Menuju konten utama

Untung Rugi RI Beli Minyak Rusia usai Resmi Jadi Anggota BRICS

Bergabung dalam BRICS, apa untung dan rugi bagi Indonesia jika membeli minyak mentah dari Rusia?

Untung Rugi RI Beli Minyak Rusia usai Resmi Jadi Anggota BRICS
kilang minyak.foto/shutterstock

tirto.id - Kementerian Luar Negeri Brasil yang memegang ketua kepresidenan BRICS 2025 mengumumkan bahwa Indonesia telah diterima sebagai anggota penuh blok negara berkembang yang terdiri dari Brazil, Russia, India, China, South Africa itu. Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS diharapkan dapat mereformasi tata kelola global dan mempererat kerja sama negara-negara di belahan bumi selatan.

"Pemerintah Brasil menyambut baik keikutsertaan Indonesia dalam BRICS. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan penduduk terbanyak di Asia Tenggara, Indonesia memiliki dukungan yang sama dengan negara-negara BRICS lainnya untuk reformasi lembaga tata kelola global dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendalaman kerja sama negara-negara di belahan bumi selatan," tulis pemerintah Brasil, melalui laman gov.br, dikutip Senin (13/1/2025).

Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS lantas mendapat sambutan penuh dari Rusia, yang merupakan Presiden BRICS 2024. Melalui pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan, pencalonan Indonesia pertama kali diajukan dan disetujui pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 2023. Namun, dengan adanya pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 permintaan tersebut tertunda dan baru bisa dilanjutkan saat masa kepemimpinan Rusia di BRICS 2024.

Sama halnya dengan Brasil, Rusia juga menilai bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS akan membuat kerja sama multilateral tersebut akan semakin kuat. Dus, tatanan global yang lebih adil dan seimbang dapat diwujudkan.

"Bergabungnya Indonesia ke BRICS akan membantu meningkatkan otoritas dan prestise kelompok tersebut lebih jauh lagi dan juga akan memfasilitasi konsolidasi yang konsisten dari negara-negara berkembang di belahan bumi selatan dan timur untuk menciptakan tatanan dunia multipolar yang lebih adil dan seimbang," tulis Kementerian Luar Negeri Rusia.

Sementara itu, bagi Indonesia, keanggotaan di BRICS dianggap sebagai langkah strategis untuk bisa lebih meningkatkan kolaborasi dengan negara-negara berkembang lainnya berdasar prinsip kesetaraan, menghormati dan pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya itu, Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) juga menyampaikan, Indonesia akan berkontribusi aktif dalam setiap agenda BRICS dan ikut serta untuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat, dalam pernyataan resminya, dikutip Senin (13/1/2025).

"Kami berdedikasi penuh untuk bekerja sama dengan seluruh anggota BRICS, ataupun dengan pihak lainnya, untuk mewujudkan terciptanya dunia yang adil, damai, dan sejahtera," kata Kemlu.

Kemlu menyampaikan apresiasi kepada Rusia yang telah menerima dan mendukung Indonesia menjadi bagian dari BRICS. Hal itu mengingat Rusia adalah Ketua BRICS di 2024, dan saat ini Brasil menjadi ketua di 2025.

"Keanggotaan ini merupakan hasil dari keterlibatan aktif Indonesia dengan BRICS selama beberapa tahun terakhir, termasuk saat menghadiri KTT BRICS di Johannesburg pada 2023 di bawah Keketuaan Afrika Selatan, dan KTT Kazan 2024 di bawah Keketuaan Rusia," kata Kemlu.

Hubungan mesra antara Indonesia dengan Rusia dalam organisasi antarpemerintah ini membuat Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, bisa membuka opsi membeli minyak mentah Kremlin. Apalagi, jika kebijakan tersebut dirasa dapat membawa keuntungan bagi Indonesia.

"Ya, ke mana saja kalau kita menguntungkan Republik (Indonesia), kita beli. Kalau kita ada dari bulan pun, sudah kita beli. Sepanjang itu tadi, menguntungkan Republik," kata dia, usai konferensi pers, di Jakarta, Kamis (9/1/2025).

Kendati, Indonesia juga perlu berhati-hati sebelum memutuskan membeli minyak mentah Rusia. Pasalnya, kondisi geopolitik dan situasi ekonomi dunia kini sedang tidak baik-baik saja.

"Kalau itu bisa kita bicarakan kepada beberapa negara lain, ya kenapa tidak? Kalau kita dapat lebih murah 20-22 dolar AS per barel, kenapa tidak? Tapi kita tentu hati-hati, melihat ini dengan bagus saja," tegas Luhut.

Selain Luhut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, juga membuka peluang pembelian minyak mentah Kremlin. Namun, selain anggota BRICS, sebagai negara yang menganut politik bebas aktif, pada dasarnya Indonesia berhak menjalin kerja sama perdagangan dengan negara manapun asal menguntungkan dan tak menyalahi aturan.

"Artinya, semua peluang yang menguntungkan Indonesia, baik bergabung dengan BRICS maupun dengan OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development/Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), itu saya pikir nggak ada masalah," kata dia, saat ditemui awak media, di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (10/1/2025).

Meski begitu, potensi pembelian minyak mentah dari Rusia diakuinya masih belum pasti dilakukan.

"Ya, jujur-jujur saja. Selama ini juga kita impor minyak dari Timur Tengah itu. Mungkin saja (biasanya impor minyak dari Rusia), mungkin saja. Asalnya mungkin dari sana, tapi belum pasti ya," imbuh Bahlil.

Sebelumnya, Bahlil menyebutkan, saat ini produksi minyak dalam negeri hanya sebesar 600 ribu barel per hari (bph), sedangkan kebutuhan rata-rata tahunan dapat mencapai 1,6 juta bph. Dus, Indonesia setidaknya harus mengimpor minyak dari berbagai negara 900 ribu-1 juta bph.

Sementara itu, berdasar catatan Kementerian ESDM, pada 2023 produksi minyak bumi hanya mencapai 605,50 juta bph, turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 612,42 bph. Realisasi lifting minyak mentah ini pun lebih rendah dari masa pandemi COVID-19 yang dapat mencapai 708,32 bph. Dengan kondisi ini, tak heran jika impor minyak mentah ke Indonesia tumbuh sejak 2020 hingga 2023, dengan realisasi per tahun masing-masing sebesar 65,96 juta bph, 89,87 juta bph, 104,72 bph, dan terakhir 123,21 juta bph.

Dengan kondisi demikian, sudah barang tentu opsi impor minyak dari Rusia menjadi pilihan yang terbaik. Selain membuat pasar eksportir minyak Indonesia menjadi lebih beragam, dibanding negara-negara pemasok minyak saat ini seperti Nigeria, Arab Saudi, Singapura, India, hingga Amerika Serikat (AS), harga minyak Kremlin jauh lebih miring.

“Rusia harganya relatif lebih murah dibanding negara-negara lain. Bahkan pada saat awal perang (dengan Ukraina), Rusia itu kan menawarkan minyaknya dengan harga… dengan diskon yang cukup besar, sehingga harganya lebih murah,” kata Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, kepada Tirto, Senin (13/1/2025).

Sebagai informasi, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 lalu, AS telah menjatuhkan sanksi kepada ratusan armada kapal berbendera Kremlin dengan tujuan untuk mengurangi kemampuan negara tersebut untuk mendanai perang. Kemudian, pada akhir 2022, negara G7 (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Kanada), Uni Eropa, dan Australia memberlakukan batas harga 60 dolar AS untuk minyak Rusia. Kemudian, terbaru Presiden AS, Joe Biden, kembali memberlakukan paket sanksi kepada produsen minyak dan gas (migas) Rusia, Gazprom Neft, Surgutneftegas, serta 183 kapal lain yang dicurigai sebagai pendonor biaya perang Moskow melawan Ukraina.

Sanksi baru ini praktis membuat harga minyak mentah dunia terbang mencapai titik tertingginya hari ini, dengan Brent naik 1,8 persen ke level 81,23 dolar AS per barel dan minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 2 persen menyentuh 78,10 dolar AS per barel. Sementara Urals Oils, minyak asal Rusia tercatat dihargai 73,68 dolar AS per barel, naik 7,55 persen sejak awal 2025.

“Saya kira itu beberapa keuntungan yang akan diperoleh,” tambah Fahmy.

Soal sanksi yang diberikan negara-negara Barat kepada Rusia, dinilai tak perlu terlalu ditakutkan. Berkaca dari Uni Eropa yang meski sebelumnya berjanji untuk menghentikan konsumsi energi dari negara yang terkena sanksi ke negaranya pada 2027 justru menunjukkan data sebaliknya. Berdasar laporan The Guardian, yang mengutip data Rystad Energy, menunjukkan bahwa 17,8 juta ton LNG Rusia tiba di pelabuhan Eropa pada 2024, naik 2 juta ton dibanding tahun sebelumnya.

“Negara-negara Eropa yang dilarang sekalipun, dia tetap juga impor gas dari Rusia, karena ketergantungan Eropa terhadap gasnya Rusia kan cukup tinggi dan Amerika tidak memberikan sanksi apapun. Indonesia yang bukan anggota NATO, harusnya bebas saja. Apalagi ini menyangkut masalah ekonomi, minyak kan juga kebutuhan dasar buat negara,” tegasnya.

Meski begitu, yang patut diperhatikan dari impor minyak ini adalah apakah kilang-kilang yang ada di dalam negeri siap untuk menampung jenis minyak dari Rusia. Kata Fahmy, setiap kilang minyak yang ada di Tanah Air telah disetel sedemikian rupa hingga pada akhirnya dapat menghasilkan output minyak tertentu dengan biaya tertentu pula.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk mengimpor minyak dari Moskow, PT Pertamina (Persero) harus terlebih dulu melakukan uji coba untuk mengetahui kecocokan antara minyak yang akan didatangkan dengan kilang yang bakal menampung. Dus, akan diketahui apakah nantinya bakal ada tambahan biaya penyesuaian kilang atau bahkan apakah harus membuat kilang anyar demi menampung minyak Rusia tersebut.

“Itu bisa dilakukan penyesuaian tadi gitu ya, agar dengan kilang tadi (yang sudah ada), tadi butuh tambahan biaya gitu ya. Nah barangkali itu yang perlu dihitung juga,” lanjut Fahmy.

Untung Rugi Beli Minyak Rusia

Berpandangan berbeda, Eksekutif Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai Indonesia tak perlu tergiur dengan harga murah minyak Rusia. Sebab, sebetulnya dengan atau tanpa menjadi anggota BRICS, Indonesia bebas saja membeli minyak dari produsen manapun termasuk Moskow.

Namun, yang harus jadi pertimbangan adalah soal biaya serta implikasi dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya barat.

“Jadi pertimbangannya harusnya itu. Nah yang ketiga tadi bahwa apa sih untung ruginya,” kata dia, kepada Tirto, Senin (13/1/2025).

Jika dilihat dari keuntungannya, memang harga minyak Rusia jauh lebih miring dari harga jual negara-negara lainnya. Namun, hal itu dapat terjadi karena adanya sanksi yang tengah diketok AS dan negara-negara NATO atas serangan Rusia kepada Ukraina.

“Tapi untuk bisa deliver sampai ke kilang, untuk diproses itu kan perlu ada pengapalan. Kalau ada pengapalan ada juga asuransinya biasanya. Nah dalam konteks Rusia ini, mengingat Rusia itu diembargo oleh Amerika dan negara-negara sekutunya, (sanksi) ini tidak saja menimpa kepada Rusia, tapi sebenarnya juga kepada industri yang terkait dengan transportasi minyak,” jelas dia.

Hal ini lah yang kemudian membuat biaya pengapalan minyak menjadi besar dan membutuhkan waktu lebih panjang karena hanya sedikit kapal yang dapat dipilih untuk mengangkut minyak hingga akhirnya sampai ke Indonesia. Lebih penting dari itu, kesesuaian jenis minyak Rusia dengan kilang-kilang yang ada di dalam negeri juga perlu disesuaikan.

“Kilang-kilang Indonesia itu kan sudah didesain untuk mengolah minyak tertentu, untuk menghasilkan output yang optimal. Itu perlu dilihat lagi apakah sesuai nggak kilang kita untuk minyak Rusia? Mungkin nggak hanya berapa kilang yang cocok? Ini kan juga kemudian membatasi kapasitas kilang,” lanjut Fabby.

Di sisi lain, ketika Indonesia memutuskan untuk membeli minyak dari Rusia, sama halnya dengan melawan sanksi yang diberikan AS dan sekutunya kepada Moskow. Padahal, jika ditilik kembali, banyak perjanjian dagang yang dijalin Indonesia dengan negara-negara Barat.

Menurut Fabby, meski Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki basis penduduk jumbo, namun posisi dalam perdagangan dunia belum bisa sekuat Cina dan India.

“Justru agak kebalik kalau kita lihat India dan Cina itu negara-negara seperti Amerika dan Eropa itu nggak bisa mengabaikan dua negara ini. Dalam urusan perdagangan, dalam urusan kerja sama internasional. Agak berbeda dengan posisi Indonesia. Indonesia negara besar, tapi tidak sebesar India dan Cina,” tuturnya.

Oleh karenanya, Fabby menyarankan, sebelum memutuskan untuk betul-betul membeli minyak Rusia, pemerintah peril berpikir matang. Apa saja kiranya keuntungan yang bisa didapat dan sebaliknya, apa yang akan berimbas pada Indonesia.

“Jadi ini bukan soal kita berani atau nggak, semuanya itu dalam menurut saya ya harus dihitung matang-matang. Indonesia gabung BRICS itu satu hal, tapi membeli minyak dari Rusia itu satu hal,” tukas dia.

Sementara itu, Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Hermansyah Y Nasroen, sebagai entitas bisnis Pertamina, dalam melakukan pengadaan feedstock/bahan baku berupa minyak mentah harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifikasi masing-masing kilang. Pada saat yang sama, untuk mengimpor minyak, pihaknya juga perlu mempertimbangkan keekonomian kilang serta menyesuaikan dengan kondisi pasar.

Karenanya, KPI pun membuka kesempatan yang sama untuk semua jenis minyak dari negara manapun, selama dapat dikelola kilang dengan efektif dan efisien.

“Proses pengadaan dilakukan dengan mematuhi semua ketentuan baik yang berlaku di internal, Nasional maupun Internasional terkait dengan pengadaan minyak mentah. Proses pengadaan minyak mentah di KPI juga dilakukan dengan memenuhi standar Good Corporate Governance yang berlaku di perusahaan,” kata Hermansyah, melalui pesan singkatnya kepada Tirto, Senin (13/1/2025).

Baca juga artikel terkait MINYAK DUNIA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang