tirto.id - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, tak terima dengan klaim Bank Dunia (World Bank) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak di Indonesia kurang baik. Menurut Bank Dunia, cara pemerintah dalam memungut pajak masih setara dengan Nigeria.
Sebagai informasi, Nigeria memang menjadi salah satu negara dengan kinerja perpajakan paling lemah di dunia. Berdasar data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (The Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD), rasio penerimaan pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada 2022 hanya sebesar 7,9 persen, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,7 persen. Rasio perpajakan tersebut juga masih jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang pada 2021 dan 2022 masing-masing 10,9 persen dan 12,1 persen.
“World Bank itu mengkritik kita bahwa kita salah satu negara yang meng-collect pajaknya tidak baik, kita disamakan dengan Nigeria,” ungkap Luhut dalam konferensi pers di Kantor Dewan Ekonomi Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).
Buruknya cara pemungutan pajak tersebut membuat pajak yang belum dipungut atau tax gap mencapai 6,4 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau senilai Rp1.500 triliun. Sebagai informasi, catatan Bank Dunia terhadap tax gap tersebut dipaparkan dalam laporan bertajuk “Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia’s Vision 2045” yang dirilis pada 16 Desember 2024.
Adapun tax gap Indonesia yang sebesar 6,4 persen terhadap GDP disebabkan oleh tingkat kesenjangan kepatuhan atau compliance gap sebesar 3,5 persen dari GDP dan ketidaktepatan kebijakan alias policy gap sebesar 2,7 persen dari GDP.
Meski begitu, Luhut tak menampik jika kepatuhan warga Indonesia dalam menjalankan kewajiban pajaknya masih tergolong sangat rendah. Karena itu, dia yakin Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Core Tax System yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2025 dapat mengatasi permasalahan ini sekaligus juga meningkatkan penerimaan negara.
“Seperti contoh ya, mobil dan sepeda motor mungkin ada 100 juta lebih, yang bayar pajak cuma 50 persen. Jadi Anda bisa bayangkan kepatuhan kita itu sangat rendah,” kata Luhut.
Sementara soal kepatuhan, Bank Dunia mencatat, ada 1 dari 4 wajib pajak yang melakukan pengelakan pajak. Pengelakan tersebut utamanya dilakukan oleh wajib pajak badan atau korporasi yang tidak melakukan ekspor, menganggap pajak adalah hambatan pengembangan bisnis dan wajib pajak badan dari sektor informal.
Dengan besarnya potensi penerimaan yang bisa didapat dengan meningkatkan tax gap, DEN mengaku tengah mengkaji klaim Bank Dunia tersebut. Namun terlepas dari itu, Luhut mengakui, saat ini sangat penting bagi Indonesia untuk melakukan reformasi perpajakan dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak.
“Kita sudah harus kerja around the clock untuk membuktikan ini. Karena menyangkut game changer untuk Indonesia,” imbuh mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi itu.
Tak ingin menanggapi kritik Bank Dunia, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Wihadi Wiyanto, menilai, meningkatkan kepatuhan sekaligus juga mengerek rasio pajak telah menjadi komitmen Presiden Prabowo Subianto sejak awal kepemimpinannya. Diakuinya, rasio pajak per akhir Oktober 2024 masih sebesar 10,02 persen, lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang di angka 10,31 persen. Kondisi ini jelas membutuhkan upaya ekstra untuk memperbaiki kinerja perpajakan nasional.
“Pemerintahan sekarang ini memang sedang mendorong sektor perpajakan untuk lebih efektifkan dengan tanpa memberikan dampak yang berat kepada dunia bisnis dan juga kondisi perekonomian Indonesia. Ini adalah komitmen Pak Prabowo yang artinya adalah komitmen ke depan,” kata Wihadi singkat melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Jumat (10/1/2025).
Sementara itu, selain melalui implementasi Core Tax, Prabowo juga telah membentuk Komite Percepatan Transformasi Digital untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat. Dalam hal ini, komite akan menjalankan tiga bagian transformasi digital di sistem perpajakan, yakni digitalisasi pembayaran pajak oleh masyarakat, digitalisasi administrasi perpajakan, serta menyesuaikan data wajib pajak.
Melalui komite ini, diharapkan dapat memperbaiki administrasi sistem perpajakan maupun mengurangi aktivitas penghindaran pajak oleh wajib pajak nakal.
“Dalam melakukan transformasi tersebut, tentunya kami memiliki hal-hal yang perlu kita perhatikan, terutama mengenai masalah bagaimana kami mempersiapkan DPI-nya, Digital Public Infrastructure,” ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Rini Widyantini, saat memberikan keterangan di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (7/1/2025).
Terpisah, peneliti dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, meningkatkan kepatuhan lewat sistem digital seperti Core Tax memang dapat dilakukan. Namun, dia ragu potensi penerimaan yang dapat diraup Indonesia dari implementasi sistem tersebut bisa mencapai Rp1.500 triliun.
Ia memang belum memiliki perhitungan berapa potensi penerimaan yang bisa didapat Indonesia apabila Core Tax berjalan efektif dan tax gap menurun drastis. Meski begitu, secara logika angka potensi penerimaan Rp1.500 tidak realistis dan terlalu fantastis. Kemudian, jika tambahan penerimaan tersebut dapat dikantongi, Indonesia tak perlu menerapkan kebijakan perpajakan lain dan hanya berfokus pada implementasi Core Tax saja.
“Itu bukan angka dari Pak Luhut, tapi itu angka dari konsultan yakni Bank Dunia. Bagi saya, angka itu cuma omong kosong sama seperti angka Rp11.000 triliun yang dibisikkan (Bank Dunia) ke Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) dulu. Rp1.500 triliun is the new, angka yang berbeda, tapi sama-sama omong kosong,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Jumat (10/1/2025).
Di sisi lain, untuk memberikan efek jera kepada para pengemplang pajak, aturan administrasi ketat memang harus dirancang. Namun, sebelumnya harus ada dasar hukum untuk menerapkan kebijakan tersebut.
“Kalau yang disasar adalah pengemplang pajak yang sudah berkeputusan hukum atau inkrah, pemerintah lebih baik memperkuat penagihannya saja,” tambah Fajry.
Sementara soal kritik Bank Dunia, sebenarnya tak apple to apple kalau menyetarakan Indonesia dengan Nigeria dalam hal pemungutan pajak. Apalagi, dari sisi geografis, jumlah penduduk, hingga cakupan ekonomi, kondisi Indonesia dengan Nigeria sangat berbeda jauh.
Dari segi wilayah, Indonesia memiliki luas mencapai 1,91 juta kilometer persegi, dengan jumlah penduduk diperkirakan sebanyak 277,5 juta jiwa pada 2023. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang 2023 tercatat sebesar 5,05 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Sedangkan Nigeria memiliki wilayah hanya sebesar 923,77 ribu kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sebanyak 223,80 juta jiwa pada 2023. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Nigeria di sepanjang 2023 tercatat hanya sebesar 2,9 persen.
“Kemudian, dikatakan juga ada pemungutan, jadi kan ada wajib pungut dan wajib pungut kita itu, kan, banyak, sedangkan di sana wajib pungutnya enggak sebanyak di sini. Saya bukan membela atau apa, tapi itu perbandingannya kalau dari kata pemungutan,” ujar Ahli Pajak Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Ronny Bako, saat dihubungi Tirto, Jumat (10/1/2025).
Tidak hanya itu, secara general, negara-negara di luar negeri pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah sampai ke pelosok-pelosok negeri. Sedangkan di Indonesia, pemerintah pusat hanya bisa menarik beberapa jenis pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 maupun PPh Badan, PPN untuk Barang Mewah (PPnBM), dan sebagainya. Sedangkan untuk pajak kendaraan serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan dipungut oleh pemerintah daerah.
Belum lagi, dari total jumlah penduduk Indonesia, yang bekerja hanya sebanyak 139,85 juta orang di Agustus 2023 dan naik 144,64 juta orang pada Agustus 2024. Meski begitu, seiring dengan banyaknya pekerja informal, hanya sekitar 30 persen dari jumlah pekerja saja yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Dari sekitar 50 juta orang yang punya NPWP itu, yang lapor SPT (Surat Pemberitahuan) itu hanya 98 persen, sedangkan yang 2 persen adalah dari yang kurang bayar-kurang bayar. Sehingga nggak heran kalau tingkat kepatuhan kita itu masih rendah,” imbuh Ronny.
Karena itu, dengan kini telah berjalannya proses integrasi antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP, ia berharap jumlah wajib pajak akan mengalami peningkatan.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan Core Tax, akan lebih efektif jika pemerintah menggeber fungsi pengawasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Wilayah (Kanwil), maupun KPP Khusus yang saat ini masing-masing berjumlah 4 KPP Wajib Pajak Besar, 34 Kanwil dan 9 KPP khusus.
“Seharusnya, setelah NIK dan NPWP terintegrasi, KPP ini bisa nih meng-email atau mem-blast SMS ke Wajib Pajak yang ada di areanya untuk lapor SPT dan menunaikan kewajiban pajaknya. Sayangnya, sekarang KPP dan kantor pajak di daerah-daerah itu nggak melakukan pengawasan apapun,” tuturnya.
Cara ini, menurut Ronny, juga bisa menjangkau pelosok-pelosok Indonesia yang belum terjangkau oleh akses listrik maupun internet. Dus, peningkatan kepatuhan dapat dilakukan melalui dua acara sekaligus, Core Tax dan kantor pajak daerah.
“Apalagi kalau Core Tax itu kan system based on IT, dan itu sangat tergantung pada saluran internet dan listrik. Nah, apakah bisa sistem ini menjangkau sampai ke pelosok? Jadi menurut saya pengawasan dari kantor pajak daerah itu yang paling ampuh,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota DEN, Mari Elka Pangestu, sebelumnya mengungkapkan, akan percuma bagi Indonesia jika hanya terus menaikkan tarif pajak tanpa memperbaiki sistem administrasi perpajakan yang ada saat ini. Sebab, dengan perbaikan sistem administrasi perpajakan akan mampu pula mengurangi penghindaran pajak yang bermula dari rendahnya kepatuhan pajak masyarakat.
“Karena itu yang akan bisa memperbaiki administrasi pajak, maupun mengurangi penghindaran pajak dan meningkatkan kepatuhan sebelum kita bicara mengenai perubahan-perubahan kebijakan," kata Mari Elka belum lama ini.
Soal Core Tax, meski masih banyak kendala dan kekurangan di dalam implementasinya, Kementerian Keuangan diyakini masih akan terus melakukan perbaikan dan evaluasi. Sehingga, jika pada saatnya implementasi Core Tax telah berjalan dengan baik, tak akan ada lagi masyarakat yang dapat menyembunyikan asetnya.
“Misalnya, kalau ada yang memasukkan jumlah aset, jumlah mobil, atau jumlah rumah lebih sedikit dibandingkan apa yang sebenarnya dia punya, ini nanti bisa kelihatan langsung, terdeteksi di Core Tax,” jelas Anggota DEN, Septian Hario Seto, dalam Konferensi Pers, di Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan, dengan jumlah SPT Tahunan yang telah diterima sampai akhir 2024 sebanyak 16,04 juta SPT, rasio kepatuhan formal diakuinya masih lebih rendah dibanding 2023 dan 2022. Perlu diketahui, pada 2024 rasio kepatuhan formal hanya sebesar 85,75 persen, sedangkan pada 2023 dan 2022 masing-masing sebesar 86,97 persen dan 86,8 persen.
“Target SPT Tahunan yang disampaikan ada di 16.040.339 atau kalau dihitung capaiannya ada di 103,05 persen dari target,” katanya, dalam Konferensi Pers, Senin (6/1/2025).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz