Menuju konten utama

Menakar Langkah Negosiasi Indonesia Hadapi Kebijakan Tarif Trump

Presiden Prabowo akan menempuh tiga langkah antisipasi untuk menghadapi kebijakan tarif resiprokal AS.

Menakar Langkah Negosiasi Indonesia Hadapi Kebijakan Tarif Trump
Presiden Prabowo Subianto (tengah) menyampaikan pengarahan dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, Selasa (8/4/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/Spt.

tirto.id - Kebijakan tarif impor baru yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, diperkirakan akan berdampak signifikan bagi perekonomian global. Begitu pun bagi kondisi dan kebijakan geopolitik sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia.

Kebijakan tarif impor timbal balik atau reciprocal tariffs itu disebut merupakan kebijakan balasan dari Trump kepada sejumlah negara yang dianggapnya telah menerapkan tarif lebih dahulu atas barang impor asal AS.

“Selama puluhan tahun, negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijarah oleh negara-negara di dekat dan jauh, baik kawan maupun lawan,” kata Trump di White House Rose Garden, Rabu (2/4/2025) waktu setempat, dikutip dari Reuters.

Secara teknis, Trump mengenakan tarif dasar baru untuk barang impor yang masuk ke AS, rata-rata sebesar 10 persen. Lalu, sejumlah negara mitra dagang yang memiliki surplus perdagangan dengan AS dikenakan tarif lebih tinggi. Indonesia termasuk di antaranya.

Indonesia dalam hal ini dikenakan tarif impor sebesar 32 persen. Tarif ini lebih rendah dari yang dikenakan pada negara ASEAN lain, seperti Kamboja (49 persen), Laos (48 persen), Vietnam (46 persen), dan Thailand (36 persen). Namun, itu lebih tinggi dari yang dikenakan pada Malaysia dan Brunei (24 persen).

Reaksi Negara Lain

Sejumlah negara dunia, tak terkecuali Indonesia, memberikan beragam reaksi terhadap kebijakan tarif Trump tersebut. Cina, misalnya, merespons dengan berencana mengenakan tarif resiprokal sebesar 34 persen pada semua produk impor dari AS. Tarif balasan itu akan berlaku mulai 10 April 2025.

"Cina mendesak AS untuk segera mencabut tindakan tarif sepihaknya dan bekerja sama dengan mitra dagang untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang adil dan konstruktif," kata Kementerian Perdagangan Cina dalam sebuah pernyataan dalam bahasa Mandarin pada Rabu (2/4/2025) malam, dikutip dari TIME Magazine.

Prancis juga melancarkan reaksi keras dan mengecam kebijakan tarif resiprokal Trump. Juru bicara Pemerintah Prancis, Sophie Primas, menyebut bahwa Trump berperilaku seolah-olah dia adalah "penguasa dunia."

Primas, sebagaimana dilaporkan CNBC, menegaskan bahwa Uni Eropa kemungkinan akan menerapkan tindakan balasan pada pertengahan dan akhir bulan ini.

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan bahwa Uni Eropa tengah menyusun paket tindakan sebagai tanggapan terhadap kebijakan tarif resiprokal AS. Sebagaimana dilansir Reuters, von der Leyen mengatakan bahwa tindakan balasan itu bertujuan melindungi kepentingan dan bisnis negara-negara Eropa jika negosiasi gagal.

Di sisi lain, sejumlah negara merespons kebijakan Trump dengan lebih lunak. Pemerintah Singapura melalui Menteri Perdagangan dan Wakil Perdana Menteri, Gan Kim Yong, mengatakan bahwa Singapura tidak akan memberlakukan tindakan balasan terhadap tarif dasar 10 persen dari AS. Sebab, ada langkah lain yang tersedia di bawah Perjanjian Perdagangan Bebas AS-Singapura.

"Kami telah memutuskan untuk tidak melakukannya karena memberlakukan bea masuk pembalasan hanya akan menambah biaya impor kami dari AS,” katanya.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyebut bahwa pemerintah tengah menghitung dengan cermat dampak dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan AS kepada barang-barang dari Indonesia.

“Pemerintah sedang menghitung dengan cermat dampak penerapan tarif resiprokal yang dilakukan oleh Pemerintah AS. Paralel dengan itu, pemerintah juga mengirimkan tim lobi tingkat tinggi untuk bernegosiasi dengan Pemerintah AS,” kata Hasan.

Dosen hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai langkah radikal Trump dalam konteks kebijakan tarif resiprokal tersebut semakin menjauhkan hubungan internasional dari kooeksistensi damai.

“Ketegangan yang memuncak di sektor keamanan global akhir-akhir ini, sebenarnya tidak diharapkan semakin meluas ke sektor ekonomi akibat kebijakan seperti yang dilakukan oleh Trump. Reaksi dunia terlihat terbelah, antara agesif dan akomodatif,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/4/2025).

Edwin menjelaskan bahwa negara-negara yang fundamental ekonominya lebih siap, seperti Tiongkok dan negara-negara Uni Eropa, telah mengumandangkan perang tarif dengan mengeluarkan kebijakan retaliasi.

Sementara itu, bagi negara-negara yang menjadikan AS sebagai tujuan utama ekspornya, seperti Indonesia, langkah yang paling aman tentu saja adalah mencoba menegosiasikan kembali tarif yang telah diberlakukan sambil berupaya mendiversifikasi tujuan ekspor.

Indonesia Tempuh Jalur Negosiasi

Seturut pemberitaan Antara, Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menjelaskan bahwa Presiden Prabowo akan menempuh tiga langkah antisipasi untuk menghadapi kebijakan tarif resiprokal AS.

Tiga langkah itu adalah memperluas mitra dagang Indonesia, mempercepat hilirisasi sumber daya alam, dan memperkuat resiliensi konsumsi dalam negeri.

"Dengan memperkuat hubungan dagang internasional, mengoptimalkan potensi sumber daya alam, dan meningkatkan konsumsi dalam negeri, Presiden Prabowo membuktikan bahwa Indonesia dapat tetap tumbuh, meskipun di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian," kata Noudhy, Kamis (3/4/2025).

Dalam siaran resminya di Jakarta, Kamis (3/4/2025), PCO menjelaskan lebih rinci masing-masing kebijakan Presiden Prabowo itu. Dalam hal memperluas mitra dagang Indonesia, pemerintah telah mengajukan keanggotaan pada kelompok ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan).

Menurut Noudhy, langkah itu semakin memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Keanggotaan BRICS bakal memperkuat posisi Indonesia dalam berbagai perjanjian dagang multilateral, di antaranya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan 10 negara ASEAN dan Australia, Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

Pemerintahan Presiden Prabowo juga melanjutkan upaya bergabung sebagai anggota tetap Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), kemudian meneruskan negosiasi beberapa perjanjian dagang lainnya, antara lain CP-TPP, IEU-CEPA, dan I-EAEU CEPA.

Langkah kedua yang dijalankan Presiden Prabowo adalah mempercepat hilirisasi sumber daya alam.

"Sumber daya alam Indonesia yang melimpah selama ini sering kali diekspor dalam bentuk bahan mentah. Untuk meningkatkan nilai tambah, Presiden Prabowo memprioritaskan kebijakan hilirisasi industri," kata Noudhy.

Langkah selanjutnya adalah memperkuat daya beli dalam negeri melalui program-program yang langsung menyentuh kesejahteraan rakyat melalui beberapa program unggulan, di antaranya program Makan Bergizi Gratis yang menargetkan 82 juta penerima manfaat pada akhir 2025.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan AS.

Indonesia, kata Airlangga, memilih menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Pendekatan tersebut, diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral, serta menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional.

“Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April, diminta untuk merespons. Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulisnya, Minggu (6/4/2025).

Pemerintah berencana terus melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga sambil menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), US Chamber of Commerce, dan negara mitra lainnya. Hal ini dilakukan dalam rangka merumuskan langkah strategis yang tepat guna merespons kebijakan tarif resiprokal AS.

Pemerintah juga mencermati potensi dampak kebijakan tarif tersebut terhadap sejumlah sektor industri padat karya berorientasi ekspor, seperti industri apparel dan alas kaki.

Sektor-sektor tersebut dinilai rentan terhadap fluktuasi pasar global sehingga pemerintah berkomitmen memberikan dukungan melalui berbagai insentif yang tepat sasaran untuk menjaga daya saing dan keberlangsungan usaha.

Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyatakan kebijakan Presiden Trump yang diumumkan pada 2 April 2025 itu akan berdampak signifikan terhadap neraca pembayaran, khususnya neraca perdagangan dan arus investasi di Indonesia.

"Saya melihat pernyataan Presiden Trump merupakan opening statement. Artinya, pintu negosiasi masih terbuka," ucap Anindya dalam rilis resminya.

Kadin mencatat hampir semua ekspor komoditas utama Indonesia ke AS meningkat pada 2024. AS menjadi mitra dagang bilateral terbesar Indonesia pada 2024 dan hal itu memberikan surplus 16,8 miliar dolar AS kepada Indonesia.

"Sebagian besar barang Indonesia yang diekspor ke AS adalah produk manufaktur, yaitu peralatan listrik, alas kaki, pakaian, bukan komoditas mentah," kata Anindya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Minggu (6/4/2025).

Menanggapi situasi saat ini, Kadin menilai Indonesia perlu membuka pasar baru selain Asia Pasifik dan ASEAN, yakni pasar Asia Tengah, Turki dan Eropa, sampai Afrika dan Amerika Latin.

Masih ada peluang Indonesia mempertahankan hubungan baik dengan AS sebagai mitra dagang. AS pun membutuhkan pasar bagi peralatan pertahanan, pesawat terbang, dan LNG.

"Kita bisa menegosiasikan hal ini dengan produk ekspor andalan Indonesia," terang Anindya.

Oleh karena itu, Anindya menegaskan bahwa Kadin mendukung keputusan Pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan berbagai langkah strategis dan melakukan negosiasi dengan Pemerintah AS.

"Komunikasi langsung dengan Pemerintah AS adalah langkah yang tepat," papar Anindya.

Sudah Tepat Strategi Indonesia?

Dalam menghadapi situasi perang tarif dagang saat ini, Edwin dari UPH menilai langkah yang harus dilakukan oleh Indonesia sudah barang tentu mengoptimalkan keuntungan dari blok ekonomi, seperti BRICS dan perjanjian multilateral maupun bilateral.

Meski begitu, Edwin menilai bahwa sejauh ini, hasil keterlibatan Indonesia di forum-forum internasional itu belum terlihat secara signifikan. Sehingga, diragukan apakah partisipasi ini telah membuat posisi Indonesia dalam perdagangan global semakin menguat.

“Oleh karena itu, di tengah situasi kritis saat ini, RI memerlukan kebijakan yang bersifat strategis untuk mendukung upaya optimalisasi ini. Harus ada road map yang jelas dan aktivitas diplomasi ekonomi yang lebih lincah untuk mewujudkannya,” ujarnya.

Edwin juga menilai bahwa dalam kebijakan luar negeri, apabila ancaman tinggi sementara kapabilitas lemah, maka pilihan strategi yang paling tepat adalah akomodatif. Menurutnya, RI mengalami situasi itu saat ini sehingga strategi yang tepat untuk ditempuh adalah menyesuaikan diri dengan kebijakan baru Trump sembari tetap berupaya bernegosiasi.

“Koordinasi dengan negara-negara di kawasan dan negara-negara mitra lainnya sangat diperlukan untuk membentuk upaya diplomasi bersama yang akan memperkuat posisi tawar dalam negosiasi,” ujarnya.

Edwin menganggap AS sekarang telah berubah dari negara besar yang semula terikat untuk memimpin (bound to lead) menjadi negara yang lelah untuk memimpin (exhausted to lead).

“Negosiasi dan diversifikasi menjadi dua kata kunci yang penting di era krisis ini. Kuat dugaan saya, langkah ‘urakan’ Trump sebenarnya adalah undangan untuk negosiasi, agar negara-negara yang selama ini diuntungkan dalam perdagangannya dengan AS, tidak lagi menganggap business as usual,” ujar Edwin.

Sementara itu, dosen hubungan internasional sekaligus Direktur Eksekutif Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menilai bahwa kebijakan tarif resiprokal Trump itu bertujuan untuk mengatasi sejumlah permasalahan dalam negeri yang dialami AS, seperti defisit perdagangan, mengisi kas negara, dan menciptakan lapangan kerja.

“Efeknya buruk bagi negara lain, tapi juga bagi AS. Efek buat negara lain adalah rugi mendadak karena tarif diterapkan secara paksa tanpa proses negosiasi lebih dahulu. Dan Trump sendiri bilang kalo negosiasi harus membeli barang-barang AS. Jadi, memaksa negara lain untuk mengambil alih defisit AS,” ujar Dinna saat dihubungi Tirto, Selasa (8/4/2025).

Dinna menilai masuknya Indonesia di blok ekonomi BRICS bisa digunakan untuk menegosiasikan terma perdagangan yang lebih adil tanpa melibatkan AS. Meski begitu, Dinna menilai saat ini BRICS masih belum efektif sehingga Indonesia diharapkan tidak membatasi diri.

Indonesia juga harus berupaya melakukan investasi di sektor industrial. Selain itu, sektor-sektor yang masih melimpah sumbernya harus dikelola dengan lebih baik dengan cara berpihak ke pekerja-pekerja Indonesia.

“Justru duitnya gak di situ semua [BRICS], ada Eropa, Kanada, Turki, Jepang, Vietnam, Singapura misalnya yang mencari mitra juga. Harus ada peningkatan nilai tambah sektor manufacturing atau jasa kita,” ujarnya.

Sebagai bagian dari strategi diplomasi, Dinna mendesak pemerintah Indonesia segera mengisi kekosongan posisi Duta Besar untuk AS. Polemik kosongnya posisi Dubes RI untuk AS memang mencuat setelah Indonesia berencana melakukan perundingan atau langkah diplomasi terhadap kebijakan tarif resiprokal Trump.

Sebagai informasi, posisi Dubes Indonesia untuk AS telah kosong selama hampir dua tahun. Posisi ini terakhir dijabat oleh Rosan Roeslani yang menyelesaikan tugasnya pada 17 Juli 2023. Meski begitu, penunjukan Dubes RI untuk AS tak bisa sembarangan.

Dinna mengusulkan posisi tersebut diisi oleh sosok yang ahli dalam ekonomi politik dan mengetahui seluk beluk negara tersebut plus diperkuat dengan tim yang mumpuni.

“AS itu harus ditempel terus, kompleks, dan ambisius sekali mereka karena masalah dunia dengan AS bukan cuma setahun atau dua tahun. Kita makin berat kalo gak anggap serius urusan diplomasi, apalagi kalo sampai menganggap AS bisa diurus sambil lalu,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait TARIF TRUMP atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi