tirto.id - Memasuki 2025, layanan transportasi umum perkotaan yang dikerjasamakan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Bali dan Yogyakarta berhenti beroperasi. Selain itu, beberapa daerah lainnya mengurangi operasional bus yang merupakan bagian dari program Teman Bus.
Semula, Kemenhub berkerja sama dengan 11 pemkot/pemkab, yakni Denpasar, Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta, Banjarmasin, Makassar, Bandung, Surabaya, Banyumas, dan Balikpapan. Kerja sama itu menyediakan total sebanyak 45 koridor layanan transportasi umum dengan skema buy the service (BTS).
Namun, kini hanya sembilan pemkot/pemkab yang berkomitmen untuk mengambil alih pengelolaan Teman Bus.
Jika dirinci, Medan bersedia mengambil alih seluruh (5) koridor, Palembang 1 koridor, Surakarta 3 koridor, Banjarmasin seluruh (4) koridor, Makassar 1 koridor, Bandung seluruh (5) koridor, Surabaya 1 koridor, Banyumas akan mengambil alih koridor pada 2026, dan Balikpapan baru akan mengambil alih koridor pada akhir 2028.
“Balikpapan rencana mengambil alih di 2028 sesuai dengan MoU. Banyumas rencana mengambil alih koridor di 2026 sesuai dengan MoU. memang mereka tidak 2019, mereka belakangan [menjalin kerja sama BTS]. Tapi, memang sesuai MoU-nya 2028 Balikpapan dan 2026 Banyumas,” jelas Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub, Budi Rahardjo, saat berbincang dengan Tirto, Rabu (8/1/2025).
Selain karena kontrak BTS yang sebagian telah rampung per 31 Desember 2024, ketidakberlanjutan program Teman Bus di wilayah Bali dan Yogyakarta juga disebabkan oleh nihilnya komitmen dari pemprov masing-masing.
Meski begitu, baik Budi maupun Direktorat Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) sepakat bahwamenjelang berakhirnya masa kerja sama, Kemenhub telah mendorong pemda untuk melanjutkan pengelolaan Teman Bus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing.
“Kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan DI Yogyakarta, Ditjen Hubdat telah melakukan audiensi berkaitan dengan keberlanjutan program buy the service serta berkorespondensi resmi terkait rencana pelaksanaan Program BTS 2025 di wilayah perkotaan Sarbagita (Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan) dan Yogyakarta,” ungkap Plt. Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Ahmad Yani, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (8/1/2025).
Masalah di Yogyakarta
Menurut Direktur Utama PT Jogja Tugu Trans (PT JTT—operator bus Trans Jogja Istimewa dan Teman Bus Jogja), Agus Andrianto, alasan penghentian layanan Teman Bus Jogja per 1 Januari 2025 ialah karena tak ada lagi subsidi yang diberikan pemerintah pusat untuk operasional bus.
Perlu diketahui, bersamaan dengan program Teman Bus, pemerintah juga memberikan stimulus subsidi kepada operator bus sebesar Rp444,69 miliar untuk 11 kota pada 2024. Jumlah subsidi itu turun dari alokasi anggaran subsidi program Teman Bus 2023 yang senilai Rp625,67 miliar.
“Kalau dari operator, sebetulnya sejak awal itu diperjanjikan bahwa terkait dengan pelayanan [bus] BTS, itu kan tadinya 7 tahun di Jogja, berarti masih sampai dengan tahun 2026. Itu yang dijelaskan di awal oleh Kementerian kepada operator. Namun, dalam perjalannya ternyata saya juga tidak tahu ternyata penandatangan kontrak hanya 5 tahun,” terang Agus.
Dengan nihilnya bantuan dari APBD 2025, PT JTT akan babak belur menanggung sendiri biaya operasional Teman Bus Jogja. Pasalnya, operasional Teman Bus Jogja dapat menghabiskan anggaran sekitar Rp32-33 miliar per bulan untuk 44 armada.
Terkait biaya operasional, Agus mengaku telah mencoba mencari dukungan pembiayaan dari pemda dan bahkan berupaya mengajak Pemprov DI Yogyakarta menyiapkan pengambilalihan Bus Teman Jogja sejak 2023.
“Cuma memang daerah enggak siap [dari sisi anggaran],” imbuh dia.
Agus pun menyesalkan penghentian subsidi yang membuat Teman Bus Jogja berhenti beroperasi. Apalagi, subsidi diputus sebelum masa perjanjian berakhir.
“[Saat kerja sama berjalan] dua tahun itu, daerah harus siap untuk meng-handover. Itu kan bukan rencana saya. Karena, pembicaraan itu kan ada di regulator, bukan operator. Begitu regulatornya sama-sama, gampangnya, saling melepas [tanggung jawab], selama ini kan korbannya operator,” keluh dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Angkutan DishubDI Yogyakarta, Wulan Sapto Nugroho, mengakui bahwa Pemprov memang tidak menganggarkan subsidi biaya operasional Teman Bus Jogja usai berakhirnya kontrak program dengan Kemenhub.
APBD, menurutnya,tak cukup untuk melanjutkan subsidi Teman Bus Jogja lantaran Pemprov DI Yogyakarta juga telah menanggung biaya operasional Trans Jogja Istimewa.
“Memang kondisi fiskal Pemda DIY tentunya dengan dana APBD untuk melayani Trans Jogja cukup besar. Itu Pemda DIY tidak mampu untuk ditambah lagi membiayai operasional [Teman Bus Jogja] yang [sebelumnya] dibiayai oleh BTS,” ungkap Wulan saat dihubungi Tirto, Rabu (8/1/2025).
Wulan mengatakan bahwa rata-rata alokasi anggaran untuk operasional Trans Jogja Istimewa mencapai Rp80 miliar per tahun. Sementara itu, pendapatan daerah Provinsi DI Yogyakarta ialah sebesar Rp5,84 triliun, dengan pendapatan asli daerah (PAD) Rp2,37 triliun pada 2023. Lalu, pendapatan sementara 2024 tercatat senilai Rp5,67 triliun dengan PAD sebesar Rp2,21 triliun.
“Di tahun ini [2025], Provinsi malah kehilangan pendapatan karena harus membagi dengan kabupaten/kota [untuk pajak kendaraan bermotor]. Jadi, 60 persen [pendapatan pajak kendaraan bermotor] masuk provinsi, 40 persen masuk kabupaten/kota,” jelas Wulan.
Dengan adanya kekurangan anggaran ini, dia pun meminta kepada pemkab/pemkot di DI Yogyakarta untuk turut membantu penyelenggaraan angkutan umum. Apalagi, selain mendapat tambahan pendapatan dari pajak kendaraan bermotor, kabupaten/kota juga memperoleh tambahan alokasi anggaran sebesar 5 persen untuk penyediaan sarana transportasi dan 5 persen untuk pembangunan jaringan jalan.
“Sebagai contoh, pendapatan dari pajak restoran, hotel, mall itu masuknya ke kabupaten/kota. Artinya kan mereka punya pendapatan sebenarnya. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk kabupaten/kota itu tidak mau [membantu subsidi angkutan umum]karena itu amanat undang-undang yang harus dilaksanakan,” tegas Wulan.
Komitmen Pemda Diperlukan
Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya berkewajiban untuk menyelenggarakan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Hal itu telah diatur dalam Pasal 138 dan 139 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, seharusnya tak ada lagi alasan pemerintah untuk enggan menyelenggarakan angkutan umum perkotaan seperti Teman Bus. Apalagi, dengan meningkatkan penyelenggaraan angkutan umum, pemda sebenarnya tengah memajukan pembangunan daerahnya sendiri.
“Masa pembangunan daerah dibuat hanya untuk bisnis, mencari duit dan investasi dari luar?” kata dia kepada Tirto, Rabu (8/1/2025).
Dalam hal ini, pemda tak bisa hanya berpangku pada anggaran atau subsidi dari pemerintah pusat. Pemda harus siap dengan anggaran daerahnya sendiri untuk menyelenggarakan angkutan umum.
Bahkan, sekalipun APBD maupun PAD daerah tersebut kecil, komitmen menyediakan akses transportasi umum untuk masyarakat adalah yang utama.
“Itu saya pikir bisa kok mandiri. Sekarang, ada Trans Jateng, (Trans) Semarang. Mereka tidak menggantungkan [biaya operasional] pada pemerintah pusat. Terus ada beberapa daerah lainnya. Kalau DKI okelah memang APBD-nya besar,” sambung Deddy.
Dalam penyelenggaraan angkutan umum, pemerintah pusat berkewajiban menyediakan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan maupun sarana-prasarana angkutan umum lainnya. Lalu, pemda hanya tinggal menjalankan operasional layanan bus maupun angkutan umum perkotaan lainnya.
“Makanya itu saya bilang pemerintah daerah memang tidak pernah niat. Kalau dia niat, bisa kok sebetulnya. Enggak ada alasan enggak bisa. Masa bagi rakyat sendiri enggak bisa? Kan aneh,” ucap Deddy.
Sokongan anggaran dari pemerintah pusat melalui Kemenhub memang diperlukan pada masa awal penyelenggaraan angkutan umum di sebuah daerah. Namun, seiring berjalannya waktu, peran APBD seharusnya semakin diperkuat sehingga kemudian dapat mengambil alih sepenuhnya operasional angkutan umum.
“Kalau mengandalkan support APBN, pasti akan melemah kalau APBN [anggaran] Kemenhub dukungannya dikurangi. Seharusnya, fungsi APBN kan hanya stimulan saja,” kata Muslich Zainal Asikin dariMajelis ProfesiMasyarakat Transportasi Indonesia (MTI) kepada Tirto, Rabu (8/1/2025).
Nihilnya anggaran daerah untuk melanjutkan Program Teman Bus, lanjut Muslich, ialah karena sejak awal spirit pengadaan angkutan kota modern ini hanya sebagai proyek untuk mendapat tambahan anggaran, bukan merupakan sarana pendukung pembangunan daerah.
Dalam penyelenggaraan angkutan umum perkotaan yang independen, pemda seharusnya menggandeng pengusaha transportasi lokal alias sektor swasta. Selain itu, harus pula dibarengi dengan perencanaan yang matang soal rute yang akan dilayani, jumlah armada,hingga tata kelola operasional angkutan.
Dengan demikian, angkutan-angkutan umum di daerah tak akan lagi mengandalkan dana dari pemerintah pusat untuk mengaspal.
“Kalau daerah spiritnya hanya anggaran proyek, maka begitu tidak ada anggaran dari APBN atau APBD yang memadai, yang bisa men-support operasional Teman Bus, ya langsung berhenti alias bubar,” tambah Muslich.
Menurut Muslich, dana subsidi yang diberikan kepada operator melalui PAD, khususnya yang berasal dari pajak kendaraan bermotor dan subsidi BBM, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk melanjutkan operasional Teman Bus.
“Kalau saja 15-20 persen diambilkan dari penerimaan tersebut, maka mencukupi untuk membiayai program angkutan umum,” kata Muslich.
Krisis Angkutan Umum
Pengembangan angkutan umum perkotaan di Indonesia memang masih terus berjalan. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Hong Kong, maupun Jepang, Indonesia jelas kalah jauh.
Di negara-negara yang disebut itu, pangsa pengguna angkutan umumnya sudah lebih dari 50 persen. Sementara itu, pangsa pengguna angkutan umum di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan lainnya, masih kurang dari 20 persen.
“Penyediaan layanan transportasi umum perkotaan masih jauh di bawah kota–kota metropolitan lainnya. Keterbatasan sistem angkutan umum perkotaan mengakibatkan hambatan pertumbuhan ekonomi,” kata Pakar Transportasi, Djoko Setijowarno, kepada Tirto belum lama ini.
Krisis angkutan umum ini lantas berdampak pada kemacetan dan polusi karena penggunaan transportasi pribadi serta konsumsi BBM tinggi, hingga pembengkakan pengeluaran biaya transportasi. Belum lagi, kemacetan juga menjadi sebab negara merugi hingga Rp100 triliun tiap tahun.
“Transportasi umum membuat kota, kehidupan, dan planet kita menjadi lebih baik. Tanpa transportasi umum, jalanan akan macet, udara menjadi abu-abu karena kabut asap, dan ekonomi akan melambat,” lanjut Djoko.
Sementara itu, menurut Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub, Budi Rahardjo, penyelenggaraan angkutan umum perkotaan oleh daerah sebetulnya sudah mengalami perbaikan signifikan.
Hal itu terbukti dari sudah adanya beberapa daerah yang membangun layanan transportasi umumnya sendiri. Pemprov Jawa Timur, misalnya, membangun Trans Jatim. Lalu, ada Pemprov DI Yogyakarta dengan Trans Jogja Istimewa, Pemprov Jawa tengah dengan Trans Jateng, Jakarta dengan Trans Jakarta, Jawa Barat dengan Metro Jabar Trans (sebelumnya disebut Trans Metro Pasundan).
Kemudian, ada pula Provinsi Aceh dengan Trans Koetaraja, Provinsi Gorontalo dengan Trans NKRI, dan Kalimantan Selatan dengan Trans Banjarbakula.
“Semuanya 18 pemda, ada pemkot, ada provinsi. Yang Pemkot Padang, Pekanbaru, Batam, Tangerang, Semarang, Surabaya, Surakarta, Banjarmasin,” rinci Budi.
Meski begitu, dia mengakui bahwa masih banyak pula daerah yang belum memiliki komitmen kuat untuk menyelenggarakan angkutan perkotaan. Padahal, banyak pula daerah yang sebenarnya memiliki pendapatan jumbo, baik yang berasal dari pendapatan di sektor pariwisata maupun industri.
“Harusnya bisa cukup banyak lagi karena sebetulnya masih cukup banyak pemerintah daerah yang mampu. Good will-nya aja [masih kurang],” imbuh dia.
Sementara itu, meski kontrak Teman Bus berakhir pada akhir tahun kemarin, Kemenhub masih tetap akan memberikan pendampingan kepada daerah yang berkomitmen mengambil alih operasional bus.
Dalam hal ini, saat daerah mengambil alih, misalnya 4 koridor, maka Kemenhub juga akan memberikan pendampingan pada 4 koridor pula.
“Ada Surakarta, Bandung, Banjarmasin, Surabaya, Medan, Makassar, Palembang, Balikpapan, Banyumas. Jadi, mereka sudah berkomitmen mengambil alih, kemudian pemerintah melakukan pendampingan selama setahun ke depan,” ujarnya.
Budi pun menegaskan bahwa Kemenhub tak akan lagi memperpanjang kontrak perjanjian Teman Bus kepada daerah yang telah berakhir masa kontraknya. Sebab, Kemenhub di tahun ini hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp170 miliar untuk program Teman Bus 2025 serta telah diberikan kepada Manado dan Pontianak.
“Makanya yang sudah 11 tadi yang sejak 2019 tadi, ya memang kami serahkan ke daerah. Kan programnya sudah selesai. Tetapi, tetap kami ada persetujuannya tadi untuk melakukan upaya pendampingan,” tegas Budi.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi