tirto.id - “Tidak ada program selain program presiden."
Kalimat itu setidaknya menempel di telinga ratusan kepala daerah yang mengikuti pembekalan atau retret, di Kompleks Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah pada Rabu (26/2/2025). Pada sesi pembekalan hari keenam, Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, mengingatkan kepada semua kepala daerah bahwa tidak ada program selain program presiden dalam masa kerja lima tahun mendatang.
Gibran menekankan, bahwa setiap pekerjaan baik pemerintah pusat maupun daerah harus sinkron satu sama lain. Dengan kata lain, tidak boleh ada pemerintah daerah yang berseberangan dengan pemerintah pusat. Semua harus satu komando.
"Beliau [Gibran] membuka arahannya dengan kata-kata yang sangat tegas, jelas tidak ada program selain program presiden,” ujar Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mengulang perkataan Gibran, usai memberikan materi retret pembekalan kepala daerah.
Arahan disampaikan mantan Wali Kota Solo itu, seolah hanya mengulang persis perkataannya di depan ribuan kepala daerah pada penutupan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tahun 2024 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (7/11/2024) lalu.
Saat itu, Gibran menekankan bahwa tidak ada visi lain selain visi Presiden Prabowo. Ia juga mengatakan tidak ada program lain selain program Presiden Prabowo. Oleh karena itu, penting penting menurut Gibran untuk menyatukan visi serta memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Putra sulung Joko Widodo (Jokowi) itu bahkan meminta seluruh kepala daerah untuk mengesampingkan ego sektoral demi tercapainya cita-cita Indonesia Emas 2045.
“Penting ini bapak-ibu, biar semuanya sinergi, satu visi, satu misi untuk Indonesia Emas. Kita harus kompak, tidak ada lagi ego sektoral,” tegas Gibran.
Bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan Gibran tidak ada visi dan program lain selain visi dan program presiden adalah upaya memastikan hubungan pusat dan daerah tetap bersinergi. Hal ini memang benar—pembangunan di daerah harus selaras atau 'satu komando' mengikuti kebijakan nasional.
Tetapi itu bukan berarti daerah tidak boleh mengelaborasi dan berinovasi dengan cara mereka masing-masing. Apalagi, Indonesia sangat luas dengan karakteristik daerah yang beragam, sehingga pendekatan pembangunan juga harus disesuaikan dalam memberikan pelayanan publik yang kontekstual.
“Pemerintah pusat tidak bisa menerapkan kebijakan satu ukuran untuk semua karena yang paling memahami kebutuhan dan tantangan daerah adalah masyarakat dan pemerintah daerah sendiri,” jelas Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).
Di sinilah, menurut Felia, otonomi daerah seharusnya berperan sebagai mekanisme untuk menyesuaikan kebijakan nasional dengan realitas lokal. Termasuk kapasitas dan sumber daya, serta kemampuan daerah sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Terlebih lagi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejatinya memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur urusannya sendiri, dengan pengecualian pada lima kewenangan yang memang menjadi wewenang pemerintah pusat. Kelimanya adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, dan moneter/fiskal nasional.
“Dalam UU-nya kan masing-masing memang punya tugas dan fungsi dan sifatnya koordinatif antara presiden dan kepala daerah ini,” timpal Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).
Kepala daerah, kata Kunto, sejatinya dipilih oleh rakyat dan punya kewajiban dan janji yang harus diejawantahkan dalam program-program mereka. Apabila semua pakai program presiden apa kabar janji mereka ke rakyat? “Ini yang kemudian jadi problem,” tukas Kunto.
Secara hierarki pemerintahan, menurut Pengamat Kebijakan Publik, Achmad Hanif, kepala daerah memang berada di bawah presiden. Namun, ini tidak serta-merta mengartikan kepala daerah harus sepenuhnya tunduk pada visi dan program presiden tanpa ruang bagi otonomi dalam perumusan kebijakan daerah.
Pernyataan Gibran dalam retret tersebut juga tampak mengindikasikan bahwa setiap keputusan dan kebijakan daerah harus mendapatkan persetujuan langsung dari Presiden Prabowo. Jika pendekatan semacam ini menjadi preseden, maka hal tersebut dapat memberikan kesan bahwa kekuasaan terpusat pada satu figur, yang berpotensi mengarah pada praktik pemerintahan yang kurang demokratis.
Achmad mengatakan dalam sistem demokrasi, keseimbangan antara kepemimpinan nasional dan otonomi daerah merupakan elemen penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya mencerminkan kepentingan pusat. Tetapi juga kebutuhan dan aspirasi masyarakat di tingkat lokal.
“Demokrasi bukan sekadar mekanisme elektoral dalam pemilihan pemimpin, tetapi juga mencakup penguatan institusi, tata kelola yang transparan, serta pembagian kekuasaan yang jelas guna mencegah sentralisasi berlebihan,” ujar Achmad kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).
Dengan mempertimbangkan dinamika koalisi politik saat ini, menurut Achmad, penting untuk memastikan bahwa pernyataan maupun kebijakan yang dikeluarkan tidak berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi kepala daerah notabene berasal dari kubu politik berbeda.
Terlebih keberlanjutan program pembangunan, alokasi anggaran, dan dukungan infrastruktur tidak boleh dipengaruhi oleh afiliasi politik semata. Sebab, hal tersebut dapat berdampak pada kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat secara luas.
“Oleh karena itu, komitmen terhadap tata kelola yang inklusif dan berlandaskan prinsip demokrasi harus terus dijaga. Ini agar stabilitas pemerintahan tetap terjamin tanpa mengorbankan esensi desentralisasi yang telah menjadi bagian dari reformasi politik di Indonesia,” jelas dia.
Tantangan Satu Komando
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, justru melihat apa disampaikan Gibran seolah hanya menunjukkan kesetiaannya kepada Presiden Prabowo. Tantangan satu komando atau satu visi mengikut presiden sebenarnya harus dilihat lebih jauh.
“Visi Indonesia itu bukan milik atau dibangun presiden, tetapi oleh Undang-Undang misal cita-cita kesejahteraan, itu bukan faktor program presiden,” jelas Dedi kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).
Sementara untuk mencapai visi Indonesia semua skema kepemimpinan memiliki porsinya sendiri. Di mana, kepala daerah mengikuti kebutuhan dan kondisi daerah. Presiden pun demikian. Jika harus serempak mengikuti presiden secara teknis, maka itu bukan negara republik yang dijalankan, melainkan kerajaan.
Menurut Dedi, selama ini Indonesia gagal menjalankan otonomi daerah, karena pusat faktanya mengkooptasi kewenangan dan sumber daya daerah. Itulah sebab daerah yang kaya dan memiliki pemimpin bagus, tetap sulit berkembang, terlebih daerah dengan sumber daya minim sekaligus dipimpin oleh tokoh yang minim kapasitas, semakin tertinggal.
“Pemusatan kekuasaan semacam pikiran Gibran ini memang sudah dimulai sejak Jokowi, itulah mengapa kita alami stagnasi pengembangan wilayah, sementara di tingkat pusat sekalipun juga tidak signifikan perkembangannya,” terang dia.
Lebih lanjut, Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai apa disampaikan Gibran mengkhawatirkan. Lantaran ini bisa diterjemahkan ke dalam gejala otoritarianisme, yang mana itu selalu berbanding lurus dengan pola sentralisme yang dijalankan di dalam proses menjalankan kekuasaan.
“Ya sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Prabowo sekarang kan, seolah-olah ya memang desain model negara seperti Indonesia itu memang kekuasaan penuh,” kata pria akrab disapa Castro, kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).
Menurut Castro, ini seolah menunjukkan semacam gambaran dari watak asli Prabowo yang berasal dari militer. Maka cara menjalankan kekuasaan pun melalui pendekatan militeristik. Salah satu bentuknya sentralisme itu didorong sebagai bagian dari upaya untuk menanamkan pengaruh kepada pemerintah daerah.
“Jadi seolah-olah semua ditentukan oleh pemerintah pusat,” kata dia.
Padahal tidak bisa seperti itu. Karena seharusnya kewenangan tersebut ditentukan oleh Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menunjukkan bagaimana kewenangan itu dibagi berdasarkan otoritasnya masing-masing.
Tapi, lagi-lagi ini bicara soal karakter militeristik yang kemudian dibawa oleh Prabowo di dalam menjalankan pemerintahannya. Dan tidak boleh lupa juga bahwa pola dan cara militeristik seperti ini itu sudah cukup memberikan pengalaman selama 32 tahun ketika dipimpin oleh Presiden Soeharto.
“Di bawah kekuasaan yang dijalankan dengan cara militeristik itu hanya akan melahirkan tirani. Begitu poinnya,” pungkas dia.
Pemerintahan Indonesia masa kini seharusnya bisa belajar dari berbagai negara yang sukses menjalankan otonomi daerah, dengan memberikan kebebasan untuk membuat kebijakan sendiri yang kemudian dampaknya dirasakan oleh rakyat. Misalkan saja, Jerman. Jerman memiliki sistem federal yang kuat, di mana negara bagian (Länder) memiliki otonomi yang luas. Otonomi ini berkontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial yang merata.
Tidak hanya Jerman, Australia juga sukses memberikan kebebasan kepada daerah untuk berkembang dan memberikan dampak positif untuk rakyatnya. Faktor keberhasilan nyata seperti sistem hukum yang kuat, kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat pada berbagai program pemerintah. Indonesia pun seharusnya bisa meniru negara-negara tersebut.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang