tirto.id - Indonesia resmi memutuskan untuk bergabung sebagai anggota New Development Bank (NDB) - sebuah lembaga keuangan internasional yang didirikan oleh negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan banyak hal dan atas evaluasi dilakukan oleh Tim Kementerian Keuangan. Ini juga melengkapi posisi Indonesia yang sebelumnya lebih dulu bergabung menjadi bagian anggota BRICS pada Oktober 2024 lalu.
“Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk bergabung dengan New Development Bank dan mengikuti prosedur serta persyaratan yang telah diberikan kepada kami,” tegas Presiden Prabowo Subianto usai menerima Presiden NDB, Dilma Vana Rousseff, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa (25/3/2025) kemarin.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota NDB menandai langkah strategis tanah air dalam memperkuat kemitraan pembangunan dengan negara-negara berkembang dan lembaga multilateral. Prabowo berharap keanggotaan Indonesia di NDB dapat mendorong percepatan transformasi pembangunan nasional.
“Saya pikir bank pembangunan multilateral yang baru ini dapat menjadi pendorong kuat untuk mempercepat strategi transformasi kita,” ucapnya.
Presiden NDB, Dilma Rousseff, menyebut bahwa Indonesia merupakan negara penting di kawasan dan dunia, serta memiliki kesamaan visi dengan NDB dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. Dengan bergabungnya Indonesia, NDB siap memperkuat kerja sama global di bidang pembangunan berkelanjutan, transformasi ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.
“Indonesia adalah negara yang sangat penting di kawasan ini, di dunia, dan bagi Bank BRICS. Karena kami adalah negara berkembang di pasar yang sedang tumbuh, dan penting bagi kami membangun aliansi seperti ini,” tuturnya.
Rousseff juga mengapresiasi perencanaan pembangunan Indonesia yang dinilainya jelas dan berjangka panjang. Rousseff menyampaikan bahwa Indonesia dan NDB memiliki kesamaan prioritas dalam sektor investasi, termasuk infrastruktur, logistik, jalan, rel kereta, pelabuhan, bandara, hingga konektivitas digital dan transisi energi. Ia secara khusus memuji pencapaian Indonesia dalam penggunaan biofuel.
“Indonesia adalah negara yang memimpin dalam biofuel seperti biodiesel dengan capaian 40 persen. Saya sangat terkesan dengan hal ini,” ungkapnya.
Untuk saat ini, menurut Menteri Investasi dan Hilirisasi/CEO Danantara, Rosan Perkasa Roeslani, belum ada proyek spesifik yang akan dikerjasamakan dengan NDB, tetapi salah satu yang menjadi pembahasan adalah konversi sampah menjadi energi. Dia mengatakan NDB telah memiliki pengalaman dalam membiayai proyek serupa, dan Indonesia diundang untuk melihat langsung implementasinya.
"Kita juga diundang untuk melihat langsung dan melihat apa yang sudah mereka lakukan karena kebetulan ini juga sama dengan program dari kami, dari pemerintah juga, bagaimana kita bisa mengonversi sampah ini menjadi sebagai energi yang baik, yang bisa berdampak positif," ucap Rosan di Istana, Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Bergabungnya Indonesia dengan NDB diyakini dapat membuka berbagai peluang bagi pemerintah kita dalam hal pembiayaan infrastruktur, memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara BRICS, dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Ini tentu saja dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia di masa depan dan memperkokoh peran negara ini di tingkat global.
NDB yang didirikan pada 2014 itu diketahui mengantongi komitmen modal awal 100 miliar dolar AS. Operasi NDB selama periode 2022-2026 juga akan berfokus pada beberapa aspek. Di antaranya adalah Energi Bersih dan Efisiensi Energi, Infrastruktur Transportasi, Perlindungan Lingkungan, Infrastruktur Sosial, Infrastruktur Digital, dan lain sebagainya.
Selain itu, keanggotaan Indonesia juga bisa menjadi jembatan untuk koordinasi investasi atau pembangunan, karena New Development Bank ini akan lebih konkrit dibandingkan platform politiknya BRICS itu sendiri. “Jadi kalau pembahasan pembangunan secara teknis, mungkin pembahasannya akan lebih konkrit per proyek itu di NDB ini, yang dipimpin Dilma Rousseff,” imbuh Bhima.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengamini dari segi keuntungan NDB memang dapat memberi peluang bagi Indonesia untuk memperluas kerjasama dengan banyak negara, melalui platform yang lebih egaliter. Kedua, NDB juga memberi peluang pendanaan untuk berbagai program pemerintah.
Selama ini, kata dia, Indonesia terlalu tergantung pada Surat Utang Negara (SUN) untuk pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sudah mencapai 90 persen dari total utang. Ini jelas tidak sehat dan berisiko. Pada akhirnya market bisa melepas SUN ke pasar secara mendadak yg berimbas pada nilai tukar Rupiah.
“Maka, perlu proporsi lebih untuk pendanaan bersumber pada pinjaman, seperti bilateral, multilateral, Worrld Bank, ADB, AIIB, dan juga NDB tentunya. Intinya, keterlibatan kita di NDB ini sangat positif,” jelas dia.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menambahkan keanggotaan Indonesia dalam BRICS membuka peluang atau benefit yang strategis dalam hal memperluas pasar ekspor, meningkatkan investasi, dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Dengan adanya akses ke NDB, maka Indonesia memiliki alternatif sumber pendanaan untuk proyek infrastruktur.
“Di mana dapat mengurangi dominasi lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia. Selain itu, diversifikasi perdagangan dengan negara-negara BRICS, khususnya Cina dan India, dapat memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia serta mendorong transfer teknologi dan inovasi industri," kata Rizal kepada Tirto, Rabu (25/3/2025).
Hal yang Harus Dipertimbangkan Pemerintah
Namun, manfaat ini tidak datang tanpa risiko, karena ketergantungan baru pada NDB atau BRICS ini juga bisa menciptakan dinamika ekonomi yang menantang, terutama jika kepentingan Indonesia tidak mendapat porsi yang seimbang dalam aliansi ini.
Meskipun NDB dari BRICS menjanjikan manfaat ekonomi, tantangan geopolitik yang menyertainya tidak bisa diabaikan. Ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap negara-negara BRICS menegaskan bahwa Indonesia bisa menghadapi hambatan perdagangan yang serius, terutama dalam ekspor ke pasar tradisional seperti AS dan Uni Eropa.
"Selain itu, dominasi Tiongkok dan India dalam BRICS berpotensi membuat kepentingan ekonomi Indonesia tersisih dalam pengambilan kebijakan strategis," kata Rizal.
Oleh karena itu, kata Rizal, Indonesia harus mengadopsi pendekatan yang cermat dan pragmatis, memastikan bahwa partisipasi dalam BRICS tidak mengorbankan hubungan dagang yang sudah terjalin dengan negara-negara Barat, serta menjaga keseimbangan dalam kebijakan luar negerinya untuk menghindari dampak negatif dari ketegangan global.
Keanggotaan Indonesia di NDB memang harus tetap diperhatikan. Karena menurut Bhima Yudhistira, NDB sendiri adalah lembaga untuk menyalurkan pinjaman. Sementara pinjaman Indonesia sedang dalam posisi debt distress, yang artinya beban bunga utang itu sudah mulai menghabiskan anggaran negara dalam jumlah yang sangat besar.
“Jadi fiskal kita sedang tertekan,” kata Bhima.
Bahkan, kata Bhima, 45 persen dari APBN 2025 itu sudah habis untuk membayar bunga utang dan membayar utang jatuh tempo. Ia khawatir, bebannya akan semakin berat kalau bentuk kerjasama ditawarkan nantinya adalah pinjaman. “Yang berikutnya lagi adalah bunga pinjamannya,” imbuhnya.
Soal bunga pinjaman ini, perlu dilihat apakah nantinya bunga pinjamannya tersebut kemudian fix atau mengikuti market rate bunga pasar. Karena kalau mengikuti bunga pasar, maka posisinya Indonesia akan lebih banyak dirugikan ketika mengambil pinjaman. Begitu fluktuasi bunga cenderung mengalami kenaikan suku bunganya, maka Indonesia harus membayar bunga lebih banyak lagi.
“Dan ini bisa jadi jebakan utang baru gitu,” ucap dia.
Hal lain, menurut Bhima, perlu diwaspadai juga adalah pinjaman dari NDB ini sebagian bentuknya adalah dolar Amerika Serikat. Sedangkan posisi Indonesia saat ini tengah menghadapi depresiasi nilai tukar. Dengan dolar yang semakin menguat, otomatis akan ada risiko kurs yang merugikan Pemerintah Indonesia.
Selain itu, dari segi kepentingan politik, NDB ini menurut Bhima, justru dijadikan jalan oleh Cina selain Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang sudah ada sebelumnya. “Jadi akan dijadikan jalan agar pengaruh Cina di kawasan khususnya di Indonesia ini semakin menancap gitu,” katanya
Cina melalui NDB misalnya menyalurkan pinjaman ke proyek-proyek infrastruktur, ini bisa memicu terjadinya permasalahan-permasalahan yang selama ini sudah terjadi. Contoh Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dinilai kemahalan, kemudian balik modalnya lama dan membuat BUMN yang mengerjakan proyek juga mengalami tekanan keuangan.
“Nah, itu yang harus kita jaga itu jangan sampai ini sebenarnya hanya perpanjangan tangan Cina gitu, meminta konsesi lebih banyak di Indonesia,” pungkas Bhima.
Ekonom, Arif Budimanta, melihat masuknya Indonesia ke dalam NDB tentu saja membawa sejumlah konsekuensi seperti kewajiban untuk penyetoran modal ataupun membership fee. Hal lain juga perlu dilihat adalah bagaimana skema pembiayaan dari NDB seperti tingkat bunga, lama pinjaman, mata uang, persyaratan biaya-biaya lainnya dan jenis proyek yang dibiayai.
“Rencana masuknya Indonesia kedalam NDB seyogyanya diikuti dengan pipeline project pembangunan berkelanjutan yang akan diajukan ke NDB,” tukas dia.
Pada akhirnya, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan NDB satu sisi menawarkan sejumlah keuntungan dan sisi lainnya juga miliki sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan. Tapi, keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan keanggotaan NDB tentu akan bergantung pada bagaimana negara ini dapat mengelola manfaat dan risiko tersebut dengan bijak.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang