tirto.id -
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Jubir Kemlu) Rolliansyah 'Roy' Soemirat menyatakan tidak ada hal yang ganjil jika posisi dubes kosong untuk sementara. Sesuai aturan, kata dia, penunjukkan duta besar untuk negara asing sepenuhnya hak preogratif dari presiden.
"Tidak ada yang aneh apabila suatu pos duta besar belum sempat terisi karena tetap mekanismenya berjalan," kata Roy kepada wartawan Tirto, Minggu (6/4/2025).
Ia menyampaikan meskipun tak dipimpin seorang dubes, kantor KBRI atau KJRI tetap bekerja sebagaimana mestinya. Saat dubes definitif belum ditunjuk, maka posisi diplomatik tertinggi di luar negeri akan dipimpin seorang Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI).
"Kantor KBRI atau KJRI akan dipimpin oleh KUAI (Kuasa Usaha Ad Interim) atau Charge d’Affaires," sambung Roy.
Polemik kosongnya posisi Dubes RI untuk AS mencuat setelah Indonesia berencana melakukan perundingan atau langkah diplomasi terhadap kebijakan tarif resiprokal Trump. Dalam tarif impor baru, Indonesia dibebankan tarif sebesar 32 persen.
Namun, posisi Dubes Indonesia untuk AS telah kosong selama hampir dua tahun. Posisi ini terakhir dijabat oleh Rosan Roeslani yang menyelesaikan tugasnya pada 17 Juli 2023.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan Pemerintah Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atau balasan atas kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat.
Indonesia memilih menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Pendekatan tersebut, kata Airlangga, diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral, serta menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional.
“Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April, diminta untuk merespons. Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujar Airlangga dalam keterangan tertulisnya, Minggu (6/4/2025).
Pemerintah berencana terus melakukan koordinasi lintas Kementerian dan lembaga sambil menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), U.S. Chamber of Commerce, dan negara mitra lainnya. Hal ini dilakukan dalam rangka merumuskan langkah strategis yang tepat guna merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Pemerintah mencermati potensi dampak kebijakan tarif terhadap sejumlah sektor industri padat karya berorientasi ekspor, seperti industri apparel, dan alas kaki.
Sektor-sektor tersebut dinilai rentan terhadap fluktuasi pasar global, sehingga Pemerintah berkomitmen memberikan dukungan melalui berbagai insentif yang tepat sasaran untuk menjaga daya saing dan keberlangsungan usaha.
Tarif resiprokal Amerika Serikat sendiri akan berlaku mulai tanggal 9 April 2025. Terdapat beberapa produk yang dikecualikan dari tarif resiprokal yakni antara lain barang yang dilindungi 50 USC 1702(b) misalnya barang medis dan kemanusiaan, produk yang telah dikenakan tarif berdasarkan Section 232 yaitu baja, aluminium, mobil dan suku cadang mobil, produk strategis yaitu tembaga, semikonduktor, produk kayu, farmasi, bullion (logam mulia), serta energi dan mineral tertentu yang tidak tersedia di Amerika Serikat.
Pemerintah juga akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk asosiasi pelaku usaha. Hal ini untuk memastikan suara industri dalam negeri turut menjadi bagian proses perumusan strategi kebijakan.
“Karena ini masih dinamis dan masih perlu working group untuk terus bekerja, Bapak Presiden minta kita bersurat sebelum tanggal 9 April 2025," ujar Airlangga.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah