tirto.id - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, baru akan dilantik pada 20 Januari 2025. Kembalinya Trump ke Gedung Putih, diyakini membawa pendekatan diplomatik yang lebih pragmatis terhadap konflik-konflik global, termasuk yang kini terjadi di Timur Tengah (Timteng) dan perang Rusia-Ukraina.
Meskipun Trump dikenal dengan kebijakan luar negeri yang lebih berorientasi pada “America First,” namun ada sedikit harapan bahwa pendekatan baru dilakukan Trump dapat membuka peluang untuk perdamaian di kedua kawasan tersebut. Trump akan menekankan pada hubungan bilateral dan negosiasi langsung untuk memecah kebuntuan dalam hal gencatan senjata.
Penasihat Keamanan Nasional yang ditunjuk oleh Trump, Mike Waltz, sempat membocorkan bahwa Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, akan mulai melakukan pembicaraan telepon dalam beberapa hari atau beberapa pekan ke depan. Meski belum ada kepastian tentang kapan pembicaraan itu akan dilakukan, tetapi Waltz mengatakan pihaknya sedang mengupayakan.
“Dan salah satu hal yang akan kami bahas dengan Ukraina adalah masalah personel yang sangat serius," ujar Mike dilansir Antara, Senin (13/1/2025).
Waltz mengatakan, gencatan senjata akan menjadi langkah pertama yang sangat positif bagi Rusia dan Ukraina, yang akan mengarah pada penyelesaian konflik lewat negosiasi. “Semua orang tahu bahwa ini harus berakhir dengan cara diplomatik,” kata dia.
Tak hanya itu, Trump juga telah mengutus utusan Timur Tengah, Steve Witkoff, bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Sabtu (11/1/2025) waktu setempat. Pertemuan ini dilakukan di tengah dorongan untuk mengamankan gencatan senjata di Gaza.
Setelah pertemuan itu, Netanyahu mengirim delegasi tingkat tinggi yang termasuk kepala Badan Intelijen Mossad Israel ke Qatar untuk “memajukan” pembicaraan untuk mengembalikan sandera yang ditahan oleh Hamas di Gaza.
Sebelumnya pada Sabtu, seorang pejabat Israel mengatakan beberapa kemajuan telah dilakukan dalam pembicaraan tidak langsung antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas, yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, untuk mencapai kesepakatan di Gaza.
Para mediator melakukan upaya baru untuk mencapai kesepakatan untuk menghentikan pertempuran di daerah kantong tersebut dan membebaskan sandera Israel yang tersisa di sana sebelum Trump menjabat pada 20 Januari. Kesepakatan juga akan melibatkan pembebasan beberapa tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Trump sebelumnya memang sempat berjanji akan menyelesaikan sejumlah krisis yang melanda Timur Tengah di tengah serangan Israel terhadap Jalur Gaza, perkembangan bersejarah di Suriah, dan gencatan senjata rapuh antara Hizbullah dan Israel.
“Saya rasa (masalah) Timur Tengah akan terselesaikan — saat ini sedang terjadi perkembangan yang sangat produktif di Timur Tengah. Saya pikir Timur Tengah akan terpecahkan. Saya rasa ini lebih rumit dibandingkan Rusia-Ukraina, tetapi saya juga merasa ini lebih mudah diselesaikan,” ujar Trump.
Trump mengatakan, negaranya tidak ingin ada orang yang terbunuh dari kedua belah pihak, baik itu Rusia, Ukraina, atau Palestina dan Israel, maupun entitas-entitas lainnya di Timur Tengah.
Untuk diketahui, lebih dari 44.800 orang telah tewas di Gaza sejak Israel melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah pesisir tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan memperkirakan 70 persen dari korban adalah perempuan dan anak-anak.
“Saya mendukung apa pun yang diperlukan untuk membawa perdamaian, bukan hanya perdamaian, tetapi perdamaian yang abadi,” kata dia.
Jalan Keluar dan Kemungkinan Ditawarkan oleh Trump
Pengamat hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, mengatakan, Trump dan Putin memang tengah mencari 'jalan keluar' untuk mengakhiri atau setop perang. Termasuk negosiasi Putin yang meminta sejumlah syarat untuk mengakhiri perang di Ukraina, yakni penarikan pasukan Ukraina dari wilayah baru Rusia dan jaminan bahwa Ukraina akan membatalkan rencana untuk bergabung dengan NATO.
“Putin dan Trump pasti nyari jalan keluar untuk setop perang. Itu pasti. Putin juga pasti minta Ukraina batalkan niat masuk NATO dan serahkan wilayah yan sudah dikuasai Rusia. Dan Trump pasti ingin setop pembiayaan ke Ukraina,” kata Dinna kepada Tirto, Senin (13/1/2025).
Namun di tengah negosiasi kedua pemimpin negara tersebut, pendiri Lembaga Penelitian dan Pelatihan Synergy Policies itu memperkirakan, Ukraina dan Uni Eropa (UE) akan menolak dengan kepentingan atau motif yang beda-beda. Sehingga ini menjadi dinamika baru khususnya terkait dengan eksistensi NATO, pembiayaan NATO, utang perang, penanganan kerugian perang, dan lainnya.
“Ujungnya apa? Kuasa Trump bakal tekan EU sedemikian rupa. NATO akan makin berubah kekuatan tapi belum tentu kendor ke Rusia. Bisa jadi Rusia akan dilepas diadu dengan NATO," sebut Dinna.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menambahkan, bila mencermati ideologi Partai Republik, terhadap isu-isu internasional mereka justru menyelesaikannya dengan perang. Sehingga menarik apa yang ditawarkan oleh Trump sebagai Presiden AS yang berasal dari Partai Republik.
“Tapi tentu kita harus pahami betul apa yang ditawarkan oleh Trump ini,” kata Hikmahanto kepada Tirto, Senin (13/1/2025).
Dia menduga untuk konflik di Ukraina karena sudah menghabiskan banyak uang AS, maka Trump akan sodorkan referendum di Ukraina Timur, khususnya Luhants'k dan Donentsk serta menolak Ukraina menjadi anggota NATO. Dan memang ini adalah suatu tawaran yang akan ditolak oleh Ukraina dan Uni Eropa.
“Bila tidak disetujui, maka AS akan membiarkan Rusia menyerang habis-habisan Ukraina tanpa bantuan dari AS,” kata dia.
Sementara untuk di Gaza, Trump akan tawarkan Israel mengakui Palestina merdeka dengan syarat Hamas, Hizbullah, Houthi, dan Iran tidak menyerang Israel. Bila tidak diterima, maka Trump punya alasan untuk menyerang Iran dan para proxy-nya.
Dengan demikian, kata Hikmahanto, potensi perdamaian di dua kawasan tersebut, baik Timur Tengah atau Gaza, dan Rusia-Ukraina masih akan cukup sulit untuk dilakukan sekalipun Trump menguasai Gedung Putih. Sebab, bagi Trump, hal terpenting adalah negaranya bisa keluar dari urusan-ursan konflik internasional.
“Betul sekali (masih sulit untuk perdamaian). Bagi Trump terpenting adalah beban AS untuk masalah luar negeri semakin ringan,” kata Hikmahanto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz