Menuju konten utama
Decode

Hemat-Hemat di Bulan Berkat, Budget Bukber & Belanja Diperketat

Perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh melemahnya daya beli akibat kondisi ekonomi. Apa saja pos yang terdampak?

Hemat-Hemat di Bulan Berkat, Budget Bukber & Belanja Diperketat
Header periksa data DECODE Pola Konsumsi Makanan di Ramadhan 2025. tirto.id/Fuad

tirto.id - Fauqa Nurvely Ginting (27 tahun) memilih untuk mengerem beberapa pos pengeluaran di Ramadhan tahun ini. Tak seperti 2024 lalu, berbagai agenda buka puasa bersama (bukber) di lingkungan pertemanannya nyaris tak pernah absen ia hadiri. Kebutuhan akan baju lebaran atau fesyen pun demikian. Ia cenderung merogoh kocek secara jor-joran di pos itu pada Ramadhan yang lalu.

Namun, sejak omzet usahanya menurun, wanita yang akrab disapa Fiqa itu mulai mengurangi alokasi kebutuhan untuk bukber dan baju lebaran, karena dianggap paling boros. Ia kini lebih selektif untuk tidak menerima semua ajakan bukber. Pun urusan baju lebaran, ia memilih beralih ke barang-barang yang lebih murah dan yang termasuk diskon.

“Sekarang mungkin lebih berhati-hati dengan anggaran (pengeluaran) saja, karena belakangan ini omzet usaha agak turun sedikit,” ujar Fiqa saat berbincang dengan Tirto, Rabu (5/3/2025).

Kendati menahan pengeluraran beberapa pos anggaran, Fiqa mengaku tak banyak mengutak-atik bujet untuk kebutuhan konsumsi makanan dan minuman. Pengeluaran buat sektor ini sehari berkisar antara Rp100-200 ribu (untuk tiga orang), tak jauh dibanding Ramadhan tahun lalu. Dana tersebut diperuntukkan membeli stok bahan memasak dan sudah termasuk takjil berbuka.

“Karena kalau makanan itu sudah menjadi kebutuhan juga kan, jadi gak bisa dikurang-kurangin,” ujar wanita asal Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat tersebut.

Berbeda dengan Fiqa, Pasha (26 tahun) justru memilih menahan pengeluaran untuk konsumsi makanan dan minuman selama Ramadhan. Alasannya sederhana, karena faktor kesehatan. Rata-rata ia hanya menghabiskan sekitar Rp50.000 dalam sehari. Uang tersebut dirasa cukup untuk stok belanja kebutuhan masak sendiri.

“Ramadhan ini aku kebetulan memang memulai diet. Jadi mungkin ini akan berpengaruh lah ya, ke pengeluaranku,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (5/3/2025).

Kondisi itu agak lain dibandingkan Ramadhan tahun lalu, di mana pegawai BUMN itu hampir setiap hari melakukan war takjil atau berburu takjil yang punya konsep “siapa cepat dia dapat”. Pasha juga kerap menghadiri bukber sana-sini, hingga mengonsumsi makanan secara berlebihan.

“Jadi [secara pengeluaran] pasti dibanding tahun lalu, insya Allah turun. Semoga niatku bisa bertahan sampai akhir,” candanya.

Pasar wadai Ramadhan di Palangka Raya

Pedagang melayani pembeli di pasar wadai (kue) Ramadhan, Kelurahan Langkai, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (2/3/2025). Pasar kue Ramadhan yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman tersebut menjadi pilihan warga setempat untuk membeli hidangan berbuka puasa. ANTARA FOTO/Auliya Rahman/nym.

Preferensi masyarakat untuk memasak selama Ramadhan, seperti yang dilakukan Fiqa dan Pasha memang terekam dalam laporan lembaga survei Jakpat berjudul "Future Insights into Ramadhan and Eid 2025". Hasil survei itu menyingkap, memasak di rumah merupakan cara yang paling disukai untuk menyiapkan makanan sahur dan berbuka, ketimbang makan yang dibawa pulang (take away), pesan antar online, makan di luar, dan katering.

“Jika dilihat lebih jauh berdasarkan wilayah, responden di Jabodetabek cenderung memilih makanan yang tidak dimasak di rumah, seperti makanan dibawa pulang atau pesan-antar daring untuk sahur dan berbuka daripada responden yang tinggal di wilayah Jawa atau luar Jawa,” tulis Jakpat dalam temuannya.

Menurut laporan Jakpat, kebutuhan makanan dan bukber selama Ramadhan masih menjadi kategori anggaran yang paling banyak dikeluarkan, setelah urusan zakat, infaq, dan sedekah. Artinya, persoalan makan dan minum memang tetap menjadi prioritas.

Jika dirinci, dari 1.702 Muslim yang terlibat dalam survei tersebut, sebanyak 82 persen menyatakan ingin menyalurkan dana untuk zakat, infak, atau sedekah. Menyusul di belakangnya pengeluaran untuk makanan Ramadhan dan Idul Fitri (75 persen), pengeluaran acara buka puasa bersama (66 persen), berbelanja kebutuhan Ramadhan dan Idul Fitri (62 persen), serta memenuhi berbagai kebutuhan lainnya (48 persen).

Dalam hal sumber dana untuk memenuhi kebutuhan Ramadhan, Jakpat mencatat sebanyak 69 persen responden akan menggunakan gaji mereka. Sementara itu, 52 persen responden mengandalkan tunjangan hari raya (THR), 49 persen memanfaatkan tabungan, dan sekira 7 persen bergantung pada pinjaman.

Tak heran kalau laporan terbaru Redseer Strategy Consultants memotret sekitar 93 persen konsumen di Tanah Air telah menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam menyongsong Ramadhan tahun ini. Anak muda di perkotaan disebut menjadi kelompok paling menggebu dan diprediksi akan menjadi konsumen utama di berbagai sektor belanja.

Studi tersebut memproyeksikan total belanja masyarakat Indonesia selama Ramadhan 2025 menyentuh 73 miliar dolar AS. Ini setara dengan 300 dolar AS per orang, alias Rp4,91 juta (asumsi kurs Rp16.399 per dolar AS).

Kendati menyoroti besarnya daya beli konsumen Indonesia selama musim Ramadhan, laporan Redseer juga menunjukkan bagaimana para konsumen cenderung lebih berhati-hati dan selektif dalam membelanjakan uang mereka, utamanya untuk barang mewah, seperti mobil, properti, atau barang elektronik.

"Kehati-hatian di kalangan konsumen telah menyebabkan mereka menunda pembelian beberapa barang mahal," begitu bunyi laporan tersebut.

Meski demikian, dengan adanya THR yang cair, diperkirakan akan terjadi lonjakan dalam belanja barang-barang mewah. Bagi mereka yang menunda pembelian besar, kemungkinan dana yang tersisa akan digunakan untuk membeli produk yang lebih terjangkau, seperti barang-barang trendi atau produk yang sudah lama diinginkan.

Bergeser Jadi Lebih “Ketat”

Meski semangat warga dalam menyambut Ramadhan tetap tinggi, bulan suci para penganut agama Islam kali ini sebetulnya diwarnai kewaspadaan. Seperti yang dilakukan Fiqa, pembatasan anggaran dilakukan dalam beberapa pos, terutama untuk berbuka bersama di luar rumah.

Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, terutama dalam aspek kebutuhan makanan dan tradisi berbuka bersama pada Ramadhan tahun ini, salah satunya dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat.

Penyebabnya yakni tekanan ekonomi, termasuk isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor industri. Catatan Tirto menunjukkan setidaknya ada empat perusahaan yang melakukan pemberhentian kerja, ratusan hingga ribuan orang pada awal 2025. Hal semacam ini tentu bikin masyarakat lebih membatasi anggaran.

Padahal, dalam kondisi normal, kata Anwar, Ramadhan biasanya menjadi momentum peningkatan konsumsi, terlebih untuk bahan makanan pokok, takjil, serta kegiatan buka bersama yang menjadi tradisi sosial di berbagai kalangan. Namun, dengan situasi ekonomi yang semakin berat, masyarakat tampaknya akan lebih selektif dalam membelanjakan uangnya.

Maka, salah satu yang akan terdampak adalah berkurangnya tradisi buka bersama di restoran atau tempat makan yang relatif mahal. Sebaliknya, menurut Anwar, konsumsi berbuka di rumah diprediksi akan meningkat, baik dalam lingkup keluarga maupun kelompok kecil.

Ini sejalan dengan strategi warga dalam menekan pengeluaran, yakni dengan memilih memasak sendiri ketimbang membeli makanan dari luar yang harganya cenderung lebih mahal.

“Kenaikan harga kebutuhan pokok yang sudah terjadi sejak awal tahun membuat rumah tangga dari kelas menengah ke bawah harus melakukan penyesuaian,” ujar Anwar kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Pernyataan Anwar bukan sekadar Otak-Atik Gathuk dan dikonfirmasi oleh jajak pendapat Populix teranyar. Hasil survei terhadap 1.119 responden itu mengungkap, lebih dari setengah responden, alias sebanyak 52 persen, menyatakan, mereka akan lebih berhati-hati dengan anggaran yang sudah direncanakan untuk kebutuhan makanan dan minuman selama Ramadhan. Langkah tersebut diambil demi menghindari overspending (pemborosan).

Lebih jauh, riset tersebut juga menemukan, meski masyarakat tetap membeli makanan dan minuman yang menjadi kebiasaan selama Ramadhan, sebagian besar bilang mereka bakal mengurangi pembelian produk makanan dan minuman yang tidak esensial.

Secara umum, masyarakat cenderung mempertahankan anggaran yang sama dengan tahun lalu. Tetapi mereka akan mengurangi pembelian produk yang dianggap kurang penting. Fokus utama mereka adalah membeli kebutuhan pokok yang biasa dibeli setiap Ramadhan.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, mengamini bahwa Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Penyesuaian pola konsumsi masyarakat terjadi akibat menurunnya antusiasme warga kelas menengah yang disebabkan dari gejala menurunnya daya beli masyarakat.

“Tahun lalu, masyarakat kelas ekonomi bawah masih ditopang oleh bantuan sosial (bansos) jor-joran di masa Pemilu. Tahun ini mereka tidak dapat bantalan lagi,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Sementara masyarakat kelas menengah yang jadi andalan penggerak ekonomi, dan konsumen usaha kuliner dadakan, juga banyak yang mengalami penurunan daya beli signifikan. Mereka bahkan ada yang terjun masuk ke kelompok miskin.

“Jadi dari sisi demand side, ekonomi kita jeblok dan tidak punya leverage lagi. Fenomena angka inflasi rendah namun tingkat konsumsi menurun itu penjelasanya,” jelas dia.

Bila melihat tren perkembangan inflasi bulanan selama lima tahun ke belakang, yakni selama 2020-2024, Ramadhan umumnya jadi momentum terjadinya kenaikan inflasi secara bulanan, meski kenaikannya bervariasi. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Ramadhan tahun 2020 (Maret) mencapai 0,08 persen month-to-month (mtm). Angka itu kemudian meningkat pada Ramadhan setahun setelahnya, yang jatuh pada April (0,13 persen).

Pada Ramadhan 2022, inflasi bulanan ada di level 0,95 persen. Lalu pada Ramadhan 2023 (Maret), tren inflasi berlanjut, kendati alami penurunan menjadi 0,18 persen. Inflasi kembali meningkat pada Ramadhan tahun lalu, alias pada Maret, yang mencapai 0,52 persen. Komoditas penyebab utama inflasi Maret 2024 didominasi oleh komoditas pangan bergejolak, di antaranya telur ayam ras, daging ayam ras, beras, cabai rawit, dan bawang putih.

Lantas, bagaimana dengan prediksi tingkat inflasi Ramadhan tahun ini?

Hal ini tentu menjadi pertanyaan, mengingat pada dua bulan pertama 2025, Indonesia sudah mulai mengalami deflasi secara bulanan. Deflasi bulanan tercatat sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 dan 0,48 persen pada Februari 2025. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan pihaknya belum bisa memprediksi apakah deflasi akan kembali terjadi di Maret atau sepanjang Ramadhan 2025.

“Untuk inflasi di bulan Ramadhan ataupun pada saat Hari Raya Idul Fitri, tentunya akan kami sampaikan pada April, seperti apa pengaruh Ramadhan terhadap inflasi di bulan tersebut,” ujar Amelia dalam konferensi pers perkembangan inflasi Februari 2025, di kantornya, Jakarta, Senin (3/3/2025).

Tren Sudah Terbaca, Tapi Pelaku Usaha Optimis

Penyesuaian pola konsumsi pada Ramadhan tahun ini rupanya sudah dibaca oleh pelaku usaha. Salah satunya Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APJI) yang bergerak di industri jasa boga dan pangan, termasuk katering, restoran, kafe, bakery, produsen bumbu dapur, frozen food, serta produk UMKM dan juga bahan baku penunjang masakan. APJI menyebut, bahwa dengan kondisi ekonomi yang melemah tahun ini, masyarakat jadi lebih selektif dalam membeli barang.

“Semoga ini tidak berdampak signifikan pada penjualan makanan, terutama bagi anggota APJI,” ujar Ketua Dewan Perwakilan Pusat (DPP) APJI, Tashya Megananda Yukki, kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Tashya mengatakan, tren konsumsi selama Ramadhan biasanya meningkat dibanding bulan biasa, di mana sektor seperti katering, restoran, serta usaha takjil dan makanan siap saji, biasanya kena dampak positif secara penjualan. Pesanan berbuka, sahur dan hampers pun meningkat, baik dari individu maupun perusahaan. Namun, dengan tantangan ekonomi saat ini, anggota APJI perlu menyesuaikan harga dan strategi pemasaran agar tetap kompetitif.

“Ramadhan tetap akan menjadi momentum positif bagi pelaku usaha jasa boga. Meski ada tantangan ekonomi, peluang tetap besar jika pelaku usaha bisa beradaptasi dengan harga yang kompetitif, inovasi produk, serta pemanfaatan layanan delivery dan pemasaran digital,” jelas dia.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, optimistis bahwa tingkat kunjungan dan jumlah transaksi penjualan pada Ramadhan dan Idul Fitri 2025 ini akan tetap bertumbuh dibandingkan dengan tahun lalu. Meski begitu, peningkatannya diperkirakan tidak akan terlalu signifikan.

“Diperkirakan hanya akan single digit saja [pertumbuhannya],” ujar Alphonzus kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Peningkatan ini pun, kata dia, didorong oleh berbagai aktivitas di pusat perbelanjaan. Mulai dari kegiatan dan acara yang bersifat hiburan, keagamaan dan kebudayaan yang terkait dengan Ramadhan serta Idul Fitri, serta berbagai program promo belanja yang mana salah satunya adalah diskon belanja.

Pemerintah, bersama pelaku usaha, sebenarnya sudah menyiasati melalui program diskon Friday Mubarak yang diluncurkan pada Jumat (28/2/2025). Program yang ditargetkan mendongkrak nilai penjualan mencapai Rp75 triliun ini berlangsung di sepanjang bulan puasa, berakhir pada 31 Maret 2025.

Penjualan ritel juga akan terdongkrak melalui program Belanja di Indonesia Aja (BINA) Lebaran yang diinisiasi oleh Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) dan Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI), serta Bazar Ramadhan dan Lebaran Sale oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA).

“Dan tentu ini diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dalam negeri,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, di peluncuran program tersebut.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty