tiap instrumen belanja transfer ke daerah. Pemangkasan dilakukan terhadap enam instrumen, di antaranya kurang bayar dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) fisik, dana otonomi khusus (otsus), dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan dana desa.
Untuk kurang bayar dana bagi hasil, dilakukan pemangkasan sebesar Rp13,90 triliun dari pagu awal Rp27,81 triliun. Kemudian alokasi DAU dipangkas sebesar Rp15,68 triliun dari pagu Rp446,63 triliun. Maka, nilai yang akan ditransfer nantinya menjadi sebesar Rp430,96 triliun.
Selanjutnya DAK fisik yang semula dianggarkan sebesar Rp36,95 triliun, namun dipangkas sebesar Rp18,31 triliun sehingga menjadi Rp18,65 triliun. Pemangkasan dilakukan terhadap DAK fisik bidang konektivitas sebesar Rp14,6 triliun, bidang irigasi Rp1,72 triliun, bidang pangan pertanian Rp675,33 miliar, dan bidang pangan akuatik Rp1,31 triliun.
Sedangkan untuk dana otsus dipangkas sebesar Rp509,46 miliar dari pagu awal Rp14,52 triliun, menjadi Rp14,01 triliun. Rinciannya, dana otsus Papua menjadi sebesar Rp9,7 triliun dan otsus Aceh Rp4,31 triliun.
Sementara itu, dana keistimewaan DIY dipangkas sebesar Rp200 miliar dari pagu awal Rp1,2 triliun, sehingga total alokasi menjadi Rp1 triliun. Terakhir, anggaran dana desa dipangkas sebesar Rp2 triliun dari pagu Rp71 triliun. Maka, alokasi dana desa menjadi Rp69 triliun.
Diktum kedelapan KMK tersebut menyatakan pemangkasan anggaran yang disebut sebagai cadangan itu akan digunakan untuk mendanai kebutuhan prioritas pemerintah. KMK ini berlaku sejak tanggal ditetapkan pada 3 Februari 2025.
“Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,” tulis PMK tersebut sebagaimana dikutip Tirto, Jumat (7/2/2025).
Pemangkasan anggaran dana transfer ke daerah yang diputuskan oleh pemerintah pusat, tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah daerah (pemda). Kebijakan ini dinilai berpotensi berdampak langsung pada keberlanjutan program pembangunan daerah, serta pelayanan publik yang sangat bergantung pada dana transfer dari pusat.
Transfer daerah selama ini merupakan alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemda untuk membiayai berbagai program pembangunan dan layanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Pemangkasan ini menuntut pemda untuk menyesuaikan anggaran mereka, yang pada gilirannya berpotensi memperlambat laju pembangunan dan mengurangi kualitas pelayanan publik.
Jika dibedah satu per satu dari sisi kontribusi belanja pemerintah, misalnya. Pemangkasan anggaran ini jelas akan berdampak. Pada 2024 kontribusi belanja pemerintah daerah mungkin masih bisa ditopang dengan adanya Pemilu dan Pilkada serentak, sehingga porsinya terhadap PDB masih terjaga sekitar 7,7 persen dan pertumbuhannya masih 6 persen lebih.
Sementara situasi di 2025 ini dengan efisiensi anggaran pemerintah, pusat, dan juga daerah diperkirakan belanja pemerintah porsinya terhadap PDB itu bisa anjlok hingga 5 persen. Kemudian dari sisi pertumbuhan belanja pemerintah juga bisa di bawah. Bahkan pertumbuhannya bisa negatif.
“Maka itu yang terjadi,” imbuh Bhima.
Selain itu, Bhima melihat efisiensi secara besar-besaran berdampak kepada pemangkasan anggaran daerah juga kontradiksi sebenarnya. Karena di satu sisi nomenklatur kementerian lembaganya tidak diubah atau terlalu gemuk, namun dipaksakan ada efisiensi anggaran.
“Ini bisa mengancam ekonomi dan serapan tenaga kerja. Efisiensi yang dilakukan secara brutal, itu juga berdampak pada program-program di luar dari Makan Bergizi Gratis (MBG),” ungkapnya.
Program yang kemungkinan terdampak efisiensi misalnya di level Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Di mana, salah satu program mereka untuk mendorong industri berdaya saing ekspor atau membuka pasar-pasar ekspor alternatif, itu akan susah. Padahal di era perang dagang Amerika jilid kedua yang meluas, tidak hanya antara Amerika dengan Cina, Indonesia harus melakukan diplomasi internasional untuk membuka alternatif perdagangan.
“Belum lagi rapat-rapat, kemudian perjalanan dinas dipangkas. Ini agak-agak sulit ya. Kemudian untuk menjalankan hilirisasi, terutama hilirisasi produk pertanian, itu kan harus koordinasi dengan pemerintah daerah,” kata dia.
Dengan berbagai dampak di atas, artinya efisiensi ini bisa mengganggu tercapainya program pemda dan juga akan membuat pertumbuhan ekonomi 2025 diperkirakan hanya tumbuh 4,7 persen. Maka ini juga seharusnya jadi kajian dulu pemerintah sebelum melakukan efisiensi-efisiensi anggaran ini.
“Apalagi efisiensinya untuk MBG, yang kita tahu dampak MBG ternyata tidak sebesar itu dirasakan dan keterlibatan UMKM-nya masih minim,” jelasnya.
Selain itu, kritik lainnya adalah soal kapasitas fiskal di daerah yang berbeda-beda. Ada pemerintah daerah yang baru saja pemekaran, yang APBD-nya masih terbatas. Jika kemudian daerah itu kena pemangkasan dana transfer daerah, otomatis akan membuat semakin menderita ekonomi di daerah tersebut.
Di sisi lain, adanya Inpres 1/2025 dan KMK 29/2025 ini juga akan mencederai semangat desentralisasi fiskal di era otonomi daerah. Padahal seharusnya pemerintah pusat itu tidak ikut campur berlebihan terhadap instruksi pemangkasan dan efisiensi anggaran. Apalagi dana desa sebagian sudah dialokasikan untuk makan bergizi gratis.
“Infrastruktur daerah yang penting itu bisa juga menjadi tertunda atau bahkan dihentikan total. Nah itu apakah sudah dipikirkan sebelumnya?,” lanjutnya mempertanyakan.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan saat ini mayoritas daerah hanya memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbatas atau rata-rata hanya 15 persen dari APBD, sehingga sangat tergantung pada transfer dari pusat. Mayoritas daerah mengalokasikan sebagian besar APBD untuk biaya rutin.
“Maka dampaknya hanya menyisakan sedikit proporsi anggaran untuk pembangunan,” katanya kepada Tirto, Jumat (7/2/2025).
Dia mengamini bahwa pemotongan dana transfer daerah hingga 50 persen akan mengganggu program dan fungsi pemda, banyak layanan publik yang mungkin tidak berjalan optimal. Berbagai proyek penting pun berpotensi terbengkalai. Dalam jangka pendek, pemotongan ini menggerus pertumbuhan ekonomi, dan dalam jangka menengah-panjang akan mempengaruhi produktivitas dan efisiensi mesin ekonomi nasional.
Sisi Positifnya
Peneliti ekonomi makro dan keuangan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa, memahami daerah sampai saat ini masih sangat bergantung pada dana transfer. Namun jika dilihat lebih jauh, pemangkasan anggaran daerah ini sebenarnya ada sisi positif dan negatifnya.
Positifnya pemerintah daerah dapat mengefisiensikan belanjanya. Pemerintah daerah dipaksa harus fokus pada anggaran pelayanan publik dan belanja modal (untuk pembangunan). Hal ini juga harusnya memacu pemerintah daerah untuk tidak terus menerus meningkatkan belanja tapi tidak ditunjang peningkatan performa pendapatan asli daerah yang mumpuni.
“Karena arahan di Inpres 1/2025 sudah jelas apa yang mesti diefisiensikan,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (7/2/2025).
Maka beberapa strategi dari efisiensi pemerintah daerah perlu menyortir belanja program prioritas daerahnya. Selanjutnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) perlu dirapikan dan dirampingkan, serta perlu ada tupoksi yang jelas dan penyesuaian kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni, untuk mengurangi tenaga honorer (terutama berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dan digitalisasi).
Pemda juga harus meningkatan performa BUMD yang selama ini rata-rata masih belum menghasilkan profit untuk mendukung peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), sehingga perlu ada reformasi struktural BUMD agar lebih profesional. Di samping itu, pemda juga harus memaksimalkan potensi ekonomi daerah sesuai sektor unggulannya dengan tetap memperhatikan keberlanjutannya.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menambahkan pemerintah daerah dalam hal ini mungkin akan menghadapi tantangan dalam menjalankan program prioritas. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperkuat kolaborasi dengan sektor swasta dan meningkatkan efisiensi anggaran.
“Namun, tetap perlu pengawasan agar tidak mengganggu pelayanan publik,” imbuh dia kepada Tirto, Jumat (7/2/2025).
Pemerintah daerah bisa mengoptimalkan penggunaan anggaran yang ada dengan memangkas belanja yang kurang prioritas. Mereka juga bisa berkolaborasi dengan pihak swasta atau mencari sumber pendanaan alternatif. Selain itu, memprioritaskan proyek yang berdampak langsung pada masyarakat menjadi strategi utama.
Di sisi lain, pemerintah daerah bisa fokus pada program seperti peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan, penguatan UMKM, serta pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan desa. Mereka juga bisa mengembangkan inisiatif ekonomi lokal dan memperkuat kolaborasi dengan sektor swasta.
Dalam bidang pendidikan misalnya, pemda bisa memprioritaskan peningkatan kualitas guru, pengadaan fasilitas sekolah yang layak, serta program beasiswa bagi siswa berprestasi atau siswa kurang mampu. Selain itu, program pelatihan vokasi dan pendidikan karakter juga dapat menjadi prioritas. Harapannya ke depan tentu dapat membuka lapangan usaha yang berbasis UMKM dan orientasi pasar lokal dan ekspor.
Berkaca dari beberapa hal di atas, pemangkasan anggaran transfer daerah ini setidaknya menjadi peringatan penting bagi pemangku kebijakan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan efisiensi fiskal dan kemampuan pemda dalam menjaga kesejahteraan masyarakat. Solusi yang lebih bersinergi, termasuk peningkatan kapasitas fiskal daerah, sangat penting untuk menjaga keberlanjutan pembangunan daerah.
Kedepannya, penting bagi pemerintah pusat dan pemda untuk bersama-sama merancang kebijakan yang lebih berbasis pada kebutuhan nyata di lapangan. Sambil memastikan bahwa pemotongan anggaran tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat yang sangat bergantung pada pelayanan dasar dari pemerintah daerah.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang